Orang-orang sering berkata kalau kucing hitam adalah tanda dari sesuatu yang buruk. Tapi anehnya, setelah Cecep melihatnya dengan kedua matanya sendiri untuk yang pertama kalinya, Cecep yakin kalau semua itu hanyalah kebohongan.
"Itu semua nggak mungkin, kan? Masa, sih, kucing selucu kamu bisa membawa kesialan." Ujar Cecep pada kucing hitam yang tengah duduk di depannya.
Bocah kecil itu jongkok di pinggir jalan di gang sempit sambil mengamati kucing berbulu hitam legam itu dekat-dekat, sementara payungnya yang masih terbuka bersandar di pundaknya. Dia sengaja membawa payung, karena cuaca malam kala itu sangat dingin, dan ada banyak awan gelap yang menggumpal di angkasa.
"Tapi, bagaimana kalau itu benar?" Si kucing tiba-tiba angkat bicara.
Cecep agak terkejut mendengarnya, tapi dia tidak takut, malahan dia semakin tertarik dengan kucing itu.
"Oh? Jadi itu benar, ya?" Cecep balik bertanya. Wajahnya tampak sangat polos.
"Lah... Gimana, sih, bocah ini... " Kucing itu berbisik pelan dan memasang ekspresi datar. "Hmm, tapi benar atau tidaknya itu tergantung pada kalian."
"Eh... Maksudnya?" Cecep semakin heran.
"Kalau kau berbuat baik, maka kau akan menerima hal yang baik juga. Namun, kalau kau melakukan kejahatan, maka saat itulah aku akan datang di depanmu." Jelas kucing itu. "Jadi intinya, kucing hitam tidak melakukan apapun. Kami hanya mengingatkan kalian. Kalian menuai apa yang kalian tabur, itulah hak yang telah menjadi milik manusia sejak dosa pertama dilahirkan. Itulah, karma."
"Owh... Begitu, ya? Tapi... aku nggak begitu ngerti, sih." Cecep menelengkan kepalanya sedikit. Dia sepertinya sedang berpikir keras. "Itu berarti... Aku habis berbuat kejahatan, dong?"
"Hah? Kenapa begitu?" Si kucing tercengang.
"Kan, kamu ada di depanku sekarang." Ujar Cecep spontan.
"Buset dah, nih bocah..." Kini kucing itu yang keheranan setengah mati. "Aku cuma numpang lewat aja, Dek. Kebetulan aku merasakan ada dosa besar di sekitar sini, jadi aku sekalian datang untuk memperingati orang itu. Tapi, mungkin aku akan kesana nanti pagi, soalnya sekarang sudah malam banget."
"Ah, kirain." Kata Cecep, legah.
"Ngomong-ngomong, kamu sendiri ngapain jalan sendirian malam-malam begini?" Tanya si kucing hitam.
"Oh? Aku habis beli telur di warung. Soalnya dari tadi aku ingin makan telur goreng." Ungkap Cecep tanpa ragu sembari bangkit berdiri. "Aku mau pulang dulu, deh. Kamu mau ikut ke rumahku, nggak? Di rumahku ada banyak makanan, lho."
"Makanan? Baiklah, ayo kita ke rumahmu." Kucing hitam itu tersenyum lebar, lalu mengikuti Cecep dari belakang.
"Jujur, ya, pas aku lihat kamu tadi, aku juga langsung kepikiran kalau kau itu memang pembawa sial. Tapi, setelah aku dengar semua penjelasanmu barusan, aku jadi merasa aneh banget." Ujar Cecep sambil menatap sekitarnya dengan hati-hati. Hanya ada sedikit lampu jalanan di daerah itu, jadi suasananya memang terkesan agak kelam.
"Gimana?" Kucing hitam itu berusaha mengikuti langkah Cecep dengan kaki-kaki mungilnya.
"Hmm... gimana, ya? Soalnya tadi aku melihat ada orang aneh di samping rumahku. Dia bersembunyi di tempat-tempat gelap, dan membawa pisau. Terus, karena tadi aku juga ada di lantai dua, aku jatuhin deh pot bunga ibuku di kepalanya."
"Heh... begitu, ya? Terus? Bagaimana dengan orang itu." Kucing itu memasang ekspresi yang aneh. Dia terlihat tertarik sekaligus kagum.
"Yah, waktu potnya kena kepalanya, aku langsung pergi aja kok." Ujar Cecep dengan nada yang terkesan dingin dan tajam. "Aku nggak suka orang jahat." Ungkapnya. "Aku nggak suka orang yang mirip seperti ayahku."
"Ayahmu?"
"Iya, dia memiliki pekerjaan yang jahat." Jelasnya.
"Hmm, tunggu sebentar. Berapa umurmu?" Tukas si kucing tiba-tiba.
"Aku? Aku masih tujuh tahun." Balas Cecep.
"Hmm... Bagaimana kau tahu kalau pekerjaan ayahmu itu jahat?"
"Dia memaksa orang-orang, dan jika mereka tidak mengikuti perkataannya, maka ayahku pasti menyakiti mereka." Cecep mengatakan semuanya itu tanpa keraguan. Walaupun dia kadang tidak mengerti, tapi dia mengeluarkannya begitu saja.
"Wah... Masih kecil tapi sudah peka dengan kenyataan duniawi. Hebat juga. Pantas saja cara pikirmu aneh banget." Kucing itu berbisik pelan. "Kalau begitu, bagaimana menurutmu jika aku datang ke depan ayahmu?"
"Ya, datang saja. Nggak masalah. Aku sudah bilang, kan? Aku nggak suka dengan orang yang jahat. Siapapun dia."
"Baiklah. Kalau begitu, aku akan datang pada ayahmu, dan menunjukkan padanya, apa itu keburukan. Toh, aku ini kucing hitam, bukan?" Si kucing hitam, kembali tersenyum.