Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 22 - (Book I) 21: Mimpi Tentang Peperangan?

Chapter 22 - (Book I) 21: Mimpi Tentang Peperangan?

"Aku hanya ingin pulang."

Waktu masih menandakan pukul enam pagi ketika Cika terbangun karena mimpi buruk.

Kata-kata itu benar-benar menghantui benaknya. Gadis bermata biru itu masih terduduk di atas kasur sambil merenungkan mimpi mengerikannya semalam, sementara pandangannya yang kosong tertuju pada Rama dan Gota yang masih tertidur pulas di ranjang di lantai.

Dalam mimpinya tadi, Cika melihat Gota yang mati ditusuk oleh pedang.

Pedang itu menembus perut bocah lelaki itu, merobeknya seperti kertas. Darah pun mulai mengalir dari belahan bibirnya, dan wajahnya menjadi pucat layaknya salju, lalu disaat itu pula kata-kata itu pun keluar dari mulut Gota.

Dia ingin pulang, katanya.

Meski begitu, anak itu tersenyum.

Mau dipikir bagaimanapun, mimpinya itu bukanlah hal yang bisa dianggap sebagai angin lalu.

Gadis kecil itu merasakan dengan jelas di tulang-tulangnya, kalau ada sesuatu yang lain.

Tapi, apa? Kenapa? Tak ada petunjuk apapun.

Cika lalu menoleh ke kiri dan mendapati sosok Tante Merax yang sedang berdiri diam di depan jendela.

Wanita berambut hitam panjang halus bak sutra dan bermata ungu mengkilap itu tampaknya sedang banyak pikiran saat ini. Raut mukanya tegang, dan tatapannya sangat lurus.

"Aku haus." Kata Rama yang tiba-tiba sudah terbangun.

Mata anak itu kali ini berwarna kuning cerah seperti mentari terik di siang hari.

Wajah bocah itu masih memelas. Ia mengusap-usap matanya sembari bangkit berdiri dan ikut duduk di atas kasur.

"Eh? Kamu kenapa Cika?" Anak lelaki itu bertanya setelah melihat wajah Cika.

Muka gadis itu pun sebenarnya terlihat agak tegang tanpa ia sadari, mungkin karena mimpinya tadi.

"Eh? Kenapa emangnya?" Cika mengelak.

"Kamu kayak kelihatan bingung gitu." Ungkap Rama sambil menatap wajah Cika lekat-lekat, anak itu menyipitkan matanya dan memiringkan kepalanya sedikit.

"Yah aku nggak kenapa-napa kok." Cika mengangkat kedua bahu, membuat kebohongannya semakin menyakinkan. "Cuma haus aja."

"Hmm... Tante Merax mau minum teh nggak? Aku buatin." Rama bertanya pada Tante Merax.

"Ah, nggak usah repot-repot, Nak." Jawab Tante Merax yang masih memandang ke luar jendela. Ia menjentikkan jarinya sekali dan disaat yang bersamaan, terdengar suara denting gelas dari luar pintu kamar, mungkin dari dapur. "Lagi pula Tante juga cuma menumpang disini."

"Tapi kalau boleh tahu, emangnya Tante mau sampai kapan tinggal disini?" Tanya anak lelaki itu.

"Tante nggak tahu." Mata ungu wanita itu tampak sedikit berpendar. "Sudah empat hari sejak kejadian itu, tapi semakin kesini, jejaknya malah makin nggak ada."

"Bagaimana dengan Gota?" Tanya Cika spontan.

"Tante nggak melihat apa-apa dari Gota, jadi dia tidak ada sangkut pautnya dengan ledakan kekuatan itu, cuma ya, tentu saja dia itu merupakan kasus yang lain, dan itu termasuk pria yang datang beberapa hari lalu. Sepertinya pria itu anggota dari semacam sekte sesat atau entahlah." Tante Merax menjelaskan sambil berbalik memandang Gota yang masih terlelap.

