Lina percaya. Dia selalu percaya. Pasti ada alasan dari keberadaannya di dunia ini. Apapun itu, dia ingin tahu, dan ingin percaya bahwa alasan itu berarti. Mungkin, suatu saat nanti, dia akan mendapatkan jawaban itu. Dan, satu-satunya yang harus dilakukannya hingga saat itu tiba, adalah percaya.
Tak lama lagi, Lina akan lulus dari bangku SMA, dan dia berharap bisa melanjutkan pendidikannya agar kelak bisa menjadi seorang guru. Namun, Lina sadar, kalau mimpi itu mungkin saja mustahil sulit untuk diraih. Dia bahkan hampir tidak memiliki apa-apa. Tidak ada orang tua, dan tidak ada uang. Hanya ada Pamannya saja. Seorang yang tidak menyenangkan, dan terlampau jahat.
Sejak SMP, Lina sendiri sudah berusaha untuk mengumpulkan uang dengan membantu tetangganya menjual gorengan dan kerupuk. Akan tetapi, Pamannya selalu saja merebut upah yang diterima Lina, dan menggunakannya untuk berjudi.
Jujur, Lina pasti akan merasa senang jika Pamannya kembali dengan kemenangan. Ya, tentu saja begitu, lebih baik untuk tidak menjadi seorang yang munafik, bukan? Namun sayangnya, Paman selalu kalah dalam permainan, dan kembali dalam keadaan mabuk.
Sungguh kenyataan yang kejam.
"Apa alasannya... " Lina bertanya pada dirinya sendiri sambil memandang angkasa biru nan bercahaya. Di siang yang terik itu, dia duduk sendirian di bawah pohon beringin tua, yang terletak jauh di tengah hutan. Tempat yang hampir tidak mungkin untuk didatangi orang-orang, termasuk pamannya.
Jika Lina memiliki kesempatan, sekecil apapun peluang keberhasilannya, dia mungkin saja sudah membangun sebuah gubuk di bawah pohon ini. Tak masalah tinggal sendirian di sini, mengingat dia juga sudah terbiasa di situ sendirian, bahkan kadang sampai tengah malam.
Namun, akan menjadi masalah jika ada orang yang melihat dia bolak balik keluar masuk hutan sambil membawa papan dan alat-alat yang tak seharusnya ia pegang. Ya, masalah yang sangat besar.
"Apa sebenarnya alasannya... " Dia bertanya sekali lagi.
Sudah belasan tahun, tapi hidupnya tak kunjung membaik. Apa yang harus dilakukannya sekarang? Sebentar lagi hari kelulusan, dan situasinya semakin memburuk hari demi hari. Dia sudah tak kuat lagi merasakan tinju Pamannya, juga perlakuannya yang semenah-menah.
Dia butuh petunjuk dan jawaban. Apapun itu.
Meskipun sebenarnya, Lina mungkin sudah menemukan petunjuk itu sejak dulu, atau sejak masuk SMA tepatnya. Tapi, hanya itu saja, tak ada petunjuk lainnya.
"Hey! Ayo cepat! Aku sudah lapar nih!"
"Iya! Aku juga bisa mencium aroma masakan ibu dari sini!"
"Ya sudah! Ayo kita pulang!"
Ketika Lina mendengar suara-suara itu di kejauhan, dia langsung bangkit secepat yang ia bisa, dan mengambil langkah seribu dan berusaha menemukan sumber dari suara itu.
Dengan nafas yang terengah-engah, dia berlari menyusuri hutan, dan masuk ke dalam bagian tergelap hutan tanpa ragu. Suara daun-daun yang remuk terdengar di tiap langkahnya. Semakin jauh dia masuk, semakin rapat pula pepohonan yang tumbuh di sana, sampai-sampai Lina sudah tak bisa lagi melihat sinar mentari karena dedaunan yang terlalu lebat. Hingga tiba-tiba, mata Lina membuka sangat lebar, seolah-olah dia baru saja melihat suatu keajaiban.
Jauh di sana, dia bisa melihat ada tiga sosok anak kecil yang bertampang sangat aneh. Mereka memiliki lekuk wajah seperti orang luar negeri, juga kuping panjang nan lancip, rambut pirang keemasan, serta pakaian serba hijau yang ganjil.
Lina pernah membaca tentang sosok-sosok itu di buku cerita. Dan secara garis besar, mereka dikenal sebagai Peri Hutan. Mereka adalah makhluk yang hidup di hutan, dan menggunakan sihir-sihir mereka untuk melindungi dan menjaga alam.
Merekalah keajaiban yang sebenarnya.
Lina terus berlari, melesat, dan berusaha mencapai ketiga anak itu.
Akan tetapi, dengan cepat ketiga bocah itu melangkah mendekati sebuah pohon besar yang Lina tidak tahu jenisnya. Kemudian, salah satu dari mereka membuka pintu yang seharusnya tidak pernah ada di pohon itu, lalu masuk ke dalam.
"Tidak! Tunggu!"
Namun semuanya sudah terlambat. Pintu menutup dan lenyap tanpa jejak dari permukaan kulit pohonnya. Begitu juga dengan ketiga anak tadi, yang kini telah hilang begitu saja bak ditelan bumi.
"Tidak... " Lina jatuh berlutut di depan pohon itu. Matanya memancarkan nestapa dan mulai meneteskan air mata. Keringatnya bercucuran membasahi wajah. Sudah ribuan kali dia mencoba untuk menemui anak-anak itu, dan berharap bisa ikut bersama dengan mereka, tapi, dia selalu saja gagal. "Kumohon jangan tinggalkan aku... Kumohon... "
Sekali lagi, sungguh kenyataan yang kejam.
"Tuhan... Aku percaya kalau keyakinanku adalah sesuatu yang berarti... Jadi, kumohon jangan berikan aku alasan untuk membenci..."