Ali tertidur di samping Davina sambil duduk. Davina tak juga sadarkan diri sejak semalam.
"Rico, kamu balik ke balai desa saja. Biar Bapak yang jaga di sini," ucap Pak Catur kepada Rico.
"Si itu, gimana, Pak?" tanya Rico sambil menunjuk ke arah Ali.
"Biarin dulu aja. Kasihan lagi tidur," ucap Pak Catur.
Rico menatap ke arah Davina dan Ali. Entah kenapa, Rico merasa pingsannya Davina karena sesuatu.
"Ya, udah, Pak. Saya balik ke balai desa lagi aja," ucap Rico.
"Iya."
Rico akhirnya pergi dari klinik tempat Davina dirawat. Pak Catur memperhatikan Ali yang tidur sambil menggenggam tangan Davina.
"Anak jaman sekarang kalau udah jatuh cinta."
Pak Catur melihat ke arah jam dan waktu menunjukkan pukul empat pagi. Ia kemudian keluar dari kamar itu.
Sesaat kemudian adzan subuh berbunyi. Ali terbangun dan mendapati Davina belum juga sadar.
Namun, Ali harus bergegas sembahyang. Akhirnya ia pergi meninggalkan Davina seorang diri.
Tak berapa lama, Davina tersadar dan ia cukup heran karena berada di tempat asing.
"Kog, aku di sini?" gumam Davina.
Ia berusaha bangkit, namun perutnya begitu sakit.
"Euuh, sakit!" Davina meringis kesakitan saat ia merasakan sakit yang luar biasa di perutnya.
dua puluh menit berlalu. Ali kembali dan melakukan Davina sudah sadar. Ia segera bergegas menghampiri Davina yang terlihat merintih.
"Vin ..."
"Ali, perutku sakit," rintihan Davina terdengar begitu nyata.
"Sa - sakit?" Ali panik melihat apa yang terjadi. Ia segera keluar untuk memanggil perawat.
Tak sengaja ia melenggang Pak Catur yang baru selesai sholat subuh.
"Ali, kamu kenapa?" tanya Pak Catur.
"Davina sudah bangun, Pak. Tapi dia merintih. Katanya perutnya sakit," ujar Ali.
"Nah, ini kamu mau ke mana?"
"Mau nyari perawat yang jaga, Pak," sahut Ali.
***
Dokter mengecek pupil mata Davina. Lalu menatap ke wajah Davina.
"Kamu ada maag?" tanya dokter.
"Engga tahu, Dok,' jawab Davina lirih.
"Sering sakit kayak gini, engga?" tanya
dokter.
"Baru kali ini, Dok. Mungkin karena saya engga makan aja kemarin," sahut Davina.
"Engga makan?" Pak Catur terkejut mendengar pengakuan Davina.
"Iya, Pak. Makanannya habis dan ... "
"Log, bisa kayak begitu, sih? Kamu harusnya bilang. Kalau habis, Kamu, kan bisa bilang ke guru. Nanti biar dibantu belikan makanan."
Ali sendiri menatap Davina dengan kesal setelah mendengar pengakuan Davina.
Akhirnya setelah mendapat resep dan kondisi Davina lebih baik, Davina kembali lagi ke balai desa.
Ali mengantar Davina ke kamarnya dan menunggu di sampingnya.
"Ali?" panggil Davina.
"Ya,"
"Kamu mau di sini terus?"
"Hah, emang kenapa?" tanya Ali bingung.
"Ratna dan yang lain ngga nyaman, dong," ucap Davina.
Mereka lagi kerja bakti, kog," ucap Ali.
"Makanya, jangan di sini. Nanti kita dikira ngapa - ngapain."
"Yah, engga apa - apa. Kita bisa ngapa - ngapain, kog," sahut Ali.
"Apaan, sih. Udah sana keluar. Aku mau. tiduran," sahut Davina sambil membelakangi Davina.
"Kamu kenapa, sih? Manis dikit sama aku apa engga bisa? Aku khawatir semalam liat kamu begitu," ujar Ali.
Davina masih tak mau menoleh ke arah Ali. Ia malu dan juga tak ingin dikasihani oleh Ali. Mereka sudah putus, tak seharusnya Ali khawatir padanya.
"Ya, udah kalau engga enak badan. Kalau masih engga enak, biar aku bilang Pak Catur. Biar kamu pulang aja. Kalau di sini kamu engga fokus istirahat," ucap Ali.
