Mentari bersin-bersin di pagi hari. Tubuhnya sedikit demam, tapi ia tetap harus menjalankan tugasnya. Ia keluar dari kamar dengan menggunakan masker.
"Kenapa pakai masker, Tante?" tanya Monica.
"Tante sedikit flu. Kalau tidak pakai masker, takutnya Non Monic ketularan."
"Oh." Monica menggandeng tangan Mentari dan pergi menggunakan mobil William. Sopir yang mengantar mereka ke sekolah, setelah mengantarkan mereka, sopir kembali ke rumah, pergi mengantar William ke kantor.
***
Di depan gerbang sekolah, Monica memaksa Mentari ikut masuk ke dalam.
"Ayo, Tante."
"Tante nunggu di sini saja, ya, Non," tolak Mentari.
"Nggak mau! Tante harus ikut masuk. Kalau tidak masuk, Monic nangis, nih."
Mentari tidak bisa masuk ke dalam, khawatir bertemu dengan orang yang tidak ingin ditemuinya. Namun, ancaman Monic membuatnya terpaksa mengalah. Dengan persyaratan ia tidak masuk ke kelas.
"Oke. Tante mau masuk, tapi tidak boleh masuk ke kelas 'kan. Jadi, tante nunggu di taman, di …." Matanya berkeliling mencari tempat yang teduh untuk menunggu. "Ah, di sana. Tante nunggu di dalam rumah jamur itu, oke."
"Oke."
Monica berjalan masuk ke kelas, sementara Mentari masuk ke dalam rumah-rumahan berbentuk jamur. Tubuhnya yang tidak terlalu tinggi, membuat ia mudah masuk dan duduk di dalam. Ia menghindari panas matahari yang membuat kepalanya terasa semakin berat.
"Uhuuk! Uhukk! Ehm, badanku tambah panas. Semoga tidak semakin parah, deh. Pulang sekolah nanti, aku akan minum obat."
Mentari bersandar ke dinding, matanya menangkap seseorang yang berjalan di koridor sekolah. Laura. Dia adalah gadis yang sangat tidak ingin ditemui olehnya.
Untungnya, Mentari berada di dalam rumah jamur. Kepalanya yang terasa sakit, membuat ia memilih untuk memejamkan mata. Ia harap sakitnya bisa reda dengan menutup mata.
Tiga jam kemudian, jam sekolah berakhir. Monica memanggil-manggil Mentari beberapa kali, tapi tidak ada jawaban sama sekali. Sampai sopir suruhan ayahnya datang menjemput.
"Lho, Non Monic, sendirian? Tante Tari kemana?" tanya sopir.
"Tidak tahu. Tante pasti kabur seperti yang lain." Monica cemberut. Ia pun pulang berdua saja bersama sopir.
Sampai sore menjelang, Mentari masih belum pulang ke rumah. Monica sudah uring-uringan, tidak mau makan, tidak mau mandi, dan mendorong Bi Imah sampai terjatuh. Jika sudah mengamuk seperti itu, hanya William yang bisa menenangkannya.
Baru saja Imah memegang gagang pesawat telepon, sang Tuan sudah tiba. Ia tidak jadi menelpon dan menaruh kembali gagang pesawat telepon ke tempatnya semula. Ia segera menghampiri majikannya, mengambil tas kerja di tangannya, lalu menaruhnya di dalam kamar.
"Terima kasih, Bi. Monic kemana?"
"Non Monic di teras belakang, Tuan. Sejak pulang sekolah, Non Monic terus mengamuk."
"Mengamuk? Kenapa?"
William mengernyitkan dahi. Biasanya hal itu terjadi saat pengasuhnya kabur. Mentari tidak kabur dari rumah, jadi kenapa putrinya itu mengamuk?
"Itu, Neng Mentari tidak datang menjemputnya. Non Monic pulang sendirian diantar Pak Jono."
"Tidak mungkin. Kemarin, dia sampai bela-belain lari untuk menjemput Monic. Aneh?" tanya William.
"Saya tidak tahu, Tuan." Imah keluar dari kamar sang majikan.
William pergi ke kamar mandi. Ia ingin membersihkan diri terlebih dulu sebelum membujuk putrinya. Di bawah pancuran air kran shower, ia terus berpikir. Mungkinkah, ia yang terlalu berlebihan menilai Mentari?
