"Kalian pergilah saat matahari tinggi, temukan kuda dan tunggangi itu agar kalian segera tiba di tujuan. Jangan katakan apapun lagi, cukup diam dan silahkan pergi." Kalimat Nig jelas sekali, suaranya yang sangat nyaring sangat mustahil jika tidak terdengar oleh mereka yang berada didekatnya.
Namun Mod sedikit memiringkan kepalanya, sedikit tidak yakin dengan kalimat pimpinannya itu.
Thones, Satir raksasa itu pergi dengan langkah yang sangat cepat. Dengan amarahnya, dia masih ingin menemukan siapa yang membunuh pujaan hatinya, Nimfa, roh cantik penjaga hutan.
"Kalian akan menemukan kuda kami yang terikat di bagian luar perkemahan ini, jumlahnya banyak, kalian tidak akan kesulitan karena jumlahnya. Pergilah kearah hutan dengan petunjuk matahari. Jika beruntung, sebelum matahari terbenam kalian akan tiba di perbatasan hutan menuju pemukiman Wilayah TImur," ujar Nig lagi.
Ren mencerna kalimat pria itu. "Tunggu. Apa maksudmu … hutan dengan petunjuk matahari itu adalah lembah Giger?" tanyanya.
Sebagai seorang pmburu, Ren cukup mengenal beberapa nama tempat yang boleh ataupun tidak untuk dikunjungi. Nama hutan itu cukup familiar karena dirinya selalu dilarang oleh prajuritnya untuk berburu kesana.
"Oh kau juga mengetahui tentang lembah itu? Kurasa itu tidak akan sulit." Nig menyunggingkan senyumnya untuk pertama kali.
Nig lalu membubarkan barisannya dan memerintahkan untuk kembali ke rumah untuk beristirahat dan kembali bersiap untuk melakukan tugas patroli hutan besok hari.
Ren mengertakkan giginya, dia sudah menduga kalau para pria berjubah hitam tidak akan berbuat baik pada mereka dengan setulus hati.
"Apa itu artinya kita akan bertemu dengan makhluk mengerikan itu?" tanya Weden lirih.
Ren menatapnya, dia lalu mengangguk pelan. Cahaya bulan masih tinggi, namun semburat jingga mulai nampak yang menunjukkan bahkan matahari tidak akan lama lagi terbit.
"Kurasa kita harus berangkat sekarang," ujar Ren.
"Emm akupun berpikir begitu," sahut Wedden.
Si bocah pencuri tidak memberikan respon, bahkan untuk sesaat Wedden dan Ren sempat melupakan kalau mereka memiliki rekan baru.
"Apa kita membutuhkan senjata?" tanya Seredon.
Wedden dan Ren seketika menolehnya. Mereka tidak ragu sama sekali untuk menyetujui bocah itu. ketiganya segera mengambil pedang, tombak, belati dan busur peserta anak panah yang tergeletak di tanah di depan mereka.
Sepertinya itu adalah milik pria berjubah hitam yang tertinggal, atau mungkin juga memang sengaja memberi mereka sedikit bantuan sebelum akhirnya membiarkan ketiga pemuda itu mati di tengah lembah Giger.
Ren dengan busur panah beserta anak panahnya, sementara Wedden dengan tombak dan pedang, lalu Seredon membawa belati yang cukup besar. Bocah itu belum pernah bertarung, itulah yang membuat Ren dan Wedden sempat ragu saat membagikan senjata. Namun dengan melihat rasa percaya dirinya, Ser memang bukan bocah yang biasa.
Dengan berbekal senjata yang mereka ambil dari perkemahan pasukan berjubah hitam, tanpa adanya bekal makanan sedikitpun, Wedden, Ren dan Ser mulai berjalan meninggalkan tempat itu.
Mengikuti arah Satir raksasa tadi datang, mereka hanya berharap kalau tidak akan salah arah. Ren memimpin jalan mereka, dia cukup mengenal hutan walau dia juga belum pernah menjelajah hingga sejauh bagian ini.
Selama perjalanan, Ren selalu berpikir kalau ternyata masih sangat banyak bagian hutan yang belum ia kunjungi. Terlalu banyak rahasia dibalik pepohonan lebat yang menjai tempat tinggal begitu banyak jenis makhluk hidup.
