Bian melarikan diri dari pekerjaan yang membuatnya stress. Naik ke lantai atas dengan memindik-mindik. Celingak-celinguk sekitar, segera sembunyi di balik tembok saat pegawai lain lewat.
Berpikir mendinginkan otak dengan mengeram di toilet adalah yang terbaik, sampai opsi lain terbesit membuat langkahnya cepat berpaling. Yang untungnya ruangan cukup besar dengan beberapa deret ranjang kecil itu sepi. Cepat-cepat ia menutup pintu. Loncat ke tempat terpojok, sambil meraih tirai untuk menyembunyikannya.
Sepatunya di lempar sembarangan. Menghela napas panjang, memijat pangkal hidungnya sampai merah. Bian benar-benar sangat lelah.
"Masa bodoh dengan urusan dapur. Mood ku terasa begitu hancur-hancuran belakangan ini."
Emosinya yang tak terkendali, bisa saja karena ia yang terlalu lama menumpuk hormon testosteron. Gairahnya terus tertahan karena kesibukan kerja yang makin mengekangnya ini. Kesenangan batinnya terus tersisih, sementara perkara-perkara pertengkaran membuat kejiwaannnya seperti terguncang. Ia nyaris hilang akal.
Dan Bian benar-benar membutuhkan pertolongan darurat. Merogoh kantung celana untuk mengambil ponsel. Menekan nomor telpon pria hidung belang yang satu-satunya di simpan.
Tuttt tutt
Nada dering berbunyi. Bibir dalamnya di gigiti saat merasa tak sabaran menunggu.
"Shitt!"
Yang berakhir membuatnya mengumpat penuh kekecewaan, tiga kali panggilan tak terjawab. Sementara selangkangannya yang sudah sangat mengidamkan tak mempan jika hanya di garuk.
Rencana membuat kisruh dengan menyelinapkan orang luar dan berbuat macam-macam di tempat kerja pun gagal. Yang sebelumnya tak sedikit pun berpikiran untuk mencoreng pencitraannya pada orang asing.
"Aku sedang sangat horny."
"...."
Gila! Sudah di katakan berulang kali jika Bian itu gila!
Setelah sebelumnya belagak dekat, curhat panjang lebar dengan menjelaskan orientasi seksualnya yang patut mendapatkan kedudukan sama rata. Nada bicaranya yang begitu lembut, menggiring anggapan seolah ia seorang pria lugu, menyedihkan dengan sedikit tertindas. Sampai hari ini begitu frontal mengatakan kondisi mendesaknya. Hal memalukan yang begitu lancar, lolos dari mulutnya tanpa kendala.
Tanpa malu, meski sepersekian detik setelahnya pipi Bian merah padam, panggilan masih berlangsung.
"Enghh... Sungguh, aku tau kau tak akan mungkin membalas ucapan ku. Tapi setidaknya, bisakah kau sedikit lebih berbaik hati pada ku?"
"...."
Seperti biasa, tak ada balasan. Namun rupanya Bian masih tak gentar untuk melancarkan aksinya.
Menata bantal supaya posisi sandarannya sedikit lebih tinggi. Jemarinya menggerayah, menarik turun resleting celananya. Gundungan kecil yang di usap-usap, membuatnya berdesir akibat perbuatannya sendiri.
Semakin intens, sampai Bian yang begitu cepat terangsang. "Eungh..." Mendesah pelan, sambil matanya merem melek.
"Sungguh, aku bukan tipe orang biasa memuaskan diri sendiri. Hanya saja kali ini tak ada cara lain, aku benar-benar ingin melepaskan beban." Lirih Bian tanpa daya, penuh permohonan.
"...."
"Aku ingin seseorang pria tampan mengungkung ku erat. Aku suka di kekang dengan lengan kuat. Aku suka jika seseorang begitu agresif," Bian menyibak kaos, satu lengannya berbagi tugas memelintir puting kemerahannya. "Ahhh... Aku suka yang kasar. Menghisap puting ku seolah berpikir jika melakukannya bisa menuntaskan rasa hausnya."
"....."
"Menyentuhi ku sekujur tubuh. Membuat ku menggeram makin keras akibat keterburu-buruannya menggeledah menu utama. Garang dengan mencabik pipi bulat bokong sintal ku."
"...."
Bian yang membayangkan skenario yang di buatnya sendiri saja sampai keringat dingin. Menggeliat seperti cacing kepanasan. Matanya terpejam dengan senyum yang begitu lebar. Seiring dengan kedua tangannya yang mengocok dan memelintir dua titik sensitifnya. Makin erotis.
"Telanjang. Berbagi saliva. Tumpang tindih. Saling mendesah. Ernggh.... Menurut mu, kenikmatan apa lagi yang bisa ku dapatkan?"
