Danisa mulau mendengarkan ayahnya.
"Jadi seperti ini. Kenapa Farhan ada di sini. Flashback off 3 bulan yang lalu.
Pagi yang indah, suara burung-burung berkicau ria. maklum ini adalah sebuah desa yang masih asri dan sejuk, rumah belum sepadat Kota. Nada Aida gadis manis terlahir di desa Sumber Indah, desa kecil di pulau Sulawesi Tenggara. Nada sudah menjadi yatim piatu saat umur 4 tahun, ia di asuh oleh pamannya, bernama Mahfudz, ia juga sering berada di pondok kecil dekat rumah untuk mengaji, Al Qur'an, haditz, tajjuwid dan lainnya.
Nada gadis manis berlesung pipi gadis ini sudah berumur 26 tahun. Dan ia masih menikmati masa kesendiriannya. Ia samgat akrab dengan ke dua adik angkatnya, Raina dan Farhan. Raina berumur 23 tahun, dan Farhan masih duduk di kelas tiga SMA.
Walau hanya paman tapi, Mahfudz mengajari semua kebaikan dan kedisiplinan. Hanya saja Ami istrinya selalu tak suka dengan Nada.
Bingkisan datang ada keluarga kaya yang ingin melamar Nada. Keluarga Rahman, keluarga yang terkenal sukses dengan usaha cengkeh, kopi dan coklat. Di Sulawesi memang terkenal tanah kesuburannya. Nada tidak tahu kalau akan ada lamaran yang datang untuknya.
Rahman adalah putra dari teman sekaligus bos dari Pak Mahfudz.
Sementara di pagi itu Nada pergi ke pasar tradisional. Ia merasa aneh dengan tiga laki-laki yang mengikutinya. Nada lari dengan sekuat tenaga. Ia terpaksa masuk mobil orang.
Tak lama mobil pun berjalan, terdengar suara laki-laki, yang sedang bicara di telpon.
"Baik Mak ... iya, aku sudah membeli beberapa kebutuhan, aku juga sudah membeli kain yang Ibu mau," suara yang jelas lalu menutup telpon lalu melajukan mobil.
"Baru ini orang laki-laki belanja untuk urusan ibu rumah tangga." gumam Nada saat itu, membuat pria pemilik mobil itu merasa merinding.
"Ma_af ...." Suara Nada muncul, pria itu mengerem mendadak.
"Astagfirullah apa itu? Ya Allah aku tak berani menoleh," gumamnya sambil meraba bulu-bulu yang merinding di bagian leher belakang.
"Maaf saya numpang, karena tadi ada yang mengejar saya," jelas cepat Nada.
"Ah modus, ya sudah turun bikin merinding," suruh orang yang punya mobil Expander itu. Nada membuka pintu lalu turun, tapi ia melihat tiga preman itu, Nada masuk lagi.
"Lho. Kok masuk lagi?" Tatap tajam pemuda itu.
"Di sana masih ada ..." Tunjuk Nada dengan wajah takut. Pemuda itu menoleh ke rah yang tadi di tunjuk Nada. Ia mengegas mobilnya dengan mengebut.
"Mas jangan ngebut," Pinta Nada sama sekali tak di gubris.
"Memang aku supir mu..." Pria itu mengerem mendadak hingga kepala Nada terbentur.
Dhuggg!
"Ya Allah ..." Nada sangat terkejut.
"Turun! Ini sudah jauh dari pasar!" pinta Pemuda itu.
"Maaf dan terima kasih." Nada segera mengambil barangnya, turun dan ber jalan 15 langkah.
"Hay tunggu." Pria itu ikut keluar, lalu menarik Nada.
Pria itu tahu kalau ada yang mengikuti Nada.
"Apanya yang menarik sih dari kamu, kok 3 pria itu terus mengikutimu." Ucapan Pia itu menunjukkan preman itu, tapi tak memandang Nada, ia lalu menoleh dan sadar bahwa gadis di depannya benar-benar mahluk Allah yang sangat cantik dan anggun.
"Khurin a'in (Bidadari bermata indah)." ceplosnya memuji Nada dengan bahasa arab yang berarti bidadari yang cantik dengan mata yang indah.
"Merunduk." Pria itu mengajak Nada sembunyi di depan mobilnya.
'Aku deg-degan, dari mana Allah menurunkan kecantikan yang manambah tergodanya dengan bujukan setan. Ya Allah jaga imanku, kuatkan hamba dan jauhkan hamba dari Sahwat. Aku sebentar lagi menikah.'
Batin Pria itu.
"Kamu masuk mobil ya, dengan cepat, lari sekuat tenaga, ini sangat
membahayakkanmu," saran pria itu beruntun. Nada menurutinya.