Suara burung malam terdengar nyaring, membuat bulu kuduk Ser meremang. Suara tupai hutan terdengar seperti seorang nenek yang sedang tertawa lalu menangis. Mengerikan sekali. Sesekali angin juga berhembus tidak teratur membuat ketiga pemuda itu merinding karena hawa dinginnya lalu keadaan kembali menjadi sangat lembab dan seolah tidak ada kehidupan apapun disana.
Perjalanan panjang, Wedden beberapa kali terpeleset karena lumut yang tebal di jalanan lembab. Ser membantunya, namun Ren yang berada di barisan depan hanya menoleh dan memastikan kalau rekannya baik-baik saja.
Ser mulai bosan dengan perjalanan panjangnya. Dia mengedarkan pandangan ke sekitar sambil menggumamkan sebuah lagu yang tidak dimengerti oleh dua rekan lainnya.
Pandangannya tertuju pada sesuatu yang nampak seperti kupu-kupu namun berukuran lebih besar. Mirip burung, namun tubuhnya nampak tipis dan seringan kupu berwarna putih dan seolah menyala. Seperti kunang-kunang.
Makhluk itu mengiringi langkahnya dari kejauhan. Sesekali ia bersembunyi di balik pohon, namun kembali muncul untuk mengiringi langkah Ser. Bocah itu bahkan sempat berhenti lalu kembali berjalan untuk mengetes makhluk itu yang benar-benar mengikutinya.
Saking memperhatikan makhluk terbang itu, Ser bahkan hingga menabrak Wedden yang berhenti tiba-tiba di depannya hingga membautnya terjatuh. Ser mengumpat lirih seraya mengusap kepalanya yang cukup nyeri, namun saat ia mencoba untuk kembali bangun, makhluk itu, kupu-kupu atau semacamnya itu tidak lagi ada di sekitarnya.
Ser tidak dapat menemukannya dimanapun.
"Kurasa sesuatu terjadi pada mereka," ucap Wedden.
Ser yang menengar segera saja melihat hal di hadapan mereka yang membuat teman-temannya berhenti mendadak.
"Melihat dari bekas api dan luka bakar itu, hanya anak buah Kimanh yang bisa melakukannya," sahut Ren.
Mereka berhenti tepat di tempat puluhan ekor kuda mati mengenaskan dan telah dikerubungi lalat dan hewan lain yang menyukai bangkai. Nampak beberapa bangkai telah habis setengah, adapula yang masih nampak utuh.
"Apakah di hutan ini tidak ada pemakan daging?" gumam Wedden yng terbatuk. "Argh bau bangkai ini mengganggu sekali," tambahnya.
Ren hanya berdecak, dia mengamati satu per satu bangkai itu yang nampak menyedihkan. Mereka diserang dalam keadaan terikat, tentu saja mereka tidak dapat menyelamatkan diri.
"Jadi, apakah yang para pria berjubah hitam itu maksud adalah menunggangi bangkai-bangkai ini?" celetuk Ser yang menutup hidungnya karena tidak dapat bernapas lega dengan aroma busuk dari puluhan bangkai itu.
"Kurasa dia juga tidak tahu," ujar Wedden.
Srek!
Terdengar samar dari balik semak di sisi hutan yang lain.
Ren segera memekakan telinganya. Dia lalu memberi kode pada Wedden dan Ser untuk diam dan tidak bergerak sama sekali.
Wedden dan Ren siaga, walau sebenarnya mereka tidak mendengar apapun.
Srek! Srek!
Kali ini semuanya mendengarnya. Masing-masing dari mereka menyiapkan senjata. Entah apa itu, namun menyerang adalah yang terbaik.
"KYAAAAAAAKKKKK!!"
Sesuatu melengking nyaring dari balik semak di kegelapan membuat bulu kuduk merinding dan jantung berdebar kencang.
Hanya dalam hitungan detik, muncullah kucing terbang anak buah Kimanh ari arah yang terlah diperkirakan dan memekik tidak tentu arah di hadapan ketika pemuda itu.
Terus memekik dengan suara yang terdengar berbeda, makhluk besar itu mengepakkan sayapnya kesana kemari dengan sesekali menyemburkan api kearah yang ada di hadapannya.
Ren menarik napas panjang, begitu juga dengan Wedden. Keduanya nampak kompak untuk memberi serangan pada makhluk itu.
Ren melepaskan anak panah tepat saat makhluk itu membuka mulutnya, sementara Wedden melemparkan tombak tepat pada sayapnya.
Dua serangan itu membuatnya terjatuh walau sempat mengerang nyaring sebelumnya.
***