Chereads / Yakin Karena Istikharah / Chapter 4 - Melihat Calon Suami Nada

Chapter 4 - Melihat Calon Suami Nada

Alam indah dengan pemandangan yang luar biasa, pulau Sulawesi memang sangat dekat dengan pesisir pantai. Khas Indonesia di Sulawesi. Adalah banyak orang pendatang dari macam-macam daerah.

Sungguh maha kuasa Allah, yang menciptakan ragam bentuk keindahan dan suku para insan, alam beserta hiasannya.

Ada Jawa Barat dengan Bahasa ngapak, Jawa timur bahasa jawa biasa, Jawa tengah dengan bahasa jawa yang kromo inggil, itulah sebutanya. Suku asli pun juga ramah dan bermasyarakat suku yaitu Bugis.

Mereka menjalani kehidupan bermasyarakat dengan Bhineka Tunggal Ika. Bersatu padu dalam Indonesia.

Raina mengajak ke Pantai untuk jalan-jalan. Ia berusaha membujuk Kakak angkatnya itu, tapi Nada memilih diam di rumah dan bersih-bersih, karena Ibu angkatnya mengode dengan tatapan tak enak di lihat. Nada terbiasa dengan pandangan itu.

"Nada, turuti mau Raina sebentar lagi kamu akan menikah. Otomatis kamu juga akan jarang kemari, untuk berkunjung." Pinta Pak Mahfudz, tapi Istrinya melirik dengan tatapan kesal.

"Tidak Pak ... kasiah Bibi, jika harus bersih-bersih sendiri, ini kan sudah dekat dengan hari penikahanku," ujar Nada mengelak karna ia tahu bibiknya sangat tak suka jika dia keluar rumah.

"Ah ... Mbak aku bantu bersih-bersih, nanti habis bersih-bersih kita menikmati angin sore dan sunset."

"Gitu dong Raina jangan malas-malas," sahut Ayahnya sambil berdiri. Lalu pergi untuk bicara dengan istrinya.

"Dik, jangan terlalu sinis lah sama Nada, lagian dia itu tak lama di disi, sikapmu itu terlihat jelas, dia juga memberi hartanya kepada keluarga kita, lalu apa yang membuatmu sangat membencinya, fikirkanlah," tegur Mahfudz.

"Sudahlah Mas, Mas itu memang sangat sayang kan sama, dia. Iya oke nanti aku akan bertingkah seolah aku tak membencinya. Aku masih sakit hati atas tuduhan mbak Tia, jika aku..., ah..., percumalah." Istri Mahfudz mengungkit masa lalu.

"Ya Allah dik, mbak Tia kan sudah minta maaf, lagian dia sudah tidak ada, jangan membenci orang yang sudah tiada." Tegur Mahfudz.

"Ayah, Ibu, udah selesai, aku boleh pergi ya," kata Raina berpamitan, Mahfudz mengangguk. Raina keluar, ia terbungkam rapat ketika melihat ke dua orang tuanya bertikai soal masa lalu.

'Ya Allah buka pintu hati Ibu, lapangkan fikirannya, bukalah pintu Ibu untuk menyayangi Mbak Nada. Aku serasa lelah dengan sikap Ibu, Ibu tidak memberi contoh baik untukku dan Farhan, untung saja Ayah adalah orang pengertian.'

"Raina kok melamun sih..., jadi tidak?" tanya Nada, penasaran dengan raut wajah Raina yang sedih tiba-tiba.

"Mendung, tidak jadilah ..." Nada memandangi langit cerah.

"Tiada mendung, mana?" Raina mencoba mencari-cari langit gelap yang akan mendatangkan hujan.

"Mendungnya itu di wajahmu," tegur Nada sambil mencubit pipi Raina.

"Dua-duanya Mbak agar jadi merona tanpa pakai make up," Canda Raina menarik tangan Nada, mereka naik Motor Matic Vario merah bergaris hitam.

Lalu berangkat, menelusuri jalanan hijau dengan hamparan sawah dan bangunan Pura. Di wilayah desa mereka memang beragam-garam, tapi mereka saling menghargai. Satu Indonesia.

"Mari kita buat kenangan sebelum Mbak menikah, oke ..." Raina sangat semangat, namun ada sesuatu yang mengganjal di hatinya, perasaan aneh tiba-tiba muncul, di benaknya membuatnya ingin kembali pulang dan tak jadi ke Pantai.

Jarak rumah dan pantai hanya di tempuh dengan 20 menit, jauhnya 3 KM.

