Pria berjas hitam, bertubuh tinggi dan agak gemuk itu berdiri di angkasa, di antara awan-awan yang menggulung bak ombak, sambil mengamati seorang pemuda yang baru saja memarkir motornya di lahan parkiran pasar jauh dibawah sana.
Meskipun Jon mengambang di atas langit, dengan petir yang menyelimuti sekujur tubuhnya, tapi sayangnya tak ada satu orangpun yang mampu melihatnya. Yah, beginilah cara dunia ini bekerja. Dunia ini selalu saja menyembunyikan keajaibannya dari mata manusia, dan Jon menganggap itu layaknya sebuah hadiah.
Bagi manusia, keajaiban itu sama seperti sebuah cahaya yang amat terang dan indah, namun, mereka sama sekali tidak sadar bahwa cahaya itu sebenarnya bisa membakar mata mereka.
Jon merupakan suatu kepingan kecil dari keajaiban yang menaungi dunia ini. Dia hidup bersama keajaiban. Tapi, bukan berarti itu adalah hal yang baik. Karena keajaiban yang ada di tangannya—kekuatan yang ada dalam dirinya—memaksa Jon melalui berbagai macam kenyataan yang mengerikan, seperti peperangan, dan bahkan malapetaka.
Jika diingat-ingat lagi, Jon sendiri telah melewati enam peperangan dalam hidupnya.
Sudah begitu banyak kematian yang Jon lihat dengan mata kepalanya selama ia hidup. Orang-orang yang dia kasihi, teman-temannya, sahabat-sahabatnya, bahkan keluarganya. Semua itu terjadi karena kekuatan yang ada dalam genggamannya. Dan faktanya, semua orang yang sama seperti Jon—Rakyat Dunia Lain—juga mengalami kengerian semacam itu selama mereka hidup.
Sedangkan manusia? Ya, mereka sama sekali tidak tahu apa-apa tentang kenyataan lain yang menyelimuti dunia ini. Hanya Jon, dan orang-orang yang memiliki keajaiban saja, yang tahu akan betapa kejamnya kenyataan itu.
"Yah... mungkin lebih baik jika mereka tidak tahu apa-apa." Gumam Jon dengan suara yang berat dan terkesan lembut. Senyuman terbentuk di bibirnya. "Ketidaktahuan itu memang hadiah yang sangat luar biasa, bukan?"
Setelah memastikan pemuda itu tiba di pasar tanpa kekurangan apapun, Jon akhirnya memutuskan untuk turun ke daratan. Bagaikan kilat yang menyambar bumi, dia jatuh ke bawah dan mendarat dengan mulus di samping pemuda itu. Seluruh cahaya kilat yang terpancar dari tubuhnya telah padam, dan Jon pun kini tampak seperti manusia biasa pada umumnya.
"Loh! kenapa Om malah ikut juga!?" Tanya pemuda bertubuh gemuk itu dengan wajah terkejut sekaligus jengkel.
"Yah, saya ikut kemanapun kau pergi. Itu sudah tugasku sebagai seorang pengawas."
"Tapi, Om kan tahu kalau aku nggak suka ditemani disaat-saat seperti ini."
"Sudahlah, kau tahu nggak ada gunanya berargumen denganku." Jawab Jon acuh tak acuh sambil memandang sekeliling.
Di pasar ada begitu banyak orang yang berjalan hilir mudik dan memenuhi hampir seluruh tempat dalam kesesakan sejauh mata memandang. Terdengar pula suara asing para pedagang yang tengah menawarkan dagangan mereka dengan penuh semangat, dan tak lupa juga dengan para pembeli yang sedang berusaha menawar barang-barang para pedagang dengan cara yang terkesan sadis. Semua ini tentu saja wajar, mengingat saat yang paling tepat untuk pergi ke pasar adalah di waktu pagi, seperti sekarang ini.
Sungguh hadiah yang amat megah. Jon yang jelas-jelas bukan manusia, ternyata masih diberikan kesempatan untuk menikmati kenormalan seperti ini.
"Hah... Yaudah deh."
"Eh, tunggu sebentar."
Jon menggenggam pergelangan tangan kiri si pemuda dengan erat, kemudian mengucap, "Ferrum, Lucendi, Omnia." Tiba-tiba, tercipta semacam rantai bercahaya yang mengikat tangan Jon dan pemuda itu. "Rantai Pengikat Mutlak."
"Apa-apaan..." Pemuda itu menatap tak percaya tangan kirinya yang kini terikat dengan tangan kanan Jon. "Om serius?"
"Seratus persen." Jawab Jon sambil menyeringai. "Ngomong-ngomong, berhentilah bicara dan melihat ke arahku. Bisa-bisa, kau dikira gila sama orang-orang."
"Ya Tuhan... ini memalukan. " Pemuda itu menghela nafas pasrah.
Tanpa menunda-nunda lebih lama lagi, Jon pun mulai berjalan menyusuri jalanan yang penuh sesak, sementara si pemuda mau tak mau harus ikut melangkah di sampingnya. Jon yakin, orang-orang yang dia senggol pasti terkejut, karena mereka tak bisa melihatnya yang berada dalam wujud Astral.
