Beberapa saat menunggu angkutan umum di halte dekat sekolah. Mereka pun segera naik saat sudah datang.
Beberapa siswa sekolah lain juga ada yang naik juga di angkutan warna kuning itu. Davina merasa tak nyaman saat beberapa pasang mata melirik ke arahnya dan Ali. Namun, Ali cuek saja.
Hampir setengah jam perjalanan mereka sampai di daerah Gunung Pati, daerah rumah Ali. Mereka segera turun setelah sampai.
"Makasih, ya, Pak," ucap Ali setelah membayar ongkos angkutan itu.
Davina dan Ali masih saja berdiri depan gang menuju rumah Ali. Tak ada kata yang terlontar dari mulut keduanya.
"Kamu, kok, diem aja?" tanya Ali.
"Enggak apa-apa," sahut Davina.
Ia lantas berjalan pelan masuk ke gang rumah Ali. Ali melihat ada yang aneh dengan kekasihnya. Davina tak berkata apapun melihat kondisinya yang seperti ini.
"Davina, ada masalah?" tanya Ali sambil berjalan tertatih karena kakinya yang sakit.
"Enggak ada," sahut Davina.
Ali mencoba mempercepat langkahnya, namun ia tetap tak bisa mengejar Davina.
"Vin, pelan-pelan, dong. Kakiku sakit," ujar Ali
Davina menghentikan langkahnya dan menunggu Ali. Perasaannya sungguh berkecamuk saat ini. Ia begitu stress karena foto di Mading kemarin. Namun, saat ia ingin marah kepada Ali yang tak masuk saat kejadian kemarin. Ia tak bisa melakukannya karena Ali seperti ini.
"Kenapa diem?" tanya Ali sambil memegangi tangan Davina.
"Ali, ini di jalan. Jangan pegangan tangan ucap Davina.
"Kamu kayak gini lagi. Ada apa, sih? Kamu ada masalah? Kamu marah sama aku?"
Davina menoleh ke arah Ali. Rasanya benar-benar ingin marah padanya. Tapi ia tak tega.
"Ayo buruan jalan," ujar Davina.
Mereka pun berjalan menuju rumah Ali. Dan lagi, Ibunya, Alma, tak ada di rumah. Bagaimana bisa Ibunya selalu tak ada saat ia datang ke rumah Ali?
"Ibu kamu kemana lagi?" tanya Davina.
"Ibu aku kan sekarang kerja, Vin," ucap Ali.
"Kerja?" gumam Davina.
"Iya. kalau engga kerja, siapa yang mau nyekolahin aku?" ujar Ali sambil tersenyum.
Davina menatap ke arah Ali. Kondisinya tak lebih baik dari Davina. Tapi keluarganya sungguh harmonis. Dan Ali juga begitu menayangkan ibunya. Ia iri dengan kehidupan Ali.
"Haya kemana?" tanya Davina.
"Haya dititipin ke rumah Pakde. Kalau sore diantar ke sini," ujar Ali.
"Ya, udah. Kamu buruan masuk dan istirahat," ucap Davina. Ia lantas bergegas untuk pergi dari rumah Ali.
"Lho, kog gitu, sih?" tanya Ali.
"Apanya?" tanya Davina.
"Kamu ngga khawatir sama aku? Kamu enggak nanya apa-apa ke aku?"
Davina menatap ke arah Ali. Bagaimana bisa Ali bertanya seperti itu. Siapa yang tak khawatir. Tapi saat ini, Davina benar-benar sedang kacau.
"Mana mungkin aku ngga khawatir. Tentu saja aku khawatir. Tapi, aku mesti gimana? Aku nggak tahu harus bereaksi kayak apa, Ali," ujar Davina.
"Temenin aku buat hari ini," ucap Ali.
"Ali, ini udah hampir sore. Aku harus naik angkot buat pulang," ujar Davina.
"Kakiku sakit," rengek Ali.
Sekali lagi, sekali lagi ia tak bisa menolak ucapan Ali. Entah kenapa, ia begitu terbius dengan rengekan Ali.
Akhirnya ia pun tak jadi pulang. Davina membantu Ali untuk mengganti pakaiannya. Sebenarnya Davina sangat trauma.
Ia takut ada yang merekam mereka berdua lagi. Hubungannya dengan Ali sungguh tak boleh seperti ini. Ini sudah terlalu jauh untuk pacaran seumuran mereka.
