Sofia memandang dirinya di cermin. Gadis itu sudah tampak sangat cantik sekarang. Kombinasi antara pakaiannya yang serba hitam, dan hijab putihnya, membuat parasnya terlihat sangat luar biasa untuk seorang perempuan yang masih berusia enam belas tahun.
Dilihat dari sisi manapun, Sofia memang jelaslah hanya seorang gadis biasa, dengan kehidupan yang biasa-biasa saja. Namun, sayangnya kebenarannya tidak sesederhana itu.
Dia memiliki seorang teman dekat, namanya Fira, dan pada dasarnya, dia adalah makhluk yang berasal dari dunia lain. Dan berkat dia, Sofia pun juga sudah berubah menjadi seorang gadis yang tidak biasa lagi.
Sejak Fira pindah ke sekolah Sofia satu setengah tahun lalu, gadis itu pun juga berhasil mendapatkan sesuatu yang aneh tanpa ia sadari. Sesuatu yang tak nampak, tapi terasa jelas, dan itu adalah kekuatan. Dan sejak saat itu pula, Sofia perlahan-lahan mulai mampu melihat kenyataan lain yang ada di dunia ini.
Hari demi hari, Sofia mulai mengetahui hal-hal yang seharusnya tidak diketahui. Dia tahu bahwa ada makhluk-makhluk dunia lain yang hidup di dunia ini, dia juga tahu tentang sihir dan keajaiban, juga hal-hal ajaib yang tersebar di mana-mana, dan melihat tempat-tempat yang sebelumnya tidak pernah ada.
Akan tetapi, lambat laun, gadis itu pun juga akhirnya sadar, kalau semua yang ia dapatkan tidaklah gratis. Ada bayaran dari setiap kenyataan baru yang dia ketahui. Bisa dibilang, setiap kali Sofia mendapatkan sesuatu yang baik, maka ia juga akan mendapatkan sesuatu yang buruk, dan mau tak mau, ia tetap harus menerimanya.
Contohnya, adalah kejadian yang ia alami beberapa bulan silam. Di mana waktu itu, ia dan kedua orang tuanya sedang berbelanja di pasar, tapi Sofia melihat sesuatu yang aneh di tempat salah satu pedagang apel yang ada di sana. Di antara apel-apel yang seharusnya biasa itu, dia melihat satu buah apel yang berwarna emas, dan entah kenapa, Sofia sangat menginginkan apel itu.
Gadis itu benar-benar menginginkannya tanpa alasan yang jelas.
Dia membelinya tanpa sepengetahuan orang tuanya, dan pedagang itu juga tampaknya biasa saja. Meski begitu, setelah gigitan pertama, Sofia sudah sadar, bahwa ada sesuatu yang berubah dalam dirinya. Dia mendapatkan lebih banyak kekuatan.
"Namaku adalah, Raphael."
Sofia mendengar bisikan itu terus menerus dalam benaknya. Bahkan hingga sampai pada hari ini, dia mendengar suara itu sesekali.
Lalu, beberapa jam setelah kejadian itu, suatu malapetaka pun datang menghampiri Sofia dan kedua orang tuanya dalam perjalanan pulang. Mobil mereka ditabrak oleh truk besar. Kedua orang tuanya meninggal di tempat, sedangkan Sofia selamat tanpa tergores sedikitpun.
Kala itu, Sofia benar-benar kehabisan kata-kata. Yang bisa dilakukannya hanya menangis, dan kebingungan setengah mati.
Siapa yang harus disalahkan? Apakah itu Fira? Dan perasaan macam apa yang ia rasakan? Kenapa tak ada kalimat yang bisa digunakan untuk menjelaskannya? Bagaimana ia harus menghadapi semuanya mulai sekarang? Siapa yang benar-benar bersalah?
Kemudian, Sofia teringat dengan sesuatu.
Ia sudah mendapatkan, maka dia harus menerima.
Ya, begitulah cara dunia ini sebenarnya bekerja.
Dia tidak bisa menyalahkan siapapun. Satu-satunya yang harus dilakukan, adalah terus melanjutkan hidup, dan menerima kenyataan.
"Hmm... " Sofia masih memandangi pantulannya. Alisnya berkerut. "Mungkin... sekarang aku hanya harus menjalaninya saja deh... Seperti kemarin-kemarin." Gumamnya pelan.
Akhirnya, setelah memastikan semuanya sudah siap, gadis itu tersenyum kecil, lalu melangkah keluar dari kamarnya yang juga sudah rapi dan tak lupa menyambar tasnya yang tergantung di gantungan dekat pintu. Dia langsung turun ke lantai bawah, dan sampai di ruang tamu, di situ ia mendapat kakak laki-lakinya, Rama, yang tengah duduk di sofa sambil menikmati secangkir teh dan sepiring roti panggang.
