Menara emas itu berjarak sekitar seratus meter dari tempat Joni berdiri. Tapi kenyataannya, Joni sama sekali tidak tahu bagaimana bisa menara itu tiba-tiba muncul di sana. Di tengah padang rumput hijau luas berselimut sinar mentari senja, menara itu berdiri kokoh sambil memancarkan kemegahannya yang tak tertandingi.
"Tapi, Engkau tahu kan, Tuhan, kalau semua itu... benar-benar nggak penting sekarang," gumam Joni saat menatap menara itu dengan pandangan kosong dan penuh keputusasaan.
Namun pada akhirnya, Joni pun mulai berjalan menghampiri menara itu. Disetiap langkahnya, entah kenapa Joni merasakan rasa sakit yang teramat sangat, dan air matanya mengalir tak karuan, sementara tatapan matanya yang hampa masih tertuju pada menara emas.
Gambaran masa lalu dan masa depan bercampur dalam pandangan Joni.
Ingatan itu masih terukir jelas dalam memorinya. Dan apa yang timbul di dalam dirinya, adalah perasaan paling mengerikan yang pernah dirasakannya selama dia hidupnya.
Joni sama sekali tak mampu berbuat apa-apa saat orang-orang berjas hitam datang ke gubuknya dan membanting kantong besar tepat di depan matanya. Tapi, saat orang-orang menyeramkan itu pergi, Joni langsung duduk tersimpuh, dan dengan sisa keberanian yang mengalir dalam pembuluh darahnya, Joni menggapai kantong itu dengan tangan yang gemetar hebat, kemudian membuka kantong itu.
Sejak awal, ia tahu betul apa yang ada di dalam kantong itu. Tapi, dia juga tak bisa menahan tubuhnya. Raganya yang dikendalikan oleh perasaannya, memilih untuk membuka kantong itu karena ribuan alasan yang tak pasti.
Yah, itu adalah adiknya. Meski wajahnya sudah berubah warna menjadi seputih kertas, tapi Joni masih mengenalinya seperti Joni mengenal dirinya sendiri.
Orang kaya brengsek itu merebut Keyla hanya karena mereka berdua mengambil ranting-ranting kayu di hutannya tanpa meminta izin. Bajingan itu merenggut Keyla dari Joni karena dia orang miskin yang tak memiliki apa-apa. Dia mengambil satu-satunya harta, dan tujuan hidup Joni. Tapi kini, tujuan itu benar-benar telah lenyap.
"Keadilan... Aku percaya pada-Mu, Tuhan.... Aku percaya, Engkau telah menciptakan keadilan di dunia ini. Namun... sayangnya manusia telah membunuh keadilan itu."
Gambaran masa lalu perlahan mulai pudar dari mata Joni, digantikan oleh gambaran masa depan yang belum nyata dan merah.
Walau hanya sekilas, Joni bisa melihat dirinya sendiri terbaring di tanah di antara rerumputan, dengan tubuh yang hancur lebur dan corak darah berhamburan mewarnainya. Sungguh gambaran yang sangat mengerikan. Entah itu nyata atau tidak, Joni akan mengetahuinya sebentar lagi.
Setelah melalui perjalanan yang panjang menaiki tangga, Joni akhirnya sampai di puncak menara. Dari sana, dia bisa melihat keindahan dunia yang telah diciptakan oleh Tuhan, juga kengerian yang ada karena ulah manusia.
Pepohonan rimbun mengelilingi padang rumput ini, dan jauh di sana, dia juga bisa melihat desa tempat tinggalnya, yang penuh dengan manusia-manusia jahat dan tak berhati.
"Ya, sekarang saatnya... " Waktu Joni memandang ke bawah menara, anehnya dia sama sekali tidak merasakan apa-apa. Yah, dia memang ngeri, tapi hanya itu saja. Dia tidak merasakan dorongan untuk melompat, atau keinginan untuk kembali ke belakang.
Namun, Joni sadar, ada seseorang yang tengah menatapnya dari jauh. Tepat di tempat di mana Joni tadi berdiri menatap menara ini, di situ ada seorang anak yang seumuran dengan Keyla.
Jauh memang, tapi Joni bisa melihat dengan jelas warna rambutnya yang sewarna emas murni, juga matanya yang kuning bagaikan sinar mentari pagi, juga bajunya yang putih bersih dan terombang karena tertiup angin membuatnya tampak sangat mencolok layaknya sebuah keajaiban.
"Aku... tidak ingin mati... "
"Tapi, Dia telah memanggilmu pulang." Kata suara dari belakang Joni.
"Eh?"
Joni merasakan dorongan yang kuat dari dua lengan mungil orang itu, dan sudah terlambat untuk mengelak.
Benar-benar sebuah keajaiban, karena anak berambut emas itu telah memberikan jawaban yang dibutuhkan Joni sejak kemarin.
Joni jatuh ke udara kosong, dan terus terjun menuju daratan, tapi matanya masih memandang anak berambut emas yang semakin jauh di atas sana.
"Terima kasih... "
Perlahan tapi pasti, Joni akhirnya menutup kedua kelopak matanya, sembari berterima kasih pada sang Pencipta yang telah membuatnya hidup hingga sampai saat ini.
Dunia menjadi gelap.
Meski begitu, tak ada hal mengerikan yang terjadi. Tak ada mayat seorang bocah gelandangan di dasar menara, tak ada warna merah darah, dan tak ada kematian. Yang ada hanyalah debu-debu cahaya hijau saja yang bertebaran di udara, dan naik ke langit hingga tak terlihat.