Ah, begitu ya? Berarti Tante masih tinggal disini kan?" Tanya Rama, bocah itu sekarang melakukan sesuatu yang aneh lagi.

Ada sesuatu di atas telapak tangannya yang sedari tadi dipandanginya, itu terlihat seperti sebuah cincin emas.

Tak lama kemudian, cincin itu perlahan-lahan mulai terangkat ke udara, awalnya itu hanya mengambang di atas telapak tangan Rama, namun lambat laun, cincin itu tiba-tiba bergerak memutari anak itu dengan pelan. Cincin itu terus melayang mengitarinya, layaknya hewan peliharaan.

"Ya, kalau kamu tidak keberatan Nak–"

"Aku nggak keberatan kok." Tukas Rama yang sedang asyik memperhatikan cincin kecil itu. "Tante boleh tinggal selama yang Tante mau. Nggak masalah kok."

Tante Merax menghela nafas, senyuman kecil terbentuk di bibir wanita itu.

"Ngomong-ngomong Cika, kalau boleh tahu, kamu ini kelas berapa?" Tanya Tante Merax tiba-tiba.

Cika sedikit terkejut mendengar pertanyaan itu. "Ah, aku kelas tiga, Tante."

Alis Tante Merax naik pada jawaban Cika. "Kelas tiga? Wah, sepertinya kamu juga sudah berjuang keras ya?"

"Tunggu sebentar, kelas apa yang sebenarnya kalian bicarakan sekarang?" Tanya Rama yang tampak bingung.

"Kelas itu adalah cara Dewan Dua Dunia untuk membagi tingkatan kekuatan kita." Jelas Cika. "Kelas dibagi menjadi lima, dan itu dari satu sampai lima, tapi ada juga Kelas Spesial yang mana itu berisikan sosok-sosok dengan kekuatan yang tak bisa diukur."

"Jadi bagaimana pembagiannya? Apa itu berdasarkan poin keajaiban kita? Kayak pakai Kristal Admin yang kemarin?"

"Nggak, kalau Kristal Admin itu cuma buat mengukur seberapa besar keajaiban kita, tapi kalau Kelas itu dibagi berdasarkan bagaimana cara kita mengendalikan seluruh keajaiban itu." Cika beranjak turun dari kasur lalu meregangkan tubuhnya sejenak.

"Jadi, kau Kelas Tiga, ya? Terus kalau Tante Merax?" Tanya anak lelaki itu pada wanita yang sedang bersandar di jendela.

"Kalau Tante sih sudah jelas Kelas Satu, Nak Rama. Tapi Kelas Satu tingkat puncak" Wanita itu nyengir dengan bangga. "Sejak awal, semua kaum Naga sudah terlahir sebagai Kelas Satu, hanya saja itu masih pada tingkat awal. Bagi kami, ini hanyalah soal waktu saja kok."

"Oke, kayaknya aku udah sedikit ngerti." Rama bergumam yakin.

"Serius, apa sih yang sebenarnya kamu ngertiin..." Cika yang mendengarnya langsung memasang wajah datar sambil menatap Rama dengan keheranan.

Akan tetapi, keberadaan cincin yang masing melayang-layang di sekitar Rama itu tetap membuat Cika penasaran, dan itu jelas berlaku juga untuk Tante Merax. Meski begitu, pada akhirnya Cika tak bisa berkata apapun, begitu pula dengan si wanita naga yang seolah berusaha menahan untuk melontarkan pertanyaannya.

Namun, tak lama kemudian, Tante Merax pun akhirnya kembali angkat bicara.

"Nak Rama, maaf kalau Tante kurang sopan, tapi bisa nggak kau memberitahu Tante soal keadaanmu sekarang ini?" Tanya Tante Merax yang tampak berusaha agar terlihat sesantai mungkin.

Ini dia, saat-saat yang dinantikan Cika setelah beberapa hari ini.

