Rico berlalu begitu saja melewati Ali yang terlihat begitu kesal dengannya.
Ratna yang baru saja dari ruang guru melihat mereka berdua yang sepertinya bersitegang.
"Ali!" panggil Ratna.
Ali menoleh ke arah Ratna. "Davina kenapa ngga masuk?" tanya Ali.
"Lah, kamu yang cowoknya. Ngapain tanya ke aku?" sahut Ratna sewot.
Meskipun Ratna tahu bahwa Ali datang pasti mencari Davina. Hal itu tetap saja membuatnya kesal.
Ali segera pergi saat Ratna tak memberikan jawaban jelas kepadanya. Hal itu semakin membuat Ratna kesal.
Bagaimana tidak, ia sudah menyukai Ali sejak kelas satu. Meskipun ia tahu, Ali menyukai Davina.
Hampir rata - rata pria di sekolahnya tak akan menolak jika diberi kesempatan dekat dengannya.
Namun Ali, justru tertancap hatinya kepada Davina yang dilihat dari segi manapun tak sebanding dengannya.
"Apa, sih, yang bikin kamu suka sama si Davina, itu. Dia ngga cantik, jorok, judes. Kenapa kamu malah nyia - nyiain cewek kayak aku? Kamu akan nyesel, Ali. Kamu akan nyesel, udah jatuh hati sama cewek kayak Davina!"
***
Davina duduk termenung di depan rumahnya. Ia melihat awan langit sudah mendung.
Hari ini ia tak masuk ke sekolah karena ayah dan ibunya kembali bertengkar. Rumahnya berantakan. Seluruh barang - barang yang ada di dalam rumah berserakan tak karuan.
"Makan, nih!" kakaknya, Darwin, melemparkan nasi bungkus ke arah Davina.
Gadis itu menangkapnya lalu membukanya. Isinya hanya ada orek tempe dan juga bakmie.
Dalam benaknya terbesit, kenapa ia harus mengalami ini. Hampir setiap hari ia melihat kedua orangtuanya seperti ini. Dan sang ibu harus selalu menjadi korban.
"Makanya kamu jangan aneh - aneh di luar. Di rumah aja udah berantakan kayak begini. Kalau sampe kulihat kamu bertingkah di luar. Habis kamu sama aku," ancam Darwin kepada adiknya.
"Aku ngapain, sih, Mas? Aku, kan engga pernah ngapa - ngapain di luar. Sekolah aja," ucap Davina.
"Kalau dikasih tahu orang tua jangan jawab!" hardik Darwin.
Davina hanya diam. Ia lantas memakan nasi bungkusnya.
BRUM! BRUM!
Sebuah motor berhenti di depan rumah Davina. Ali, dia datang karena tak mendapat kabar apapun dari sang kekasih.
Davina segera meletakkan makanannya dan berlari menghampiri Ali.
"Ali, ngapain ke sini?" tanya Davina ketakutan.
"Kamu engga berangkat sekolah, aku khawatir, dong," ucap Ali.
"Pulang, aku engga apa - apa. Besok aku berangkat. Sekarang kamu pulang dulu," ucap Davina sambil sesekali menoleh ke belakang.
Ia takut ayahnya keluar dan melihat Ali. Sejak kejadian Ali menolongnya di depan ayahnya, Dirman, ayah Davina tak menyukai Ali sama sekali.
Ia merasa Ali membuat Davina menjadi anak yang membangkang berani melawan orangtua. Padahal Ali hanya ingin membantu Davina agar tak mendapat kekerasan dari ayah ataupun kakaknya.
"Kepala kamu kenapa?" tanya Ali kepada Davina yang melihat kepala sang gadis tergores dan berdarah.
"Engga apa - apa Ali. Kamu engga usah Khawatir. Pulang sana."
Namun, Ali bukannya pulang. Ia malah turun dengan motornya dan berjalan masuk ke dalam rumah Davina.
"Ali! Jangan Ali! Ali!"
"Permisi! Permisi!" ucap Ali dengan lantang.
Darwin yang ada di ruang depan segera kelak saat mendengar suara Ali.
"Kamu lagi! Ngapain kamu ke sini?"
"Mas, kenapa, sih, pada jahat sama Davina? Kalian ngga liat dia babak belur begitu? Dia wanita, Mas. Engga kasian?" Ali bursa mengeluarkan keberanian untuk membela Davina.