Sofia sempat merasa ragu saat melihat pemuda berambut pendek rapi dan berwajah agak dingin itu, tapi dia menyingkirkan perasaan itu dan menghampiri sang kakak.
"Pagi, Kak. Tumben kakak sudah bangun sepagi ini." Sofia menyapa dengan ramah.
"Harusnya yang bertanya itu aku." Ujar Rama dengan suara datar yang terkesan mengancam. "Kamu mau ke mana di minggu pagi begini? Rapi banget lagi."
"Eh... " Sofia sudah tahu akan ke arah mana jalan pembicaraan ini. Lagi pula, dia juga tahu perangai sang kakak. "Aku... mau ke rumah Fira."
"Hmm... " Kakaknya terdiam sejenak, lalu melanjutkan. "Kenapa sih kamu masih berteman sama dia? Dia itu aneh banget loh."
"Eh?"
"Sejak kamu berteman sama dia, kau perlahan-lahan mulai berubah juga. Kau jadi semakin aneh juga. Seakan-akan... kau mengetahui semuanya..."
"Loh, apa salahnya sih. Semua orang pasti akan berubah. Dan lagian, aku nggak aneh kok. Aku masih begini-begini saja tuh."
Sofia tahu bagaimana cara kakaknya memandang Fira. Sejak pertama bertemu di pasar, Rama memang tampaknya sangat tidak menyukai Fira entah karena apa. Dan sejak tragedi yang dialami Sofia dan kedua orang tuanya, lambat laun, Sofia mulai sadar, kalau sang kakak benar-benar semakin benci dengan Fira.
Meski begitu, kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya Rama memang orang yang seperti itu. Dia kadang bisa membenci orang lain tanpa alasan. Mungkin itulah yang membuat dia jadi terlihat menakutkan.
"Lebih baik kau sudahi saja hubungan kalian. Perasaanku jadi nggak enak tiap membayangkan kalian bersama."
"Eh, Kak, aku ini sudah mau masuk universitas loh. Aku bisa ngurus diri sendiri kok." Kata Sofia tegas.
"Hmm... " Rama sempat terdiam lagi. "Yah, terserahlah. Intinya, kakak masih nggak suka kalau kau bergaul dengan dia."
"Ya sudah ah, aku mau berangkat dulu. Assalamualaikum."
"Tunggu. Biar kakak antar." Kata Rama tiba-tiba. "Kakak juga kebetulan mau ke kantor, soalnya masih banyak berkas yang aku belum sempat selesaikan kemarin."
"Oh! Oke deh."
"Kamu benar-benar sudah berubah, Sof... Nggak kayak dulu... Setelah semua yang terjadi, anehnya kau terus melangkah ke depan, dan mampu menerima semua itu tanpa terbebani... Kamu memang sempat merasakan, tapi itu hanya sesaat... dan setelah itu, kau kembali berjalan terus. Hah... Aku benar-benar nggak ngerti..." Bisik Rama.
"Kakak tadi bisikin apa?" Tanya Sofia heran.
Mobil hitam yang masih mengkilap dan tampak baru itu melaju dengan kecepatan tinggi di jalanan. Rama yang menyetir dengan lihai, sementara Sofia duduk di sampingnya sambil mengamati dunia melalui jendela.
Sejauh ini, gadis itu merasa tidak ada hal aneh yang akan terjadi hari ini. Dari bangun pagi, hingga dia berada di dalam mobil ini, semuanya terasa biasa-biasa saja. Tak ada yang asing.
Terkadang, dia memang bisa melihat hal-hal aneh, tapi itu hanya berlangsung dalam sekejap. Seperti paus yang berenang di balik awan, atau orang-orang yang terbang ke sana kemari, dan penampakan-penampakan ajaib lainnya. Tapi, itu tidak terjadi sampai sekarang. Semuanya benar-benar normal.
Ya, awalnya itulah yang dirasakan Sofia. Akan tetapi, semua berubah ketika mereka tiba di daerah perumahan tempat dimana Fira tinggal, yang terletak di tengah-tengah kota Kendari.
Mata Sofia membuka sangat lebar, begitu juga dengan Rama. Keduanya terdiam seribu bahasa dan seakan tak mempercayai apa yang mereka lihat saat itu.
"Dimana... semua rumahnya?" Pertanyaan itu meluncur keluar begitu saja dari mulut Rama. "Apa-apaan ini... "
Daerah perumahan yang seharusnya sangat luas, dan ramai dipenuhi orang-orang yang beraktivitas, kini sudah lenyap tanpa sisa, menyisakan puing-puing bangunan yang berhamburan di mana-mana. Seolah-olah, baru saja terjadi perang besar di sana.
Sejauh mata memandang, hanya ada jejak kehancuran yang terlihat. Tak ada tanda-tanda kehidupan. Malahan, yang terlihat jelas sekarang adalah tanda-tanda kematian.
