Monica duduk ditemani satpam di pos. Sudah satu jam sejak jam pulang sekolah, tapi gadis cilik itu masih tidak mau beranjak dari sana. Wali kelasnya terpaksa menelpon William untuk menjemput putrinya.
"Monic, ibu antar pulang ya?"
"Tidak mau! Monic mau menunggu tante datang."
Gadis cilik itu bersikeras menunggu Mentari. Tiga puluh menit berlalu, William tiba. Ia sudah terbiasa menghadapi situasi seperti ini.
Beberapa pengasuh terdahulu, mereka melakukan hal seperti ini. Berjanji menjemput Monica sepulang sekolah, tapi tidak pernah datang lagi. Saat itu, pasti William yang menjemputnya.
Gadis itu tidak akan bisa dibujuk, kecuali ayahnya sendiri yang datang menjemput. Sebenarnya, ia sangat kasihan melihat Monica. Namun, ia tidak bisa memaksa para pengasuh itu untuk tetap tinggal.
"Monic!" Will memanggil putrinya yang sedang terisak, ditemani wali kelas, dan juga satpam.
"Papa! Tante bohong. Tante tidak datang menjemput Monic. Tante jahat, Pah. Huwah …. Hiks."
Wali kelasnya berbalik, menghapus air mata yang turun membasahi pipinya. Tangisan gadia kecil itu begitu menyayat hati. Will bahkan ikut merasakan sesak di dadanya saat gadis kecilnya menangis.
"Monic, Sayang …. Sekarang pulang sama papa dulu, ya. Tante mungkin ada di rumah," bujuk William sambil bersimpuh dengan satu lututnya menempel di tanah.
"Tidak ada. Tante pasti tidak ada di rumah, hiks," ujar gadis kecil itu di sela isak tangisnya.
William tidak bisa menjamin keberadaan Mentari dimana. Jika terus membujuk Monica seperti itu, juga tidak akan membuat keadaan hati gadis itu berubah. Ia menggendong putrinya dan melangkah menuju mobil.
"Tunggu! Hah! Hah!" Mentari datang dengan napas terengah-engah. Wajahnya berubah merah, keringat membanjiri wajah, dan bajunya pun basah.
"Tante! Hiks …." Monica memberontak dari gendongan ayahnya. Ia berlari menghampiri Mentari yang sedang berdiri mengatur napas.
Gadis itu berjongkok dan memeluk Monica. "Maafkan tante, Sayang. Tidak ada taksi yang lewat, jadi tante lari ke sini. Maaf, tante terlambat."
William tersenyum melihat putrinya berhenti menangis. Hal yang lebih membahagiakan adalah, Mentari, satu-satunya pengasuh yang menepati janjinya. Gadis itu bahkan rela berlari agar tetap bisa menjemput Monica.
"Sekarang, kita pulang, ya. Jangan menangis lagi, dong," bujuk Mentari sambil bangun dan menggendong Monica. "Maaf, Tuan, saya tidak bermaksud~"
"Aku tahu. Aku antar kalian pulang dulu kalau begitu. Setelah mengantar kalian, baru aku kembali ke kantor," ujar laki-laki itu sambil membuka pintu mobil.
"Terima kasih, Tuan."
Monica duduk di kursi belakang bersama Mentari. Gadis kecil itu duduk di pangkuan pengasuhnya dan tidak mau melepaskan pelukan. Ia sangat bahagia, karena akhirnya ada orang yang tidak berbohong padanya.
***
"Aku ingin kamu mencari tahu latar belakang seorang gadis bernama Mentari. Kau, bisa melakukannya, Firman?"
Laki-laki itu menaikkan sebelah alisnya. Sejak kapan, sahabatnya itu suka mengurusi hidup orang? Firman adalah anggota detektif swasta.
"Bisa saja … tapi, untuk apa?"
"Aku harus mencari sesuatu yang bisa aku pakai untuk menundukkan dan mendapatkan gadis itu."
"Hah? Mendapatkan … bagaimana maksudmu?" tanya Firman sambil mengubah posisi duduknya.
"Aku ingin menikahinya."
"Hei, Bro! Sejak kapan seleramu menjadi turun derajat begini? Dia cuma seorang pengasuh, wajahnya juga tidak cantik-cantik amat. Kamu pasti bercanda 'kan?" tanya Laki-laki itu masih belum percaya. Mungkin sahabatnya itu sedang ingin mengerjainya, pikiran laki-laki itu masih menyangkal untuk percaya.
