Davina hanya menatap ke arah Kakak kelasnya itu. Ia tak memiliki waktu untuk menggubris mereka.
"Mas Rafli!" panggil Davina kepada petugas yang menjaga workshop.
"Mas Rafli engga ada, adanya aku," sahut kakak kelas itu.
Davina masih berusaha tak menggubris kakak kelasnya lagi. Ia lantas mencoba masuk ke ruangan Mas Rafli. Di sana tampak Mas Rafli sedang mempersiapkan beberapa perlengkapan untuk praktek kejuruan nanti setelah upacara selesai.
"Mas Rafli," panggil Davina.
"Eh, ada apa, Vin?" tanya Maa Rafli.
"Mas, ada topi OSIS, ngga, ya? Aku pinjem dong. Punyaku ketinggalan di rumah," ucap Davina.
"Eh, bentar, ada engga, ya?" gumam Mas Rafli sambil mencarinya di laci.
Beberapa saat ia mencari, dan akhirnya ia menemukan satu topi.
"Ah, nih, ada," ucap Mas Rafli sambil menyerahkan topi itu kepada Davina.
Namun, tiba - tiba topi itu direbut oleh kakak kelas yang sejak tadi menggoda Davina.
"Rico, kamu kalau engga mau ikut upacara, jangan ngalangin orang buat upacara," ucap Mas Rafli.
"Mas, minta topinya, dong. Saya bisa telat," ucap Davina terburu buru.
"Hah, begini baru nyahut. Dari tadi dipanggil engga ada respon," ucap kakak kelas bernama Rico itu.
"Please," ucap Davina dengan wajah cemas karena ia tak mau sampai telat mengikuti upacara.
"Di sini aja. Engga usah Ikut upacara," ucap Rico.
"Alah, kamu emang syaiton. Buruan kasihin topinya. Kasihan," ucap Mas Rafli.
"Kalau aku kasih topinya kamu mau ganti apa?" tanya Rico.
"Apa aja, deh. Tapi mana topinya dulu," ucap Davina.
"Okey, kalau ketemu lagi aku tagih," ucap Rico sambil menyerahkan topi itu kepada Davina.
Karena terburu-buru Davina segera berlari keluar karena guru sudah berjaga di barisan belakang para murid.
"Davina! Cepat!" pekik Pak Agus.
"Iya, Pak," sahut Davina.
Ia segera berlari, dan ia tak sadar saat melewati ruang OSIS, ada Ratna yang hendak lewat.
BRUK!
"Ahh!" Davina terjatuh karena ia berlari. Hal serupa terjadi kepada Ratna, namun tak separah Davina yang tangannya langsung jatuh ke tanah paving.
"Ratna kamu engga apa - apa?" tanya beberapa anak OSIS yang hendak bertugas dalam upacara.
"Sakit, rengek Ratna dengan nada manja.
"Tuh, makanya kalau mau lewat liat - liat dong. Kasian temen sekelas kamu jadi jatuh gini," ucap Fery, salah satu anak OSIS.
"Kamu engga apa - apa, Na?" tanya Davina merasa bersalah.
"Engga apa - apa, kog, Vi. Kamu pasti engga sengaja, kan," ucap Ratna.
"Iya, aku buru - buru," ucap Davina.
"Ya, udah, gih. Sana baris sama temen - temen," ucap Ratna.
"Ya, makasih, ya," ucap Davina sambil berlalu pergi.
Padahal jatuhnya Davina lebih parah daripada Ratna. Namun tak ada yang bertanya tentang keadaan Davina.
"Ih, temen kamu cuek banget, sih," tukas salah seorang anak OSIS.
"Udah biarin. Mungkin lagi bete," sahut Ratna
"Ya, tapi, kan, kan bahaya. Untung kamu baik. Itu kalau aku yang ketabrak, aku udah ajak gelut, tuh, anak."
"Udah, udah. Engga usah dibahas lagi. Ayo mulai upacaranya," ucap Ratna.
Sejujurnya ia senang karena teman - teman OSIS membelanya daripada, Davina. Namun, ia berusaha agar ia terlihat tak mempermasalahkan hal ini. Padahal saja dalam hati ia mengumpat saat Davina menabraknya hingga jatuh.
Ali yang ada di dalam ruang OSIS sedang mempersiapkan peralatan untuk upacara pun sebenarnya ia mendengar saat Davina di luar.