Nada masuk mobil, pria itu masuk mobil, lalu ngebut.
"Ada masalah apa sampai mereka mengejarmu, padahal ini sudah jauh dari pasar?" tanya penasaran pria itu.
"Apa kau terlilit hutang, atau mereka mengejarmu karena."
"Saya juga tidak tahu," sahut Nada yang bingung dan grogi. 'Pasti Bibi yang menyuruh preman itu, Ya Allah ampuni hamba sudah Shu'udhon.'
"Rumahmu di mana? biar ku antar." Pria tampan dan berkulit bersih ini, menawarkan untuk mengantar Nada.
"Saya akan merepotkan nanti, tidak usah." Jawab Nada sedikit takut.
"Tenang aku pria baik-baik," tegur pria itu, melirik raut wajah Aida yang panik.
Nada melihat tulisan. 'Alumni Pondok Pesantren, Darussalam BWI, Jawa Timur.'
Nada membaca dalam hati, pria angkuh itu ternyata seorang santri.
"Rumahku dekat dengan pondok Roudhotuttholibbin, Sumber Indah." Beri tahu Nada.
"Dekat dari sini? Aku lupa aku baru pulang satu bulan yang lalu dari Jawa, jadi, kenapa aku ngomong. nggak penting." Pria itu memberi tahu tapi lalu menyesal.
"Sudah di sini saja, terima kasih," tunjuk Nada. Mobil berhenti.
"Sama-sama, hati-hati mbak," tegur pria itu.
Nada tersenyum.
Mobil berlalu, Nada berjalan menuju lorong rumahnya. Ia beristirahat di rumah orang tuanya, ia belum siap kembali ke rumah pamanya.
"Tuh! Kan, Mbak Nada malah sembunyi ..." Tanpa salam muncul gadis berjilbab ungu.
"Raina, salam dong." tegur Nada, bersandar ke tembok, raut wajah lelah dan gelisah tersirat di wajah ayunya.
"Assalamu'alaikum maaf ya Allah telat." Raina masuk,
"Wa'alaikumsalam," jawab lembut Nada. Raina dengan cepat duduk di samping Nada dan terus bicara tanpa henti.
"Tadi keluarga Rahman datang dan menyerahlan seserahan, bagaimana Mbak setujukan? Mereka melamar Mbak, bahkan Om Rahman itu belum tahu wajah Mbak, dia tidak ragu sama sekali untuk menikah dengan Mbak, walau aku memanggilnya Om, dia masih terlihat masih berumur 29 tahun, Mbak. Mbak sudah berumur, aku tidak memprofokasi, menurutku dia baik dan ganteng walau teman Ayah, dia sangat ramah dan mudah bergaul dengan pemuda di kawasan Pondok, sangat akrab dengan siapapun, Mbak kok merem sih ...." protes Raina, bicara panjang lebar.
"Terserah Allah, hanya saja aku tidak ingin melihatnya, biarkan aku tahu dan mengenali setelah menikah. Aku tidak punya kehendak untuk menolak, tiada alasan. Walau hati tak suka tapi aku rela demi Bapak." jawab Nada dengan pejaman mata.
"Mbak ... kok gitu sih ... aku saja mau, jika harus menikah dengan Om itu, sayangnya keluarganya memilih Mbak. Tapi semua keluarganya semua Baby face lo Mbak, Mamanya Om saya masih cantik banget," puji Raina tak henti-henti karena masih mengagumi keluarga yang baru tadi pagi ke rumahnya.
"Aku yakin mungkin istri pertamanya," sahut Nada remeh dan malas.
"Ih ... Mbak ... kok gitu sih ... aku yakin dia masih suci N perawan," kata yakin Raina, Nada tertawa mendengar kata perawan
"Perawan?" Nada masih tertawa, Raina bingung.
"Siapa yang bicara soal perawan." Ceplos Raina tak sadar, " Oh, iya deng hehe he, lancing, eh bujang." Raina baru tertawa dan Nada sudah menghentikan tawa itu.
"Ina, aku bertemu pria baik dan lulusan pesantren, tapi aku harus segera membuang dan mengubur, perasaan kagum ini," kata Nada masih mengingat rupa Pria yang menolongnya tadi. Adzan Dhuhur berkumandang.
"Cegah rasa cinta, atau Ibu ku yang titik-titik itu akan membuat bencana," tegur Raina.
"Udah ayo solat." Nada bangun dari kursi lalu pergi whudlu.
"Suka tak suka pernikahan itu harus terjadi. Aku terpaksa, dan semoga Allah memberi jalan yang terbaik untukku," gumam Nada.
Bersambung....