Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 47 - Ular Laut yang Diamuk si Pendendam

Chapter 47 - Ular Laut yang Diamuk si Pendendam

Story By : Sun & Kevin E.S.P

Aldo duduk di kursi berjemur sambil memandangi aktivitas di atas geladak utama kapal pesiar. Orang-orang berenang santai atau bersenda gurau, sementara pelayan sibuk membawakan pesanan makanan dan minuman. Saat ini mereka tengah berlayar melintasi Laut Natuna.

Tiba-tiba sebuah bola plastik terlempar ke arah Aldo. Remaja itu menangkapnya dengan sigap. Seorang gadis berbikini buru-buru berlari ke arahnya.

"Maaf ya Dek, nggak sengaja," ucap gadis tersebut.

"Nggak apa-apa kok. Nih." Aldo menyerahkan bolanya.

"Anu..." sang gadis agak ragu. "Mau ikut main?"

Aldo segera menyadari teman-teman gadis itu tertawa-tawa di kolam. Mungkin mereka memang sengaja melempar bola ke arahnya agar bisa berkenalan.

"Maaf, aku sedang kurang enak badan." Remaja itu tersenyum kecil. "Lagian aku sebenarnya masih enam belas tahun.

"Oh, yaudah deh..." jawab sang gadis terlihat kecewa.

Aldo mengangguk. Namun, ia memang tidak naik ke atas kapal pesiar ini untuk berlibur. Ia memiliki tujuan lain.

Ya, tujuan lain. Alasan yang datang lima tahun lalu, saat dimana pedang Orochi tiba-tiba menancap di depan rumah Aldo, tepat saat anak itu hendak berangkat sekolah. Sebagai penerus kepala keluarga Orochi berikutnya, Aldo segera memahami bahwa itu adalah pertanda buruk. Satu-satunya saat di mana pedang diwariskan adalah saat pemilik sebelumnya terbunuh.

Anak itu pun jatuh berlutut, lalu menangis.

Padahal seharusnya kedua orang tuanya cuma pergi berlibur, kenapa tragedi ini sampai terjadi?

Beberapa hari kemudian, ramai pemberitaan di televisi mengenai sebuah kapal yang diserang sesosok ular laut raksasa. Di antara daftar korban terdapat nama ayah dan ibu Aldo.

Berita itu membawa kehebohan di penjuru negeri, bahkan mengundang peneliti dari negara lain untuk datang ke Indonesia. Mereka semua ingin menangkap makhluk ajaib tersebut. Ada yang bilang itu adalah dinosaurus yang selamat dari era prasejarah, ada juga yang bilang itu adalah makhluk mitologi. Akan tetapi, cuma Aldo yang tahu makhluk apa itu, dan bagaimana cara menghentikannya.

"Lewiatan," gumamnya.

Sejak saat itu ia memiliki obsesi untuk mengejar makhluk tersebut, seberat apapun pengorbanannya.

Aldo sudah mengarungi lautan di seluruh Indonesia, menyisakan Laut Natuna ini sebagai titik terakhir pencarian. Apabila ia masih tidak menemukan Lewiatan, mungkin monster itu sudah pergi ke belahan bumi yang lain.

Remaja itu pun menyerah. Tubuhnya juga sudah kedinginan karena hawa dingin dari awan mendung mulai terbentuk di langit. Akhirnya ia memutuskan untuk kembali ke kamar. Ia benar-benar lelah entah karena apa.

Baru saja melangkah, hujan gerimis datang. Orang-orang langsung berkemas untuk kembali ke kamar masing-masing. Termasuk gadis-gadis cantik yang tadi.

Tapi semenit kemudian, gerimis berubah menjadi hujan deras. Gelombang-gelombang tinggi tinggi terbentuk, menggoyang seisi kapal. Petir menggelegar di angkasa. Entah bagaimana cuaca yang awalnya cerah bisa berubah sedemikian drastis.

"Hati-hati, jangan berlari!" seru awak kapal yang membimbing para penumpang masuk ke dalam.

Namun, Aldo merasakannya. Ada aura buas yang hendak melahap semua. Remaja itu pun berhenti bergerak. Sebaliknya, ia berjalan ke ujung haluan.

"Mas, jangan ke sana! Berbahaya!" seru seorang awak kapal sembari berpegangan karena guncangan kapal semakin tidak beres.

Aldo mengabaikannya.

Ia hanya menggumam sendiri, "Ia di sini..."

Akhirnya sang awak lepas tangan. Ia masih memiliki tugas lain untuk dikerjakan.

Air hujan menyerbu hingga Aldo basah kuyup, tapi tak dipedulikan. Ia bahkan tidak peduli puting beliung yang mulai memerangkap kapal pesiar dalam pusaran raksasa.

Dan saat remaja itu berdiri di haluan, tiba-tiba terbentuk gelombang besar di hadapannya. Dari gelombang tersebut muncul kepala ular raksasa. Kedua matanya kuning dan sekujur tubuhnya diselimuti sisik-sisik hijau yang bersinar licin. Eksistensi yang begitu purba dan perkasa.

Makhluk itu mulai mengangkat kepalanya hingga tinggi ke langit, kira-kira setinggi gedung lima tingkat, dan saat itu pula siripnya juga ikut terlihat dan itu tampak seperti sayap yang terbentang dengan megah.

"Akhirnya!" seru Aldo. Ia memasang kuda-kuda, mengacungkan tangannya ke langit. "Jawab panggilanku, Orochi!"

Langit pun membelah, lalu senjata magis itu melesat turun. Sebuah pedang berkilauan dengan permata ungu di bilahnya. Aldo menggenggamnya mantap.

"Ini saat yang sudah kutunggu-tunggu," Aldo mengayunkan pedang itu sekuat tenaga, "Orochi, bangkitlah!"