Awalnya, ia sudah senang karena telah menemukan orang yang tepat untuk menjadi ibu pengganti. Ternyata ia kecewa, Mentari juga pergi seperti pengasuh terdahulu. Ia tidak memiliki perasaan untuk gadis itu, hanya ingin menjadikan gadis itu pengasuh sampai Monica bisa mengurus dirinya sendiri.
Selesai mandi dan mengganti baju, ia pergi mencari putrinya yang masih menangis. Gadis kecil itu memarahi Imah yang mengajak Monica mandi karena hari sudah sangat sore. Matahari sudah hampir tenggelam, kembali ke peraduan.
"Monic! Ayo mandi, Sayang," bujuk William.
"Monic maunya mandi sama tante," ujar Gadis cilik itu.
"Sini, Sayang!" William mengangkat Monica dan mendudukkannya di pangkuan. "Papa mau tanya. Memangnya, tante tidak bilang sebelum pergi meninggalkan kamu di sekolah?"
Monica mengingat-ingat lalu menggeleng. Namun, sedetik kemudian ia ingat. Gadis berusia empat tahun yang terlalu cerdas itu segera turun dari pangkuan ayahnya.
"Ayo pergi jemput tante, Pah!"
"Pergi kemana, Sayang. Tenang dulu, bicara pelan-pelan."
"Tante bilang, tante nungguin Monic di rumah jamur," ujar Monica.
"Tante pasti sudah pergi dari sana. Sekarang, Monic mandi sama Bibi, terus makan. Biar papa suruh orang buat cari tante."
"Gak mau, Pah. Tante masih di sana. Ayo, Pah!"
Monica sangat yakin kalau Mentari masih berada di rumah jamur. William tidak percaya dengan dugaan putrinya. Apalagi, ini sudah gelap, sekolah sudah tutup sejak siang tadi.
'Heh! Mana mungkin dia masih di sana.'
William akhirnya mengalah karena putrinya terus mendesak. Mereka pergi berdua tanpa sopir. Laki-laki itu hanya ingin membuktikan, bahwa Mentari pasti sudah pergi dari sana.
Dua puluh menit kemudian, mereka tiba di depan gerbang sekolah. Seorang satpam menghampiri mobil William. Ia mengenali wajah Monica sebagai anak didik di taman kanak-kanak itu.
"Neng Monic, ada apa ke sini sore-sore?" tanya satpam menyapa mereka saat turun dari mobil.
"Pak, cepat buka pintunya!"
"Begini, Pak. Monic sangat yakin kalau pengasuhnya ada di dalam rumah jamur di taman sekolah ini."
"Masa, sih? Perasaan saya, semua sudah keluar. Tapi, kalau mau melihat, bisa saya antar."
Satpam membukakan pintu gerbang, mengantar mereka ke taman bermain di samping gedung sekolah. Monica berlari lebih dulu ke rumah jamur, tapi suasana taman itu terlalu gelap saat malam. Mereka tidak bisa melihat dengan jelas.
Senter dinyalakan, menyoroti bagian dalam rumah jamur. Benar dugaan Monic, Mentari terbaring di dalam sana dengan kondisi tidak sadarkan diri. William bergegas masuk dan menggendong gadis itu keluar.
Masker yang menutup mulutnya terlepas saat William menggendongnya. Satpam membelalak saat masker itu terjatuh. Ia mengenali wajah itu.
"Bu Mentari?!"
"Anda mengenal Mentari?" tanya William. Ia merasa heran, karena satpam itu begitu sopan memanggil Mentari.
"Dia ini anak kedua pemilik TK ini, Pak. Saya heran, kenapa Bu Mentari jadi pengasuh Non Monic?"
Baik Will atau satpam, keduanya sama-sama tidak mengerti. Mencegah sesuatu yang tidak diinginkan, William meminta satpam itu merahasiakan hal ini. Ia memberikan uang tutup mulut pada satpam itu, lalu pergi membawa Mentari ke rumah sakit.
William semakin penasaran dengan asal-usul gadis itu. Apalagi, Firman masih belum melaporkan hasil penyelidikan. Kenyataan bahwa Mentari adalah anak kedua pemilik TK Glory, membuatnya ingin mengungkap alasan gadis itu bekerja sebagai seorang pengasuh.
'Apa motif gadis ini masuk ke rumahku sebagai pengasuh?'
*BERSAMBUNG*