Hamparan bunga kuning menyebar dan menjalar di bawah tanah. Itu bunga tanaman yang bisa di makan, orang Jawa menyebutnya dengan legetan. Makanan yang membuat lidah bergetar.

Mereka sampai di desa Ogodago ciri nama yang di ciptakan Suku Bugis. Raina memarkirkan motornya.

Mereka mulai masuk.

Berjalan, berlari, memercikkan air ke Nada, namun sikap Nada merasa gelisah. Ia hanya duduk menikmati hembusan angin mesra, ia menikmati suara desiran ombak.

'Aku tidak tahu nanti bagaimana, perasaanku ... apa aku bisa jatuh cinta, atau memberi ketulusan, Ya Allah ini adalah kehendakMu, semoga aku bisa jatuh cinta kepada Suamiku nanti.., Amiiinn' Doa Nada dalam hati.

"Aku sepi, sepi, sepi jika tak ada kamu.

Tapi aku tak mau mati, jadi ku ganti rindu. Aku rindu, rindu, rindu jika kau pergi," Raina menikmati dengan bernyanyi sesuka hati, Raina lalu menghampiri Nada yang masih termengu dalam lamunannya.

"Ah, Mbak ku." Raina duduk di batang pohon di samping Nada.

"Mbak, mbak, mbak, mbak, mbak" panggilan cepat tak henti sambil menepuk pelan pundak Nada, Raina melihat cowok keren di sebrang.

"Itu Om, lihatlah kerennya, ini benar-benar isyarat jodoh, so sweet, Mbak, cepat pandang, tokeh mbak, toleh." Upaya Raina sambil mengarahkan dagu Nada ke lelaki di sana. Nada pun akhirnya memandang calon suaminya.

"Kamu lihatnya bagaimana sih, dia sudah tua, cuci dulu matamu, agar jernih." Nada sedikit kesal dan hatinya menolak. 'Dia benar-benar Om, om, mata Raina bagaiman sih lihatnya!'

"Ih, yang pakai kaos abu-abu itulho ... mbak Nada yang salah pandangannya. Lihatlah dia sangat manis banget." Raina tak henti memandang Pria yang akan menikahi kakaknya. Raina mendorong terus dagu Nada, namun Nada tak berani melihat dan memilih merunduk.

"Ah ... Mbak, pergi kan Omnya ..." keluh Raina tak berhasil membujuk Nada.

"Lebih baik aku tidak melihat wajahnya." Perkataan pelan Nada.

"Aku terpaksa menikah dengan pria yang tua, hi, merinding melihat brengosnya. Hi ..." Nada merinding ia merasa risih, Raina tertawa lepas setelah tahu Nada salah pandangan.

"Hahaha Ih, tuh kan ... Salah lihat Mbak. Pipi Om itu masih mulus bak aspal baru di jalan tadi. Tadi yang mbak lihat pasti orang yang bicara dengannya, ih mbak," Raina mlecurkan bibirnya.

"Kamu saja yang menikah dengannya," tegur Nada, ia berdiri dan mulai menikmati, desiran ombak halus.

"Aku masih menantinya, penantian yang sangat panjang, cintaku di gantung di tengah-tengah pantai, jika kembali tak dapat, jika maju memalukan, jadi aku tetap berada di posisiku, di tengah, semoga saja ibarat kata ada desiran ombak yang menyampaikan jika aku tetap mencintainya, menunggunya, dan tak bisa mundur, Maflevi Reza apa kau tidak tahu jika aku mencintaimu dalam diam selama 4 tahun." Panjang lebar kata Raina yang masih mengharapkan kakak kelasnya datang dan menyatakan cinta.

"Ra, kau tetap masih akan menunggunya, ini adalah waktu yang lama. Kalau udah ada rasa orang yang menegur pun kalah. Semoga Allah SWT, menyatukan kalian." Nada mencoba memberi saran agar Raina bisa melanjutkan hidup dengan orang lain, namun Nada juga mendoakan agar Raina bisa bersatu.

"Aku tahu aku bodoh. Tapi apa salah jika aku berharap dengan kekuasaan Allah, mungkin dia tiba-tiba datang, eh, kemungkinan hanya satu persen. Aku saja hanya sekali berbicara denganya, hanya aku yang selalu memandanginya dan memperhatikannya, dari kejauhan, kisah remaja yang tragis."

Ponsel Raina berdering. Ada chat masuk dari Ibu. Raina membaca dengan sura pelan.

[Cepat pulang, Bapak pingsan.]

"Ayo cepat." Nada yang mendengar langsung panik.

"Iya Mbak."

Mereka lari, naik motor lalu melaju dengan kecepatan tinggi karena sangat panik.

Bersambung.