Chereads / BUKU SIHIR SANG RAJA ELF / Chapter 20 - Menjadi Tawanan Lagi

Chapter 20 - Menjadi Tawanan Lagi

Seorang pria yang dipanggil 'Nig', menghampiri mereka bertiga dengan membawakan sebuah wadah air minum. Dia menyuruh ketiganya untuk minum tanpa mengucapkan kata apapun.

Ren masih dengan pedangnya, dia juga masih bersama mahkota raja yang diletakkan di dekat tubuhnya. Namun firasatnya mengatakan kalau dirinya sedang tidak membutuhkan pedang untuk saat ini, padahal semua orang berjubah hitam di sekitarnya tidak seperti orang yang akan membiarkan mereka hidup.

Nig meminta Wedden, Ren dan Ser untuk sedikit menjauh karena api unggun akan segera dinyalakan.

Nig mengambil mahkota yang mewah itu. Dia dapat melihat Ser menggeleng menahannya, namun dia tidak peduli.

"Siapa yang telah berani mencuri mahkota kebesaran Raja Timest ini?" suara berat Nig cukup mengejutkan Wedden dan kedua rekannya.

Ren seketika menoleh pada Ser yang masih menahan nyeri di kakinya. Pemuda itu tidak mengatakan apapun, hanya menunduk dan mengalihkan pandangannya ke tempat lain.

"Dia adalah pencurinya," ujar Ren yang masih menatap Ser.

Wedden cukup terkejut kalimat Ren. Dia yang merasakan aura mengerikan dari para pria berjubah hitam itu merasa kalau jawaban Pangeran Soutra dapat membuat mereka celaka.

Nig melirik Ser, dia seolah memindai sosoknya yang nampak berandal.

"Raja Gael akan memberikan hadiah yang fantantis karena hal ini, Nig. Aku yakin," ujar seorang pria berjambang yang berdiri didekat Nig. Pria itu berperangai pembunuh, salah satu yang paling megerikan diantara semuanya.

"Apa kita harus mengirimnya ke pengadilan kerajaan?" tanya Nig seraya membolak balok mahkota untuk memastikan kalau keadaannya baik-baik saja.

Ser semakin menggigil. Dia takut, dia juga merasakan nyeri di kakinya juga angin malam yang mulai kembali bertiup menusuk kulit mudanya.

Ren dan Wedden hanya mengamati dalam diam. Keduanya masih belum ingin bersuara untuk apapun.

Pria berjambang yang bernama Mod itu berjalan menghampiri Ser yang masih meringkuk. Api unggun yang baru saja dinyalakan menampakkan bayangan pria tinggi besar itu menjadi semakin mengerikan, menjulang tinggi, hitam dengan kobaran api di belakangnya.

"Siapa namamu, Nak?" tanya Mod dengan suara paraunya.

"Ser … Seredon," ucap Ser dengan polosnya.

"Apa kau memiliki nyawa cadangan sehingga berani melakukan pencurian ini?" tanya Mod lagi yang mendekatkan wajahnya pada wajah Ser yang masih menunduk.

Ser menarik mundur tubuhnya, jelas sekali dia gemetar. Hanya dengan gelengan pelan dia memberikan jawaban atas pertanyaan itu.

"Apa kau memiliki keluarga?" tanya Mod lagi.

"Berhenti bertanya tentang hal yang tidak penting, Mod! Biarkan saja dia disini untuk malam ini lalu besok serahkan dia ke kerajaan!" teriak Nig yang berdiri agak jauh. Sosoknya menjadi sangat terang karena kilauan api unggun di hadapannya.

Mod mendengkus. Dia segera menepuk bahu anak muda itu cukup nyaring dan berdiri untuk mematuhi perkataan dari pimpinannya.

Ser semakin meringkuk, rintihannya terdengar nyaring namun dia berusaha semaksimal mungkin untuk tetap baik-baik saja.

Suasana menjadi hening ketika para pria berjubah hitam sedang duduk di depan api unggun namun itu tidak bertahan lama, karena beberapa orang kembali datang dengan membawa hewan buruan. Mereka segera membakarnya, lalu berbincang dengan nyaring menikmati makan malam mereka.

Wedden sangat mengenali aroma Bruen. Manis. Namun dia hanya mampu menelan ludah saat melihat pasukan pria berjubah hitam sedang minum-minum di seberang mereka.

Ren juga sama. Dia sedikit mengecap saat aroma daging keledai bakar menyusup ke rongga hidungnya.