"Aku serius. Putriku butuh sosok seorang ibu dan aku rasa dia cukup memiliki kualifikasi."
"Apa kau mencintainya?"
"Jangan bercanda, Fir! Mana mungkin aku menyukai gadis kecil itu."
"Lalu, apa dia mencintaimu?"
"Sepertinya, tidak."
"Lalu, bagaimana bisa kalian menikah? Apa kau pikir, dia akan menerimamu menjadi suaminya begitu saja? Tanpa cinta, tanpa ada rasa sayang, tiba-tiba dilamar. Kau pikir dia bisa menikah denganmu begitu saja?"
"Aku tidak tahu," jawab Will singkat.
Firman tidak bisa menolak permintaan William. Ia berjanji untuk membantunya mencari tahu latar belakang Mentari. Terserah apa yang akan sahabatnya lakukan dengan hasil penyelidikannya nanti.
***
"Monic! Tante sudah kedinginan, nih. Lepasin tante, dong," ujar Mentari yang dikurung di kamar mandi oleh gadis cilik itu.
"Tante harus berendam sampai papa pulang," jawab Monica di depan pintu kamar mandi.
Mentari bisa saja bangun dari dalam bak mandi, tetapi ia sudah berjanji akan menerima hukuman dari Monica. Hukuman itu sebagai kompensasi atas keterlambatannya menjemput gadis kecil itu tadi siang. Tidak menyangka, jika ia akan dihukum berendam sampai satu jam lebih.
"Tahan, Tari! Kamu harus bertahan," gumam Gadis itu dengan bibir gemetar.
Pantas saja, para pengasuh itu tidak tahan bekerja di rumah itu. Rupanya, semua itu karena Monica sangat nakal. Berbeda dengan Mentari yang menganggap gadis kecil itu hanya mencari perhatian.
Deru mesin mobil terdengar memasuki garasi. Monica segera berlari menyambut ayahnya di depan pintu. Ia melupakan Mentari begitu saja.
"Papa!"
"Halo, Sayang. Bagaimana PR-mu? Sudah dikerjakan?"
"Sudah, Pah."
"Kenapa belum tidur?" tanya William sambil melirik jam tangannya.
"Nunggu Papa pulang," jawabnya dengan manja.
William mengedarkan pandangan. Gadis yang dicarinya itu tidak kelihatan batang hidungnya. Ia pun bertanya pada putrinya.
"Tante kemana?"
"Di kamar mandi," jawab Monica dengan polos.
"Oh, sedang mandi."
"Bukan, Pah. Tante sedang berendam di kamar mandi Monic," tambahnya menjelaskan.
"Kenapa harus di kamar kamu, Sayang? Di kamar tante juga ada kamar mandi."
"Monic yang nyuruh, Pah. Tante nakal, jadi Monic hukum tante berendam," jawab Monica dengan wajah tanpa dosa.
"Apa?!" William terkejut bukan main. Ia menurunkan Monica dan berlari ke kamar atas. Saat ia membuka pintu kamar mandi, Mentari segera bangun dari bak.
Gaun tidurnya yang basah mencetak setiap lekukan tubuh wanita itu. Di balik penutup dada berwarna merah itu, ia bisa melihat kedua bukit kembar yang terlihat kecil, tapi ternyata lumayan besar. Ia memberikan handuk padanya.
"Keluar dari kamar ini sekarang," ujar Will.
"Ba-baik, Tuan."
Mentari melangkah hati-hati karena kakinya basah dan licin. Sudah berusaha untuk tidak terjatuh, tapi ia terpeleset, dan tersungkur menabrak tubuh William. Tidak bisa menahan keseimbangan, mereka akhirnya terjatuh.
"Woah!" Keduanya memekik bersamaan.
Gubrak!
"Aduh," rintih Mentari di atas tubuh William. Bajunya yang basah itu jadi membasahi kemeja laki-laki itu. Mereka terdiam beberapa saat, lalu suara gadis kecil itu menyadarkan mereka.
"Papa dan Tante, sedang apa?"
Mata gadis kecil itu menatap ke arah tangan ayahnya menyentuh pinggul Mentari yang menimpa tubuhnya. William mendorong wanita itu dan bangun dengan baju bagian depan basah. Ia segera pergi tanpa memberikan penjelasan pada gadis kecil itu.
*BERSAMBUNG*