"Fi-Fira!" Tak jauh dari sana, Sofia bisa melihat sesosok gadis yang terbaring di tanah. Gadis itu langsung berlari menghampirinya, tapi betapa syoknya Sofia ketika melihat keadaan teman baiknya itu.
Sofia pernah sekali melihat Fira mengenakan pakaian itu. Dia menyebutnya perlengkapan perang yang hanya akan digunakannya saat sedang bertugas untuk melindungi manusia dari makhluk jahat yang disebut dosa. Tapi, pakaian perangnya itu sekarang sudah rusak dan penuh dengan bekas sayatan.
Air mata Sofia mulai bercucuran saat mendapati pedang ungu menancap di atas perut Fira. Saat dia meraba-raba pedang itu, air matanya pun mengalir semakin deras.
"Ti-tidak... tidak... kumohon... jangan... " Sofia tidak ingin menerima kenyataan ini. Dia tidak akan pernah menerimanya. Tidak untuk yang kedua kalinya. "Pa-padahal aku nggak mendapatkan apa-apa akhir-akhir ini. Tapi kenapa!?"
Memang tak ada darah yang terlihat di tubuh Fira. Dia memiliki luka, tapi tak ada darah yang keluar dari situ, karena debu-debu cahaya hijau yang menutupi luka-luka itu.
Sofia juga tahu tentang ini. Orang-orang dunia lain tidak pernah bisa melihat warna darah mereka sendiri, karena debu-debu cahaya itu akan langsung menyembuhkan mereka ketika mereka terluka. Namun, ada yang berbeda dengan ini. Debu-debu itu tidak menyembuhkan luka-luka Fira, melainkan itu terangkat ke atas, dan itu semakin banyak.
Sofia menjadi panik luar biasa.
Gadis itu mengangkat kembali kepalanya, dan berharap bisa menemukan sesuatu yang mampu menolongnya. Namun sayang, yang ditemukannya malah mayat orang-orang dunia lain yang juga tergeletak di segala tempat. Tubuh mereka semua mulai terurai menjadi debu-debu cahaya.
"Mereka sudah mati..." Kata Rama yang saat itu sedang memeriksa salah satu mayat.
"Sofia... ?"
Sofia langsung menoleh saat mendengar suara yang lemah itu.
"Hah... syukurlah, aku masih bisa melihatmu... Tapi, apa yang kau lakukan di sini... "
"Ki-kita kan mau jalan-jalan minggu ini. Masa kamu lupa sih?" Sofia berusaha menghapus air matanya, tapi tetap saja tidak berhenti. Dia tidak tahan mendengar suara Fira yang seakan berusaha menahan rasa sakit.
"Hah... Kayaknya aku udah nggak bisa jalan-jalan lagi deh... maaf ya, Sof." Fira tersenyum manis.
Kepanikkan Sofia semakin menjadi-jadi. "Kak Rama! Cepat panggilkan dokter! Cepat!" Jerit Sofia yang sudah dilahap rasa keputusasaan.
Tapi sang kakak hanya diam. Dan Sofia tidak pernah melihat Rama memasang wajah seperti itu. Wajah macam apa itu?
"Kakakmu benar... sudah terlambat, Sof. Kau ingat kan? Kalau kau mendapatkan, maka kamu juga harus menerima... Begitulah cara dunia ini bekerja saat kau memiliki kekuatan." Jelas Fira. "Maaf ya, kalau aku akan pergi dengan cara seperti ini... " Mata Fira perlahan kembali menutup, dan suaranya semakin pelan. "Selamat... tinggal... "
"TIDAK! AKU TIDAK MAU!" Teriakkan Sofia menggema ke segala penjuru, dan membuat pilar cahaya keemasan turun dari langit, melubangi awan mendung di angkasa, dan menyinari gadis itu. Lalu, tanpa dia sadari, tiba-tiba saja ada dua pasang sayap berwarna putih yang muncul di punggungnya.
Rama langsung melangkah mundur saat melihat kejadian itu. Mata pemuda itu sekali lagi dibuat terbuka lebar.
"Kumohon, bantu aku, Raphael."
Ya, inilah yang didapatkan Sofia setelah memakan apel emas itu. Dia mendapatkan nama Raphael. Dan sekarang, dia juga sudah tahu apa yang bisa lakukan dengan nama itu.
Sofia mencabut pedang yang menancap di perut Fira, lalu meletakkan kedua tangannya di atas perutnya, dan pada saat itu pula, luka-luka di tubuh Fira perlahan mulai sembuh.
"Kali ini, aku nggak akan menerima kenyataan. Aku nggak peduli walau harus melawan hukum dunia sekalipun. Aku akan menolongmu, dengan segala yang kupunya. Pokoknya, aku akan menolongmu!"