Dilihat dari sudut manapun, manusia itu memanglah makhluk yang sangat aneh dibanding apapun. Bahkan, Lani kadang sampai berpikir untuk menjatuhkan bintang di daerah perumahan tempat tinggalnya sendiri karena sangking gemasnya dengan mereka. Mereka bisa menjadi amat menjengkelkan, hingga pada titik dimana gadis itu ingin melenyapkan mereka sekaligus.
"Tuhan menciptakan satu bintang untuk setiap jiwa... Ya?" Entah kenapa kata-kata itu tiba-tiba keluar dari mulut Lani. Kalimat aneh itu dulu sering sekali diucapkan oleh almarhum nenek kepala panti di kota. Bahkan karena saking seringnya, Lani jadi merasa eneg tiap kali mendengarnya.
Lani merasa seperti itu juga bukan tanpa alasan, melainkan karena apa yang dikatakan oleh nenek itu benar adanya. Semua orang memiliki bintangnya masing-masing.
"Jadi? Bagaimana? Apa kau ingin melakukannya kali ini?" Tanya Along yang kala itu duduk di samping Lani. Remaja lelaki berambut jabrik itu terlihat penasaran.
Di siang yang amat terik, kedua remaja itu sedang duduk santai di pangkalan ojek sambil mengamati daerah perumahan tempat tinggal mereka dari kejauhan. Tak banyak orang yang terlihat beraktivitas saat itu, mengingat cuacanya yang tak mendukung. Kebanyakan orang yang berkeliaran di luar waktu itu memang hanya mengerjakan suatu kegiatan yang penting saja.
Lani mengangkat telapak tangan kanannya, lalu memandangnya lekat-lekat. Tapi tiba-tiba saja, muncul suatu lingkaran berwarna hitam pekat di atas telapak tangannya. Lingkaran yang mengambang itu sangatlah tipis, bahkan jauh melebihi kertas, dan tanpa diduga, sebuah batu aneh berwarna putih keluar dari dalam lingkaran itu.
Bagi orang-orang yang tahu tentang lingkaran hitam itu, mungkin mereka biasa menyebutnya dengan istilah portal. Namun, bagi Lani sendiri, dia sama sekali tidak mempunyai sebutan khusus untuk kekuatan yang dimilikinya itu. Toh itu tidak penting.
"Eh, Lan, kau tahu, nggak? Tadi aku sempat nguping ibu-ibu ngegosip pas mereka lagi belanja sayur, lho." Along angkat bicara, dan dia terlihat sangat serius.
"Eh? Emangnya gosip apaan?" Tanya Lani penasaran.
"Aku dengar-dengar, lho, ya, katanya ada orang yang ingin melaporkan tentang kamu ke pemerintah. Aku nggak tahu siapa pastinya, tapi warga di sini sepertinya mendukung keputusan itu." Jelas anak itu dengan raut muka yang tampak lucu.
Lani sedikit terkesan mendengar tentang kabar itu. Senyuman jahat terbentuk di bibirnya. "Wah, wah... mereka sudah mulai berani, nih, ceritanya? Apa perlu aku jatuhin sesuatu dari langit lagi, biar mereka nggak macem-macem?" Ujar Lani sambil terkekeh.
"Heh! Kau gila, ya?" Pekik Along jengkel. "Kamu nggak ingat apa? Aku punya sapi, lho! Dan salah satunya ada di lapangan tempat kamu mendaratkan bintangmu yang waktu itu. Bapakku aja sampai stres gara-gara kejadian itu. Coba lain kali, kamu jatuhin bintangnya jauh-jauh! Jangan di sini, dong!"
Lani tertawa keras ketika mendengar keluhan sahabatnya itu. "Iya, iya, lain kali aku nggak akan jatuhin di sini lagi, kok. Tenang aja. Kecuali kalau aku udah jengkel banget..."
"Nah, gitu, dong." Kata Along sambil nyengir. "Tapi, ya, memang betul katamu, orang-orang ini sangat menjengkelkan ternyata. Coba aja aku bisa memanggil bintang kayak kamu, pasti udah dari dulu aku hancurin nih tempat." Along tampaknya sedang berandai-andai dalam benaknya sendiri.
"Heh! kamu nggak usah ikut-ikutan gila kayak aku, dong." Lani mengingatkan.
"Hmm... Aneh. Kadang aku sampai heran, lho, kok bisa, ya, kamu tahan dengan perlakuan mereka? Apalagi yang kayak kejadian minggu lalu, pas kamu dilemparin batu sama bocah-bocah itu. Aku aja yang cuma lihat malah ngerasa sakit banget."
"Eh... Rasanya nggak sesakit itu, kok. Mungkin sih itu juga karena kekuatanku, deh." Lani menjelaskan sambil memandang batu yang masih mengambang di atas telapak tangannya. "Kadang aku juga heran, kenapa aku masih bertahan. Mungkin, itu karena kekuatanku, atau mungkin juga karena sesuatu yang lain. Aku nggak tahu pasti, sih."
"Hmm... Mungkin, karena kamu itu istimewa." Ungkap Along tiba-tiba. Entah kenapa perkataannya barusan berhasil membuat Lani sedikit merinding. "Coba lihat itu." Along menunjuk batu di tangan Lani. "Kamu punya keajaiban di tanganmu, dan kamu itu kuat banget. Padahal mama dan bapak kamu sudah lama meninggal. Kamu juga nggak ada keluarga lagi, kan? Tapi meski begitu, kamu tetap bertahan. Kamu juga orangnya baik banget, lho, Lan. Orang paling baik yang pernah kukenal. Sama kayak nenek kepala panti."
"Apa-apaan... Baik? Aku? Coba kamu lihat lapangan itu." Gadis itu memasang ekspresi kecut di wajahnya. "Coba kau ingat-ingat, siapa orang yang telah menghapus lapangan di belakang dari peta indonesia. Maksudku, aku melakukannya cuma karena aku emosi, lho."
"Lah, kamu ini masih manusia, lho, Lan. Wajar, kok, kalau kamu marah, apalagi yang salah juga mereka, kan? Orang-orang disini memang kejamnya bukan main, kok, kalau sama kamu. Dengan kekuatanmu, kamu bisa melakukan hal yang sangat, sangat, sangat buruk, misalnya membunuh. Tapi, buktinya kamu nggak pernah, tuh."
"Eh... Tunggu sebentar..." Entah kenapa Lani merasa canggung karena semua yang dikatakan Along.
Akan tetapi, Along tidak membiarkan Lani untuk menyelesaikan kalimatnya. "Kamu ingat, nggak? Dulu nenek kepala panti pernah bilang, kalau hal-hal buruk, selalu menghampiri orang-orang yang baik."
"Tunggu, tunggu..." Lani ingin mengatakan sesuatu untuk membantah pernyataan Along, tapi anak laki-laki itu sama sekali tidak peduli.
"Dunia ini udah jahat banget ke kamu, Lan. Itu kenyataannya. Tapi, kamu masih nggak berubah. Itu... aneh banget, lho..." Along tiba-tiba terdiam. Ia mendongak menatap langit biru di atas sana. "Kadang... Aku bertanya-tanya, kenapa Tuhan memberi mata pada orang-orang yang buruk seperti mereka?"
Sekali lagi, Lani dibuat merinding oleh kata-kata Along.