"Sejauh yang Tante tahu nih ya, kamu ini kan awalnya cuma manusia, kamu tinggal di rumah ini sejak awal kan? dan tetanggamu pun mengenalmu dengan baik. Maksud Tante begini, maaf banget ya, pokoknya maaf banget, hanya saja, Tante ingin tahu soal orang tuamu, atau kalau perlu soal keluargamu sekalian. Dimana mereka sekarang? Apa yang terjadi? Kenapa kamu sendirian saat ini? Dan jujur, Tante juga sempat mencaritahu soal kamu di Kristal Agung, tapi anehnya, semua informasi tentangmu sama sekali nggak ada... Benar-benar nggak ada."

Rama tampak sedikit tercengang sekarang, namun, anak itu pun seolah sengaja untuk bertingkah acuh tak acuh.

Rama menangkap cincinnya yang baru saja melintas tepat di depan wajahnya, lalu bocah itu pun menundukkan kepala dan menatap cincin emas yang ada di telapak tangannya itu.

"Gimana ya?" Rama bergumam.

Keheningan membanjiri kamar yang amat sederhana itu, hanya suara detak jarum jam yang tergantung di atas pintu yang terdengar di telinga Cika. Namun, sesekali terdengar pula suara-suara bising pelan dari arah dapur.

Rama masih terdiam untuk sejenak. Toh dia masihlah seorang anak-anak seperti kebanyakan, tidaklah mudah baginya untuk menjawab pertanyaan semacam itu, apalagi di situasinya yang sekarang ini.

"Orang tuaku, tanteku, omku, oma, opa, adik, kakak... keluargaku... Mereka semua udah nggak ada."

Suara sepoi angin yang masuk melalui jendela mengiringi setiap kata-kata yang keluar dari mulut Rama.

Akan tetapi, entah kenapa Cika malah merasa sangat kosong sekarang. Matanya terbuka, tatapannya kosong, dan nafasnya serasa terhenti.

"Apa yang terjadi?" Tante Merax bertanya, keningnya berkerut.

"Aku... Aku juga ngga terlalu mengerti Tante. Yang kuingat hanya cahaya doang... Cahaya yang silau banget, terus waktu aku sadar, aku udah di ranjang ini... Dan semuanya udah jadi begini." Cincin di tangan Rama kembali mengambang, tapi lama-lama, ukuran cincin kecil itu sedikit melebar sampai seukuran seperti gelang, dan tiba-tiba saja kunci emas meteor Rama keluar dari tengah-tengah cincin itu.

[24/10 16.32] Kevin Emmanuel Samnovanto: Rama mengambil kunci itu, dan cincin itu kembali mengecil ke ukurannya semula lalu berputar lagi mengitari Rama.

"Tante nggak mengerti..." Tante Merax pun jadi bingung. "Ada terlalu banyak lubang di ceritamu."

"Yah, intinya kunci ini... Adalah hadiah dari dari kejadian itu." Rama memberitahu, namun wajahnya terlihat ragu. "Atau begitulah?"

"Eh? Apanya yang begitulah?" Tante Merax bingung.

Rama menoleh memandang Cika, dan gadis itu tentu saja mengerti kalau maksud dari tatapan anak itu menyangkut tentang keganjilan gang mereka rasakan empat hari yang lalu.

"Baiklah, sudah cukup." Tante Merax kini sudah terlihat berada di ambang batasnya, ia bahkan melambaikan tangan tanda bahwa ia sudah tidak bisa lagi menerima semua ini. "Untuk saat ini Tante mau fokus mencaritahu soal lonjakan kekuatan empat hari yang lalu, itu saja."

Bersamaan dengan itu, pintu kamar tiba-tiba terbuka, dan sebuah nampan yang memuat teko dan beberapa cangkir melayang masuk ke dalam lalu mendarat dengan mulus di meja laci samping ranjang–tepat di depan Tante Merax.