Pangeran Soutra itu mendengkus. Untuk pertama kali dalam hidupnya, dia merasakan kesialan seperti ini. diikat dan dijadikan tawanan bersama dengan orang yang 'katanya' dapat menyelamatkan dunia. Namun nyatanya, menyelamatkan dirinya sendiri saja tidak bisa.

Pandangan Nig bertemu dengan tatapan tajam Ren yang sedari tadi memperhatikan pasukan mereka yang mengabaikan para tawanan. Pria berambut panjang sebahu hitam lebat itu segera mengambilkan beberapa potong daging juga satu botol Bruen untuk para tawanannya.

Nig meletakannya begitu saja di depan ketiga tawanan. Ren menyumpah dalam hatinya. Dia tidak dapat menikmati hidangan itu dengan kedua tangan yang diikat menempel dengan tubuh mereka.

Wedden mencoba untuk mendekati nampan. Dengan susah payah, dia mencoba untuk meraih daging dan mencoba untuk memakannya. Namun jarak antara tangan dan mulutnya terlalu jauh, sehingga dia tetap tidak dapat mengecap sedikitpun.

"Hey jangan bodoh! Apa kau kira mereka benar-benar memberi kita hidangan? Mereka mempermainkan kita karena kita tawanan," ujar Ren yang tidak menyukai tingkah si keriting Wedden.

Wedden mendengkus. Dengan berat hati, dia kembali meletakkan potongan daging itu kembali pada piring.

"Tidak bisakah kalian membantuku?" celetuk Ser tiba-tiba.

Wedden dan Ren segera menoleh pada bocah itu. Keduanya sangat terkejut saat melihat kondisi Ser yang menyedihkan. Dia sangat pucat dan terus menggigil, tatapannya sayu.

Belum mengatakan apapun lagi, pemuda itu sudah terjatuh ke tanah dan tidak sadarkan diri.

"Hey! Apa kau baik-baik saja? Seredon!" Wedden histeris. Suara nyaringnya itu menarik perhatian sebagain pria berjubah hitam, namun mereka masih mengabaikan.

"Hey permisi! Apakah kalian bisa memberikan pertolongan pada dia? Kurasa dia mengalami infeksi pada lukanya dan kedinginan!" teriak Ren pada gerombolan pria berjubah hitam.

Nig menolehnya, namun dia memilih untuk melanjutkan untuk menikmati makanan.

Tidak lama kemudian, Mod dan seorang yang lain menghampiri para tawanan dan melihat keadaan mereka.

"Witt, bawa dia kedalam," perintah Mod pada temannya yang berambut nyaris botak. Mereka kedua segera membawa Ser masuk ke rumah dengan masih mengabaikan Wedden dan Ren.

"Apa kau baik-baik saja dengan ini?" tanya Wedden sedikit berbisik pada Ren. "Kau adalah seorang pangeran. Kenapa kau membiarkan mereka bersikap seperti ini padamu?" tanyanya lagi.

"Apa menurutmu mereka akan peduli?" sahut Ren seketika. "Aku tidak mengenakan mahkota atau apapun. Lagipula, kita berada di wilayah mereka bukan atas kunjungan kekerajaan. Mereka hanya akan tetap menganggap kita sebagai penyusup," tambah Ren.

"Begitukah?" Wedden murung, tatapannya kembali terarah pada daging yang sudah semakin dingin. "Aku lapar," gumamnya lirih.

Ren jelas mendenganya, namun dia sedang tidak ingin ribut dengan keadaan.

Angin bertiup semakin kencang. Suasana malam juga menjadi semakin gelap dan mencekam. Dingin. Para pasukan berjubah hitam siaga dengan keadaan alam yang tidak biasa itu.

Semakin kencang angin dan semakin gelap. Nig dan pasukannya nampak berhamburan. Mereka memadamkan api unggun yang masih berkobar. Mereka juga membawa semua senjata mereka untuk masuk ke rumah masing-masing.

Wedden dan Ren mendadak seperti orang yang sangat bodoh. Tidak tahu apa yang terjadi, dan tidak tahu apa yang harus dilakukan.

Nig sempat menoleh pada kedua tawanannya. Sedikit mendengkus kasar, ia memerintahkan dua rekannya untuk membawa tawanan masuk ke rumah.

Salah seorang dari pria berjubah, Witt, masih harus menyiram bara api unggun dengan air saat kabut hitam mulai menghampiri perkampungan kecil mereka.

"Sial!" umpat Mod yang bergegas berlari keluar dengan membawa air pada ember.

Dia berlari dan segera menarik tubuh Witt untuk dapat meninggalkan sisa api unggun.

***