Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 41 - Perpisahan

Chapter 41 - Perpisahan

"Ah... sebenarnya aku lupa memberitahumu, kalau manusia itu... memang nggak bisa melihat sihir atau melakukannya... "

Setelah mendengar penjelasan singkat yang keluar dari mulut Aelyn, Galang pun seketika terdiam seribu bahasa.

Remaja lelaki bertubuh agak gemuk dan berkulit cerah itu tampak sangat kecewa. Matanya terbuka lebar dan gemetaran. Bibirnya terkatub rapat. Sementara gadis yang teramat sangat cantik yang memiliki rambut pirang keemasan dan lebat yang duduk di sampingnya, hanya mampu memasang senyuman masam di bibir.

Entah kenapa Galang merasa sangat kesal. Wajahnya juga berubah merah layaknya tomat matang. Tapi anehnya, dia sama sekali tidak tahu harus berkata apa pada Aelyn. Dadanya terasa sangat sesak sampai dia kesulitan bernafas.

Mata Galang yang tadinya masih tertaut dengan mata emas Aelyn, kini beralih memandang satu rumah bercat putih yang berada lumayan jauh dari deker tempat Galang dan Aelyn selalu bertemu.

"Tapi... kenapa...?"

"Agni, Rudra, Terra, Ictus." Setelah mengucap kata-kata yang aneh itu, tiba-tiba muncul sebuah bola api kecil di atas telapak tangan Aelyn, lalu beberapa cincin yang tercipta dari air, tanah, dan mungkin angin, juga ikut muncul mengitari bola api.

Galang yang tadinya terlihat terkejut, sekarang malah terkagum-kagum dengan keajaiban yang diciptakan oleh Aelyn. Namun, perasaan resah yang merasuk ke dalam dirinya masih belum sirna.

Jika yang dikatakan Aelyn tadi memang benar, maka harapan Galang untuk memiliki kekuatan dari keajaiban sudah jelas tak akan pernah terkabulkan. Sungguh menyebalkan, menjengkelkan, dan memuakkan.

"Kau bisa melihat sihir karena kau berada sangat dekat denganku." Ungkap Aelyn. "Di dunia ini, ada satu elemen yang disebut sebagai Anima. Energi itu juga bisa berubah menyerupai segala sesuatunya yang ada di dunia ini. Dan karena energi itu, aku jadi bisa menggunakan sihir seperti ini. Tapi... sayangnya, energi itu tak bisa menjangkau manusia, seperti yang tertera pada Hukum Dunia. Jadi... begitulah."

"Tapi!"

"Maaf, Galang... aku terpaksa membohongimu... "

Benar-benar tak bisa dipercaya. Ini adalah hari terburuk dalam kehidupan Galang. Itu sudah pasti dan tak bisa dipungkiri. Meski begitu, Galang tidak mau menyerah sekarang. Dia harus menemukan cara. Asalkan dia bisa mengeluarkan percikan-percikan api dari tangannya, maka itu tidak masalah.

"Ka-kalau begitu! Kamu mau nggak jadi pacarku!?" Teriak Galang panik. Wajahnya semakin merah padam. "Sebenarnya aku juga sudah suka sama kamu dari minggu lalu!"

"Tunggu... Apa?" Senyuman manis Aelyn lenyap begitu saja.

"Jika kita bersama-sama terus, suatu saat nanti energi itu pasti bisa masuk ke dalam diriku. Jadi, kumohon, jadilah pacarku! Kumohon Aelyn! Kamu tinggal di sini saja! Jangan pulang!"

Aelyn menghela nafas dalam, lalu mengeluarkan secarik kertas dari kantong bajunya. "Bagaimana menurutmu dengan orang ini?" Tanya Aelyn sambil menunjukkan kertas foto itu.

"Hmm?" Galang memandang wajah dalam foto itu lekat-lekat. "Yah... dia nggak terlalu ganteng, tapi nggak jelek juga." Galang berpendapat. "Memangnya ini siapa sih? Kok kamu punya fotonya?"

"Yah... sudah kuduga jawabanmu pasti begitu." Ujar Aelyn. "Ngomong-ngomong, orang ini namanya Kevin, dan dia pacarku. Harusnya kamu kenal sama dia, soalnya dia juga orang sini kok."

"Hah... Maksudmu... Kevin yang itu?" Kini giliran Galang yang merasa sangat kosong. Dia bingung harus marah atau sedih setelah mengetahui kebenaran itu. "Tunggu, tapi apa maksudmu sebelumnya?"

"Begini... Keajaiban itu... bukan hanya soal yang baik atau buruk, dan jelek atau bagus. Ini adalah soal sesuatu yang jauh lebih dalam." Aelyn menjelaskan. "Keajaiban itu sama seperti caramu memandang orang lain, atau seperti caramu memandang Kevin. Yang kau lihat darinya tadi, hanyalah sesuatu yang bisa kau lihat dengan mata saja. Tapi, aku juga nggak bisa menyalahkanmu sih, karena begitulah manusia."

Napas Galang tersengal-sengal. Dia semakin panik dan bingung. Apa yang harus dia katakan? Apalagi, sekarang dia juga sudah tahu kalau dia tidak akan bisa memiliki sihir, dan tak akan pernah mendapatkan Aelyn. Lalu, apa? Apa arti dari perjuangannya selama sebulan ini?

Ini adalah akhirnya.

"Semuanya berarti kok, Galang. Aku juga sangat senang, karena bisa mengenalmu. Sumpah deh. Tapi, kamu ingat kan? Kalau aku kesini untuk melaksanakan tugasku, dan sekarang tugas itu sudah selesai. Jadi... "

Galang masih membatu. Semua emosinya bercampur aduk dalam hatinya.

"Hah... aku benar-benar minta maaf ya, Galang... dan... selamat tinggal." Wajah Aelyn tiba-tiba mendekat secepat kilat, hingga membuat jantung Galang serasa hampir melompat keluar. Lalu, sesaat kemudian, Galang pun merasakan suatu sensasi dingin di pipi kanannya.

Sebuah kecupan.

Pandangan Galang menjadi hitam. Dia merasa seakan tenggelam dalam dunia yang sangat gelap tanpa setitikpun cahaya. Akan tetapi, saat sensasi dingin di wajahnya itu pudar, Galang kembali membuka matanya sembari menatap sekitar.

"Loh... kok... " Galang benar-benar heran. Dia sama sekali tidak tahu mengapa dia bisa berada disini sekarang. "Loh... kenapa aku nangis begini sih? Apa-apaan?"

Yah, begitulah. Air mata Galang adalah satu-satunya saksi bisu atas kekejaman dari kenyataan yang menaungi dunia ini.