Teko itu bergerak dengan sendirinya, menuangkan teh ke empat cangkir yang ada, dan akhirnya, tiga dari empat cangkir itu terbang ke tangan masing-masing mereka, kecuali Gota yang masih terlelap.

"Rasanya, ini hampir seperti sedang menghadapi Keganjilan Duniawi." Ungkap Tante Merax sembari menyesap tehnya.

Cika tersentak saat mendengar apa yang dikatakan wanita naga itu barusan.

"Keganjilan Duniawi...?" Rama bertanya.

"Itu semacam suatu fenomena yang berbahaya... Suatu pembangkangan terhadap takdir yang telah ditetapkan. Suatu momen yang tak harusnya terjadi dan tak pernah tertulis... Itulah Keganjilan Duniawi." Tante Merax menjelaskan dengan suara pelan yang terkesan hampa. Seolah dia sendiri takut untuk mengakuinya.

"Berarti... Ada salah satu kejadian dari empat hari lalu yang berhubungan dengan Keganjilan Duniawi?" Cika bertanya dengan wajah datar.

"Tante nggak bisa bilang begitu, soalnya ada terlalu banyak hal yang terjadi di hari itu. Dari kemunculan Gota, kedatangan pria itu, juga kekuatan yang ditunjukkan Rama, atau bahkan lonjakan kekuatan itu, salah satunya mungkin adalah Keganjilan Duniawi, atau mungkin juga nggak. Kita nggak bisa asal berasumsi." Jelas Tante Merax. "Ini bukanlah permasalahan yang bisa kita bicarakan begitu saja, jadi, akan lebih baik kalau kita bersabar sedikit lagi sampai ada petunjuk yang pasti."

"Eh... Bagaimana dengan Eden yang disinggung oleh Gota." Ujar Rama.

"Ya, itu juga, Nak, terima kasih sudah mengingatkan." Balas Tante Merax yang jadi makin pusing.

Saat ini Cika kembali merasa bahwa dirinya berada di ujung tanduk.

Sudah ada terlalu banyak hal aneh yang terjadi sejak empat hari lalu, ditambah lagi soal perasaan ganjil yang dirasakannya, Rama dan Juar, yang bahkan sampai sekarang mereka belum beritahukan pada Tante Merax.

Tak lupa lagi dengan mimpinya semalam, itu bukanlah mimpi biasa, sudah pasti.

Namun, kalau Cika berhenti untuk memikirkan semuanya dan memakukan benaknya pada mimpinya tadi–bukan, bukan pada mimpi itu, tapi pada perkataan Gota, mungkin perkataannya adalah inti dari permasalah yang dialami oleh anak yang cuma mengenakan kain putih itu.

"Aku ingin pulang."

Itulah yang ia katakan, suaranya begitu jelas sampai Cika merasa kalau itu bukanlah mimpi.

Tapi, pulang? Apakah itu adalah keinginan Gota yang sebenarnya?

Hanya saja, pulang kemana? Kenapa sampai harus melibatkan Eden?

Lagi anehnya, kenapa baru sekarang itu terasa mengganggu?

Dalam mimpinya, tubuh Gota sudah ditembus oleh bilah pedang yang tajam hingga darah mengalir deras dari bibir mungilnya.

Meski begitu, kata-kata terakhir yang keluar dari mulutnya, adalah keinginannya untuk pulang?

"Pulang... Ya?" Cika menggumamkan kata itu.

Entah kenapa setelah mendengar sendiri kata itu secara langsung dengan telinganya, Cika jadi merasa rindu dengan rumahnya di Bali.

Rumah sederhana yang berdiri sendiri jauh di dalam hutan di antara pepohonan rimbun, yang sudah lama tidak dihuni oleh kehidupan. Tepatnya sudah empat tahun.

"Ah, ngomong-ngomong, kalian mau ikut aku ke gereja nggak?" Rama tiba-tiba angkat bicara.

"Hah?"