"Ali, Ali. Ayo pulang. Jangan kayak begini. Nanti kamu bisa kena masalah. Udah pulang!" Davina takut suara Ali terdengar ayahnya dan ia akan lebih buruk lagi.
"Ngga usah ikut campur urusan keluarga orang lain. Urus aja hidupmu sendiri. Kamu ngapain sok - sokan jagoan di sini? Pulang sana!" sahut Darwin dengan kasar.
Davina menyeret Ali agar segera pergi dari rumahnya.
"Davina, ini ngga adil! Ini kekerasan! Ngga boleh ada kayak gini. Kamu dihajar habis-habisan oleh keluargamu sendiri. Dan itu ayahmu, Kakakmu. Orang yang harusnya melindungimu. Ada apa dengan keluargamu! Kenapa kamu cuma diam? Lapor ke polisi! Ini ngga boleh dibiarin!"
Tiba - tiba Dirman keluar dari kamar. Suara Lai terdengar dari dalam kamar. Di rumah kecil itu, suara angin saja bisa terdengar.
BUG!
Satu pukulan keras menghantam Ali tepat di wajahnya.
"Ali!" Davina menjerit saat Dirman sekonyong-konyong memberikan bogem mentah kepada Ali.
Tak hanya satu, ia menghampiri Ali lagi hendak meninjunya untuk yang kedua kali. Namun Davina segera menghadangnya. Alhasil Davina yang terkena pukulan itu.
"Vin!" Ali mencoba membantu Davina yang terkena pukulan keras dari ayahnya.
Ali tak terima dan hendak membalas ke arah Dirman, namun Davina menghalanginya.
"Berhenti Ali, berhenti!" pekik Davina.
"Awas, ya, sampe aku tahu kamu masih nemuin anakku! Kubunuh kamu!" ancam Dirman.
Davina lantas meminta Ali untuk segera pergi. Ia tak ingin Ali mendapat pukulan dari sang ayah.
"Kita ketemu di sekolah. Aku janji Ali," ucap Davina. "Sekarang kamu pulang."
***
Keesokan harinya mereka bertemu di dalam perpustakaan sekolah. Davina memeluk Ali yang wajahnya memar karena dipukul ayahnya.
"Ali, maafin aku," ujar Davina yang merasa sangat bersalah kepada Ali.
"Kenapa minta maaf? Bukan salah kamu," ucap Davina.
"Kayaknya aku engga bisa biarin kamu begini. Mendingan kita engga usah ketemu lagi. Kalau ayahku tahu, dia akan ... "
"Engga, kamu ngomong apa, sih? Engga kayak begitu, Vin. Bukan kita yang harus pisah. Tapi ayahmu yang harus sadar akan kelakuannya. Ini bahaya. Udah berapa kali aja aku lihat bekas luka di wajah kamu? Kalau diterus - terusin, kamu bisa ... " Ali tak bisa menyelesaikan kalimatnya.
Davina hanya menunduk di depan Ali. Ia menangis karena tak ada jalan keluar untuk hal ini.
"Aku engga bisa berbuat apa - apa, Ali. Dia ayahku, ibuku juga cuma bisa diem. Kalau kami lapor, bagaimana? Orang - orang mau bilang apa?"
"Kenapa kamu pentingin omongan orang lain kalau kamu sendiri menderita! Ini ngga adil buat kalian!"
Davina memeluk Ali dan menangis dalam pelukannya. Ia tak bisa berbuat apa - apa jika sudah mengenai keluarga.
Cukup lama mereka berada di dalam perpustakaan. Davina berulang kali mengusap wajah Ali yang memar.
"Sakit?" tanya Davina.
"Sakit, Vin. Tapi lebih sakit ngeliat kamu dipukuli sama ayah kamu!" ucap Ali.
"Andai aku bisa bebas, Ali," ucap Davina.
"Kamu mau pergi? Ayo pergi sama aku," ucap Ali.
"Engga, aku harus lulus sekolah. Minimal SMA. Aku ngga mau kalau pendidikanku jelek," ucap Davina.
"Tapi kamu tersiksa!"
"Aku akan coba bertahan. Kamu mau temenin aku, kan, Ali? Cuma kamu yang mau melindungi aku."
Bersambung ...