"Jadi, kau mau beli apa?"
"Aku mau beli kaki ayam doang kok. Aku lagi ingin makan ceker pedas soalnya." Jelas pemuda itu.
Akan tetapi, saat Jon melirik ke arah si pemuda, Jon pun sadar kalau ternyata pemuda itu sedari tadi terus menatap tangan mereka yang saling bertaut. Namun, anehnya anak itu tampak terlihat sedih, dan senang di saat yang sama.
"Kau nggak punya kelainan kan... ?" Tanya Jon sambil memandang ngeri pemuda itu.
"Hah!? Om nggak usah mikir yang aneh-aneh. Gila banget. Aku cuma merasa aneh aja kok. Soalnya, ini adalah pertama kalinya aku berjalan dengan orang yang lebih tua dariku, sambil bergandengan tangan. Jadi... ya, ini memang aneh. Apalagi... untuk orang yang tidak memiliki orang tua sepertiku." Jelas si pemuda. Wajahnya sedikit merona.
"Hmm... kalau dipikir-pikir, perkataanmu ada benarnya juga."
"Hah? Apanya yang benar?" Tanya si Pemuda tak percaya.
"Maksudku, ini memang aneh, bahkan untuk orang-orang seperti kita." Jelas Jon dengan wajah yang terlihat sedikit sedih. "Kita yang setiap malam harus terjun ke medan pertempuran, ternyata masih bisa mendapatkan pengalaman seperti ini. Berjalan-jalan seperti manusia biasa, pergi ke pasar, dan belanja. Bukankah menurutmu ini hadiah yang hebat?"
"Eh... " si pemuda menggaruk tengkuk lehernya dengan ragu. "Mungkin...?"
"Jawaban macam apa itu? Kupikir kau harusnya lebih sadar tentang kenyataan dibanding siapapun. Mengingat kau sendiri telah melewati empat belas peperangan dalam hidupmu. Suatu pengalaman yang tak mungkin bisa dirasakan oleh orang lain yang hidup di dunia manapun. Pengalamanmu itu... benar-benar mengerikan loh."
"Yah... bukannya gimana." Pemuda itu menundukkan kepala. "Tapi... Kalau seandainya Om bisa merasakan masa laluku, mungkin Om juga bakal bingung harus menjawab apa." Ungkap Pemuda itu. "Aku tahu... Aku selalu tahu. Tapi, kadang aku berpikir, pasti akan lebih menyenangkan jika aku tidak mengetahui semua itu."
Jon tiba-tiba berhenti melangkah, namun matanya memandang ke arah seorang pedagang yang menjual berbagai macam aksesoris seperti cincin, kalung, dan kaos kaki. Lalu, setelah berpikir sejenak, Jon memutuskan untuk menghampiri pedagang itu tanpa sepengetahuan si pemuda.
"Apa yang kuketahui, bukanlah hadiah. Ini... adalah kutukan."
"Apapun yang ada di dunia ini, adalah hadiah. Bahkan kutukan sekalipun." Ujar Jon.
"Buset... jawaban macam apa itu... Loh, kok? Kenapa malah ke sini?" Tanya si pemuda keheranan ketika ia sadar kalau mereka sekarang berada di toko aksesoris. "Om mau beli apa?"
"Saya beli topi yang ini ya, Bu Ningsih." Jon langsung bergerak meraih sebuah topi berwarna abu-abu yang tergantung dipojokkan, lalu menyelipkan topi itu di ketiaknya, kemudian dengan tangan kirinya, ia memberikan sekeping koin perak kepada si Ibu penjual itu, yang juga kebetulan bisa melihat sosok Jon, mengingat dia juga adalah Rakyat Dunia Lain, sama seperti mereka berdua.
"Terima kasih, Tuan Jon." Kata si Ibu penjual dengan ramah.
"Eh... itu topi untuk siapa Om?" Tanya si Pemuda. "Untuk anak Om ya?"
"Bukan. Dan tolong jangan menyinggung apapun tentang kehidupan manusiaku. Kau tahu aturannya." Kata Jon seraya memakaikan topi itu di kepala si pemuda. "Ini untukmu. Ngomong-ngomong, selamat ulang tahun."
Pemuda itu tak mampu berkata-kata. Dia tampak sangat kebingungan. Namun dia mencabut topi itu dari kepalanya dan memandangnya sekilas dengan mata yang berbinar, lalu tak lama kemudian, ia kembali mengenakan topi itu.
"Ternyata Om ingat ya? Hebat, hebat." Ujar si Pemuda yang berusaha untuk terlihat tak acuh. Tapi, warna merah di kedua pipinya menggagalkan usahanya itu tanpa ia sadari. "Te-terima kasih deh."
"Terserah kamu sajalah." Balas Jon sambil tersenyum kecil. "Ya sudah. Jadi, sekarang tinggal ceker ayam saja kan? Ayo."