Keajaiban terjadi. Bilah pedang itu tiba-tiba memanjang, membesar, melebar dan bertransformasi menjadi ular hitam raksasa berkepala tujuh, yang masing-masing memiliki permata di dahi.

"Serang bajingan ini..."

Aldo mengayunkan pedangnya lagi. Ketujuh kepala Orochi semakin memanjang, lalu menggigit leher sang Lewiatan. Monster raksasa itu mengamuk. Ia menyeruduk badan kapal pesiar, hingga pijakan Aldo terguncang. Dinding kapal yang terbuat dari logam sampai penyok dibuatnya.

Sang nahkoda, para awak, dan penumpang yang melihat peristiwa itu hanya bisa berdoa ketakutan. Mereka tak pernah menyangka laut dihuni oleh monster sebesar itu, yang bisa melumat mereka dengan sangat mudah.

Aldo menyerang lagi agar Lewiatan menjauh dari kapal. Tapi pergerakan monster itu amat lihai. Saat ini memang ia tidak memiliki keunggulan. Medan air adalah elemen Lewiatan. Namun, gigitan Orochi bukanlah gigitan biasa. Setiap taringnya menyimpan racun yang sangat mematikan. Tak peduli sebesar apapun Lewiatan, apabila terus diserang dengan racun, lama-kelamaan tubuhnya pasti akan melemah.

Aldo melompat di udara, menggunakan kepala-kepala Orochi sebagai pijakannya.

Monster raksasa pun itu pun menenggelamkan tubuhnya ke dalam air.

"Selesai, kah?" tanya Aldo pada dirinya sendiri. Tetapi ia yakin pertarungan seharusnya tak berakhir semudah ini. Karena kalau iya, mustahil ayahnya yang memiliki kemampuan luar biasa bisa kalah.

Tiba-tiba kapal menjadi tidak stabil. Bagian geladaknya terangkat, sementara buritannya turun. Aldo segera menyadari apa yang terjadi. Lewiatan memilih untuk menyerang kapal ini. Monster itu sedang berusaha menarik kapal ke dalam air.

"Ah, sialan!"

Aldo kembali melesat.

"Orochi!"

Ia lompat ke atas kepala salah satu ular Orochi, lalu senjata itu mengular di udara. Ia bergerak cepat menuju buritan yang sudah nyaris tenggelam. Remaja itu menarik napas dalam-dalam, lalu terjun ke dalam air.

Kini ia bisa melihat wujud utuh Lewiatan yang sangat besar. Makhluk itu menggigit propeller kapal pesiar sambil terus menariknya ke dalam air. Seketika Aldo merinding. Ia tak bisa membayangkan bagaimana cara mengalahkan makhluk semasif itu. Keinginan untuk menyerah pun timbul.

"Jangan takut. Kau harus yakin."

Tiba-tiba ada yang berbisik. Aldo dapat mengenali suara tersebut, "Ayah?"

"Kami tahu kau pasti bisa..."

"Lho? I—ibu? Ta-Tapi, bagaimana?" Aldo mengeratkan gerahamnya. "Jadi selama ini kalian terus memperhatikan, ya. Yah, kalau begitu, aku juga tak boleh menyia-nyiakan kesempatan ini, kan!"

Semangat Aldo berkobar kembali. Ia melesat menuju Lewiatan. Pedang Orochi siap di tangannya.

"Orochi!"

Ketujuh kepala ular Orochi menyambar Lewiatan. Di leher, sayap, dada, dan perut. Tapi Lewiatan masih tak melepas gigitannya pada kapal pesiar. Air sudah mulai masuk ke bagian dalam kapal, membuat para penumpang panik.

"Oho–Nggak akan kubiarkan!"

Aldo mengeraskan tekad. Meski oksigen di paru-parunya hampir habis, tapi ia belum boleh menyerah. Ia terus menancapkan racun ke tubuh Lewiatan melalui taring-taring Orochi.

"Sebenarnya aku tidak mau melakukan ini. Setiap kali aku naik kapal, aku selalu berpikir untuk berhenti. Tapi setelah melihatmu terluka sekarang... Ya, jelas aku pasti akan membunuhmu!"

Aldo mengerahkan seluruh energinya. Ia tak peduli meski ia harus mati sekalipun. Jika ia mati, setidaknya Lewiatan juga harus ikut mati bersamanya.

Lalu rahang Lewiatan lepas dari propeller kapal pesiar. Rahangnya tetap membuka, seiring tubuhnya tenggelam. Garis hitam di matanya menghilang, menyisakan warna kuning kosong. Sementara kapal pesiar yang sudah bebas kembali terangkat ke permukaan.

Aldo juga sudah kehabisan napas. Yang penting ia sudah merasa lega. Ia membiarkan tubuhnya ikut menuju dasar lautan bersama Lewiatan.

Namun, kepala-kepala Orochi terus bergerak. Mereka menciut dan melilit tubuh Aldo, kemudian mengangkatnya ke permukaan. Hingga remaja itu bisa menghirup udara dan terbatuk-batuk. Ia benar-benar kebingungan, sebab selama ini ia mengira Orochi tak memiliki akal. Mustahil mereka bisa mengambil inisiatif di saat energi Aldo saja sudah terkuras.

Tetapi, mungkin ayah dan ibunya memang masih di sana, memperhatikan sambil melindunginya.

Remaja itu memejamkan mata. Badai sudah berakhir. Fajar menjelang. Dendamnya usai. Tapi bukan berarti tugasnya sudah selesai, karena dia masih belum mengetahui kenyataan dunia ini. Masih terlalu banyak.

Para awak kapal pun keluar, lalu berusaha mengangkat Aldo dari air.