Tring
Tak di sangka jika bunyi pesan masuk akhirnya membalas. Dengan pandangan buramnya yang masih penuh kemerlip bintang, tak akan salah baca atau bahkan sampai salah kira panjang gambar pekerkasaan yang menjulang begitu tegak itu.
"Kita lihat, apakah kejantanan ku bisa memasuki lubang sempit mu. Tahan... Jangan sampai merengek, karena dua tiga ronde saja tak cukup untuk ku merojok lubang mu. Berharap tak sampai robek."
"Akhh... Bajingan! Punya mu sangat dahsyat!" Bian benar-benar memekik girang. Yang setelahnya malah nyaris membuatnya pingsan di tengah gairah.
Tring
Kiriman video singkat saat pria asing itu mengocok senjatanya.
Dari jarak jauh, sampai seribu langkah terasa makin dekat. Pria asing itu menerima pengalihan panggilan videonya. Meski sedikit tak sopan jika nampak wajahnya malah di balas pen*s?
"Hei, apakah kau juga terangsang?"
"Ergh..."
Seketika saja kaki ramping Bian saling mengapit. Otot-ototnya kaku seiring aliran darahnya mengalir begitu deras, menggelitik setiap helai bulu roma di tubuhnya. Pria asing itu menggeram.
Untuk pertama kalinya dalam sejarah, Bian begitu menantikan pelepasan hanya dengan panggilan video mesum.
"Sumpah. Aku tak perlu melihat bagaimana rupa mu. Bahkan hanya dengan mendengar erangan mu saja membuat ku ham-pir sam pai- Akhh-ahhh-ahhh...!"
"Akhhh-akhhh.... Eunghh... Isshh..."
Suara pertama yang akhirnya di dengar Bian, begitu seksi akibat erangan yang seperti penuh frustasi. Jiwa mereka seolah menyatu, bekerja sama memperoleh kenikmatan.
Mulut Bian bahkan tanpa malu di buka lebar, berharap cairan kental milik pria itu membasahi wajahnya. Begitu bersemangat, hampir sampai....
"Eunggh-eungh-eungh... "
Srekk
"Enghh- bangsat!"
Yang sialnya di gagalkan oleh suara tarikan tirai yang tarik kasar sampai terbuka lebar. Bodohnya Bian yang refleks melempar ponsel dan segera duduk dengan tampang bersalah.
"Akkh....! Tutupi punya mu!"
Jeritan Nadin yang nyaris menjebol gendang telinganya. Bian yang kelimpungan menaikkan resleting celananya sampai miliknya yang masih tegang hampir terjepit.
"Sialan! Apa yang kau lakukan di sini, eh?!"
Sampai pertanyaan Nadin yang membuat Bian mengernyit tak suka. Sialan! Mendadak kenapa Bian dungu? Seketika mimik wajahnya berganti pongah dengan dagu terangkat tinggi.
"Privasi, aku juga ingin rehat dari kesuntukan."
"Rehat?!"
"...."
Nadin yang sampai memukul-mukul kepalanya sendiri, seperti memaksakan diri untuk terus waras dari perkara yang membuatnya terkejut setengah mati.
"Baiklah, aku tau kalau kau aneh. Dan kenyataan yang baru ku saksikan ini, kau yang begitu mesum."
... Masturbasi?! Tapi, bagaimana bisa kau melakukan hal itu di tengah jam kerja, bangsat!"
"Memangnya ada larangan tertulis? Atau aku harus izin dulu pada mu sebelum melakukannya?"
Bukannya malu, Bian yang seolah menantang membuat Nadin begitu geram. "Dasar bajingan gila!"
"Berisik! Pergi sana!"
"Akan ku adukan perbuatan mu ini ke pak boss."
"Silahkan. Tapi jangan salahkan jika sering kali mulut ku pandai mengarang cerita. Misalnya... Kau yang menggoda kejantanan ku, dan akhirnya kita bercinta?"
"K-au!"
Seketika Nadin merona, membuat Bian tergelak saat wanita itu lari terbirit-birit setelah begitu pelan menamparnya.
"Wanita sinting!"
Buru-buru Bian mengulang panggilan terputusnya dengan harap-harap cemas. "Shit! Dia tak membalas panggilan ku."
Amat frustasi, sampai datang perusuh lain yang berhasil mengacak-acak suasana hatinya.
"Rupanya kau di sini, anak nakal!"
Hal yang belum terselesaikan sampai tuntas, bagian bawahnya ngilu. Di tambah perbuatan Devan yang menjewer keras sampai menarik tubuhnya.
"Akhh-akhh! Kau mau ku pukul ya, Dev!"