Namun, ia mencoba menahan diri agar tak keluar, walaupun ia ingin.
***
Selesai upacara, Davina mengembalikan topi ke Mas Rafli di workshop. Beberapa kakak kelas itu ternyata masih ada di sana.
"Tomboi," sapa Rico.
Davina mengerutkan keningnya. Kenapa, kakak kelas ini selalu saja memanggilnya Tomboi. Padahal, ia punya nama.
"Mas Rafli, makasih, ya," ucap Davina sambil menyerahkan topi itu kepada Mas Rafli.
"Ya, sama," ucap Mas Rafli.
Mas Rafli menyadarkan sesuatu di lengan Davina. "Tangan kamu kenapa? Itu berdarah, lho," ucap Mas Rafli.
"Masa?" Davina menengok ke arah lengannya. Dan benar saja lengannya berdarah karena tadi terjatuh di paving.
"Diobatin dulu sana di UKS," ucap Mas Rafli
"Engga apa - apa, Mas. Aku mau masuk ke kelas. Entar aku bersihin aja," ucap Davina sambil berlalu pergi.
Ia berjalan meninggalkan workshop listrik menuju ke kelasnya. Namun, tiba - tiba seseorang menariknya.
"Eh, eh, Mas. Ada apa ini?" pekik Davina.
"Ayo, ikut aja," ucap pria yang ternyata adalah Rico.
Ternyata Rico membawa Davina ke kantin. Ia tak tahan melihat Davina menahan rasa skakit seperti itu.
"Pak, minta kasa sama obat merah, dong," ucap Rico kepada penjaga UKS.
"Di kotak itu. Siapa yang sakit?" tanya penjaga
"Itu," sahut Rico.
Rico lantas mengambil kotak obat. kemudian menarik Davina ke kursi lalu mendudukan Davina di sana.
"Mas mau apa?" tanya Davina.
"Ssst, diem aja," ucap Rico.
Davina hanya diam saja saat Rico mengobati luka di lengan Davina. Padahal ia sama sekali tak mengenal Rico.
Tiba - tiba saja, Ali yang kepalanya sedang pusing masuk ke UKS. Karena ia ingin meminta obat pusing.
Tak sengaja ia melihat Rico yang sedang mengobati luka di lengan Davina. Satu pukulan keras menghantam hatinya.
"Ali," ucap Davina lirih.
Namun, meskipun begitu merasa sakit dan cemburu. Ali berusaha tak menggubris Davina dah Rico.
"Kamu kenal?" tanya Rico.
"Iya," jawab Davina.
"Tapi dia diem aja," sahut Rico.
Davina menata ke arah Ali yang cuek saja saat melihatnya bersama Rico.
"Aaah, Mas, sakit!" pekik Davina.
Ali terdiam saat mendengar Davina mengerang kesakitan. Rasanya ingin sekali mengambil alih posisi Rico saat ini.
"Sakit? Makanya jangan pecicilan. Lagian gimana bisa jatuh?" ucap Rico.
"Engga sengaja," ucap Davina sambil sesekali mencuri pandang ke arah Ali yang diam saja sejak tadi.
Rico pun akhirnya menoleh ke arah Ali.
"Eh, kamu mau ngapain diem aja?" tanya Rico kepada Ali.
"Ouh, cuma mau minta obat," ucap Ali.
"Itu, di sana penjaganya," ucap Rico.
"Oh, iya," sahut Ali.
Davina masih menatapnya ke arah Ali yang sama sekali tak mau menatapnya. Meskipun putus. Keduanya tak bisa memungkiri bahwa, perasaan yang terjalin satu sama lain itu sudah terlambat untuk dihentikan.
"Ali, kamu sakit?" tanya Davina.
"Engga," sahut Ali sewot.
Ali segera meminta obat pusing kepada petugas UKS. Davina menarik tangannya yang sedang diobati oleh Rico. Ia pun menghampiri Ali untuk bertanya keadaan Ali.
"Ali, kamu sakit?" tanya Davina.
"Sejak kapan kamu peduli sama orang lain?" balas Ali.
"Kog, kamu gitu? Aku, kan cuma nanya," ucap Davina.
"Gimana rasanya disewotin? Dongkol, kan?" sahut Ali.
Bersambung .