Benar-benar sangat sulit untuk memandang dunia ini dengan cara yang baik, apalagi Sully juga hampir tidak pernah mendapati kebaikan yang layak sejak dia menetap di dunia manusia ini.
Hari demi hari, dunia ini terus bergerak menuju ke dalam kehancuran oleh karena ulah manusia, dan itulah salah satu penyebab mengapa Sully begitu kesulitan untuk mempertahankan kebaikan yang ada dalam dirinya. Meski begitu, Sully tetap tak berniat untuk menyerah terhadap kebenaran.
Sully tidak akan pernah berhenti melindungi kehidupan, apapun yang terjadi.
"Tapi, bukan berarti menyerah itu buruk, bukan? Lagipula kita juga bisa beristirahat sejenak, kan? Maksudku, menyerah itu bukanlah suatu pilihan yang buruk atau baik, itu hanyalah sesuatu yang harus dilakukan disaat yang tepat demi kebaikan diri kita sendiri."
Butuh waktu lama hingga perkataan Ujang lenyap dibawa angin yang berhembus kencang. Pemuda jangkung berkulit agak gelap itu berdiri di samping seorang lelaki misterius berpakaian aneh.
Sosok pemuda elok berkulit putih dan berambut pirang emas cerah serta berpakaian kain putih bersih itu, bernama Sully, seorang yang mampu mengendalikan tumbuhan. Entah itu pepohonan, rerumputan, juga bunga-bunga. Bagi Sully, semua itu bagaikan bagian dari tubuhnya sendiri.
Namun, Ujang tidak terlalu peduli dengan itu, karena baginya merupakan suatu kebahagiaan tiada tara karena bisa berteman dengan seorang yang baik seperti Sully. Dan disinilah, di bawah pohon beringin tua inilah, Ujang dan Sully selalu bertemu setiap hari.
"Hey, memangnya siapa yang ingin menyerah?" Tanya Sully heran. Pemuda itu masih duduk di bangku yang terbuat dari kayu jati tempat ia selalu duduk, sambil mengamati anak-anak yang tengah bermain di taman tak jauh di depan sana. "Siapa yang akan menjaga anak-anak itu jika aku menyerah? Kamu?"
"Wah... kejam amat, Pak." Gumam Ujang sambil meremas dada sebelah kirinya.
"Hehe... aku bercanda, kok." Kata Sully sambil nyengir. "Tapi, ya, aku tidak akan menyerah. Aku akan menjaga setiap anak-anak yang datang bermain di taman ini. Tak peduli mereka kelak akan menjadi pribadi yang buruk atau baik, yang penting, aku tetap akan menjaga masa kanak-kanak mereka, apapun yang terjadi."
"Heh... kau benar-benar terlalu baik, loh, Sul." Ujar Ujang sambil tersenyum.
"Mereka... masih terlalu polos untuk melihat kenyataan lain dari dunia ini. Aku hanya ingin mereka terus bermain seperti itu, tanpa tahu apa-apa, dan membiarkan takdir yang akan menunjukkan kengerian itu kepada mereka suatu saat nanti."
"Yap, aku juga setuju dengan yang itu." Kata Ujang. "Ngomong-ngomong, bisa nggak kamu urus yang itu dulu." Ujang menunjuk ke arah sosok makhluk lain yang berdiri tak jauh di sana dan tampak mengincar anak-anak di taman. Sosok itu seperti gumpalan asap hitam yang menyerupai serigala raksasa dan memiliki dua titik hijau menyala layaknya bola mata.
"Dosa? Padahal sekarang masih sore loh." Gumam Sully sambil menempelkan telapak tangannya di pohon beringin yang berada tepat di sampingnya.
Tiba-tiba, akar pohon beringin itu mulai mencuat keluar dari dalam tanah dengan cepat, dan langsung mengejar serigala itu. Si serigala yang tidak menyadari kedatangan akar-akar itu tak mampu berbuat apa-apa saat akar-akar itu menembus tubuhnya dan mengangkatnya ke udara.
"Heh... sadis banget." Bisik Ujang ngeri sambil memandang ke atas pohon. Rupanya, di atas sana ada begitu banyak makhluk hitam yang telah dikalahkan oleh akar beringin tua itu. Ada yang berbentuk serigala, ular, banteng, singa, dan entah apa lagi. Semuanya sudah mati dan kini mereka mulai dilebur menjadi debu-debu cahaya hijau.
Akan tetapi, entah kenapa leher ujang seolah bergerak dengan sendirinya, dan tatapan matanya yang kosong seketika tertuju ke arah setangkai bunga putih yang tumbuh sendirian di antara rerumputan tak jauh dari sana.
"Hmm... "Ujang lalu mengalihkan pandangannya ke arah Sully dengan senyuman lebar yang terbentuk di bibir. "Kau benar-benar terlalu baik, Sul!" Ujar Ujang sambil merangkul Sully dan mengacak-acak rambutnya.
"Berhenti woy, Jang!"