"Jangan!" pekik Davina.
"Kenapa?"
"Kalau di rumah aku makin engga bisa istirahat," ucap Davina.
Ali pun akhirnya mencoba mengerti alasan Davina. Ia mengusap kepala Davina sambil tersenyum.
"Kita balikan lagi, ya?" ucap Ali.
"Engga!"
"Kog engga?" Ali terkejut mendengar ucapan Davina.
"Nanti kamu minta putus lagi," sahut Davina.
"Ya, kamu jangan jual mahal sama aku, dong," ucap Ali.
Davina membalikkan badannya dan menatap ke arah Ali.
"Janji?"
"Janji," ucap Ali sambil tersenyum.
Ia hendak mendekati Davina untuk mengecup keningnya, namun Davina segera mendorong tubuh Ali.
"Ali apaan, sih? Jangan kayak gitu. Banyak orang di luar!"
"Okey, okey," sahut Ali sambil tersenyum.
"Udah sana keluar!"
"Masih mau di sini sama kamu," ucap Ali.
"Apaan, sih. Sana pergi!"
"Bilang, Ali aku sayang kamu dulu,"
"Apaan sih Ali! Sana!"
Davina terus mendorong Ali yang mulai mengeluarkan rayuannya. Ali tersenyum lebar saat melihat raut wajah malu Davina.
"Love you, Vina," ucap Ali.
"Ali!" pekik Davina.
"Iya, iya, aku keluar," ucap Ali.
Ali lantas berdiri dan segera keluar. Namun ia kembali lagi dan melempar kecupan kecil ke pipi Davina.
"Muach!"
"Alii!"
Ali segera berlari keluar sambil tersenyum senang. Sementara Davina, ia juga tersipu malu karena ia akhirnya bisa meluluhkan batu es yang ada di hatinya karena putus dari Ali.
***
Selama acara tiga hari, yang tadinya acara menyebalkan untuk Davina. Berubah menjadi acara yang menyenangkan.
Saat - saat tertentu mereka mencuri waktu untuk bertemu tanpa disadari siapapun. Namun tidak dengan Rico.
Ia bisa melihat gelagat aneh dari dua sejoli ini.
"Tomboi, kamu pulang duduk sama aku, ya?" ucap Rico. Saat mereka hendak pulang setelah beberapa hari di desa ini.
"Aku sama Ratna biasanya," ucap Davina.
"Ratna bisa sama yang lain," sahut Rico.
Davina bingung. Ia akan merasa tak enak kepada Ratna. Belum lagi, Ali. Sejak awal ia sudah tak suka dengan Rico.
"Kenapa? Engga mau? Entar ada yang marah?" tanya Rico.
"Bukan ... "
"Ya, udah, ngga usah nolak," ucap Rico.
"Kenapa mesti duduk sama aku, sih? Kan, Mas punya temen sendiri!"
"Aku pengennya duduk sama kamu, kog. Kenapa? Engga suka?"
"Aneh!" Davina segera berlalu meninggalkan Rico dan bergegas masuk ke dalam bus.
Ali melihat Davina naik ke atas bus, dan ia mengikutinya dari belakang. Namun, Rico segera menerobos begitu saja dan buru - buru duduk di sebelah Davina.
"Apaan sih, yang kalem, dong," pekik Davina.
"Galak bener,"
Ratna yang hendak duduk di sebelah Davina pun bingung saat Rico sudah di samping Davina.
"Kamu bisa tuker di belakang ngga? Tolong, ya, tolong," ucap Rico.
"Ya, udah, deh. Engga apa - apa," sahut Ratab yang kemudian menuju ke kursi belakang.
Dan saat Ali melintas, ia melihat Davina duduk di samping Rico. Seketika ia merasa tak terima. Namun, ia tak bisa meminta Rico pergi karena tak ada kata untuk duduk dengan siapapun.
"Sorry," ucap Davina tanpa mengeluarkan suara.
Dengan kesal Ali duduk di belakang tepatnya di samping Ratna. Sontak saja Ratna merasa senang.
"Ali, " sapa Ratna dengan senyuman manisnya.
"Hai," jawab Ali singkat. Ia teramat kesal sehingga ia tak bisa tersenyum saat ini.
"Ada yang panas," gumam Rico dengan senyumnya yang khas.
"Gila, ngomong sendiri!" batin Davina.
Next ...