Usai menggantikan pakaian Ali, Davina segera membuatkan nasi goreng untuk Ali. Ali merasa sangat senang saat dilayani sedemikian rupa oleh Davina.
"Kita nikah, yuk," ujar Ali saat menyantap nasi goreng buatan Davina.
"Ali apaan, sih?" Davina merasa apa yang dikatakan Ali sungguh berlebihan. Hubungan mereka baru seumur jagung. Dan mereka baru juga kelas dua SMK. Apa yang diharapkan dari remaja di umur itu.
Ali berusia mendekati Davina agar ia bisa bicara lebih intens kepada kekasihnya itu.
"Kayaknya aku ngga akan bisa hidup tanpa kamu, deh, Vin. Kemarin aku jatuh dari motor begitu ngga bisa ketemu kamu berat banget buat aku," ucap Ali.
"Ali, aku tahu kamu sayang sama aku. Aku tahu kamu tulus sama aku. Tapi buat nikah, kayaknya umur kita terlalu muda. Dan kita juga, kan masih sekolah. Kita nggak bisa nikah saat masih n sekolah," ucap Davina.
"Kita nikahnya setelah lulus SMK. Aku akan bilang sama ibu buat ngelamar kamu setelah lulus," ujar Ali.
Davina tersenyum mendengar ucapan Ali. wanita mana yang tak senang jika ada yang mengatakan hal seperti ini. Namun, ia harus sadar itu bukanlah kenyataan untuknya.
"Kamu kenapa diem aja, sih?" tanya Ali.
"Kamu, kan, tahu bapakku ngga suka sama hubungan kita. Gimana bisa kamu nikahin aku? Apalagi setelah lulus, aku harus kerja Ali. aku harus bantu ekonomi keluargaku," ujar Davina.
"Itu, kan bisa kita pikir bareng-bareng nanti setelah nikah. Lagian masih nada satu tahun setengah buat kita saling mengenal lebih dalam satu sama lain. Kita coba, ya? Hemm?" Ali terlihat begitu yakin akan pemikirannya.
Ia sudah dimabuk kepayang akan perasaannya kepada Davina sehingga ia sudah berpikir sejauh itu tentang hubungannya dengan Davina.
"Bagaimana kalau kita putus di tengah jalan?" tanya Davina.
"Ssst, ssst, jangan ngomong begitu. Kita nggak akan putus. Ya, yang kemarin terjadi karena kita belum saling mengenal aja. Dan masalah bapakmu. Aku akan pelan-pelan untuk mendekatinya. Aku cuma yakin sama kamu, Vin. Engga ada wanita lain," ucap Ali.
Davina menatap ke arah Ali. Kata-kata itu begitu manis keluar dari bibir Ali. Kata-kata yang diidamkan oleh jutaan wanita di luar sana. Dan itu ditujukan untuknya.
"Okay, kita coba," ucap Davina.
Ali tersenyum mendengar jawaban Davina. Rasanya seperti terbang ke langit ke tujuh saat Davina menyetujui apa yang ia inginkan.
"Muahh!" Ali mengecup singkat pipi Davina saking bahagianya.
"Seneng banget kamu?" ucap Davina.
"Iya, dong, aku udah punya kamu. Mulai sekarang, kamu adalah punyaku. Ngga ada yang boleh ngambil kamu dariku," ujar Ali dengan penuh percaya diri.
"Ada- ada aja. Siapa juga yang mau sama aku selain kamu, Ali?" ledek Davina.
Hubungan mereka menjadi semakin erat satu sama lain. Davina sungguh bahagia karena Ali benar-benar menunjukkan ketulusannya.
Dua remaja itu begitu bahagia menjalani kisah kasih di usia remaja. Sama seperti kebanyakan remaja.
"Ric, bukannya kamu lagi deketin cewek jutek itu?" tanya Sapto kepada Ali saat mereka nongkrong di sekitar jalanan pahlawan Simpang Lima Semarang.
"Siapa bilang?" ujar Rico sambil menyesap rokoknya.
"Aku ngga bego, ya. Aku tahu betul kalau kamu lagi ngincer cewek. Cuma heran aja
Selera kamu jadi turun begini?" ujar Sapto.
"Mikir apa? Ya, mana mungkin seleraku jadi begitu. Aku cuma temenan aja. Kalau temen aku ngga pernah pilih-pilih," ucap Rico.
Bersambung ...