Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 32 - Angin Sore yang Tenang

Chapter 32 - Angin Sore yang Tenang

Rei berhenti mengayuh sepedanya sejenak, untuk mengamati pemandangan langit senja keunguan yang terbentang di angkasa. Ya, bocah itu mengakui kalau pemandangan itu memang indah, tapi bukan berarti semuanya akan menjadi sesederhana itu. Dia sudah pernah merasakan pahitnya kenyataan, dan keindahan semacam ini, tak cukup untuk memadamkan amarahnya terhadap dunia.

Jalur sempit ini adalah satu-satunya jalan yang menghubungkan pulau Sulawesi dengan pulau kecil tanpa nama yang berada tak jauh di depan sana. Jaraknya hanya sekitar tiga ratus meter, dan setiap hari, Rei harus melintasi jarak itu untuk pulang ke rumahnya yang ada di desa di pulau itu.

"Mending aku berhenti kerja aja atau gimana ya?" Rei bertanya pada hati kecilnya. Pekerjaannya di rumah makan itu adalah satu-satunya alasannya bolak balik dari pulau tempat tinggalnya ke pulau utama. Sebenarnya itu tidak terlalu melelahkan, hanya saja, akhir-akhir ini Rei mulai merasa kalau pekerjaannya itu agak sia-sia.

Namun, ini adalah kali pertamanya melintasi jalur ini di jam segini, mengingat selama ini, dia pasti sudah berada di rumah sebelum pukul tiga sore karena terlalu lelah selepas bekerja.

Rei melirik arlojinya, dan mendapati jarum jam yang menunjuk pada angka lima.

"Cuma, aku benar-benar nggak menyangka kalau pemandangan di sini ternyata bisa seindah ini..." Rei bergumam sembari kembali mendongak menatap dunia di sekitarnya. Sungguh pemandangan sore yang luar biasa.

Langitnya memancarkan warna ungu gelap yang terkesan ajaib. Ditambah hembusan sepoy angin yang lembut, dan suara memekik burung camar, benar-benar bisa membuat dunia menjadi terasa gaib dan misterius. Dia bertanya-tanya lagi, apakah sejak dulu memang seperti ini? Kalau betul begitu, entah kenapa Rei malah merasa agak rugi sekarang.

"Anginnya enak banget lagi." Rei menutup kelopak matanya sambil menikmati pemberian sang Pencipta. Waktu itu, dia merasa sangat nyaman dan tenang, walaupun sebenarnya dia sudah tahu betul kalau kedamaian itu tidak nyata.

Namun, dia penasaran, bagaimana jika itu nyata? Bagaimana jika ketenangan dan kenyamanan seperti ini bisa bertahan sampai selamanya? Apakah itu layak disebut sebagai kedamaian?

"Kedamaian itu nggak akan pernah ada. Sampai kapanpun." Kata satu suara wanita yang entah berasal dari mana. Suara itu seolah terbawa oleh angin, dan menggema di udara. "Orang-orang sepertimu seharusnya tahu tentang itu lebih dari siapapun kan?"

"Ya, aku tahu." Rei menjawab suara tak bertuan itu.

Suatu bayang-bayang yang tak menyenangkan muncul dalam pandangan Rei. Gambaran tentang kejadian di mana Rei kehilangan kedua orang tuanya karena sakit keras bertahun-tahun silam.

Di dalam gubuk yang hanya diterangi oleh cahaya lilin, kedua orang tua Rei terbaring lemas di atas tikar, sementara bocah kecil itu hanya bisa duduk di antara mereka dan berdoa kepada sang Pencipta. Malam itu Rei melantunkan doanya tanpa henti, karena kedua orang tuanya terus meronta kesakitan.

Kala itu, hanya doa saja yang bisa diandalkan Rei. Hanya Tuhan. Tak ada hal lain yang bisa dia lakukan. Keluarganya sejak dulu memang sudah miskin, mau seberapa keras pun mereka berusaha, kenyataan itu tetap saja tak berubah. Dia tak bisa berharap pada siapapun, entah itu pada tetangganya, atau pada Pak Ustad yang selalu menjadi teman curhatnya. Saat ini hanya ada dia.

Namun, ketika lilin di dalam gubuk itu padam, saat itu pula, Rei bisa mendengar suara helaan nafas terakhir dari kedua orang tuanya.

Sungguh dunia yang kejam, bukan? Hanya perlu satu kisah tragis saja, dan pandangan seorang bocah terhadap kenyataan dunia pun bisa berubah sepenuhnya dalam sekejap mata.

Rei sebenarnya ingin menyalahkan Tuhan atas malapetaka yang dialaminya saat itu, tapi sayangnya waktu itu dia masih sangat beriman, jadi dia tak mampu mewujudkan pemikiran yang seperti itu. Jadi, satu-satunya yang bisa ia salahkan hanyalah dunia ini saja. Namun malangnya, Rei juga sadar kalau dia masih berhutang banyak pada dunia ini.

Jadi, pilihan terakhirnya adalah, dendam.

Dia mengumpulkan semua amarahnya, menyimpannya dalam-dalam, dan menunggu saat yang tepat untuk melampiaskan kemarahannya. Hanya itu saja rencana yang ia miliki sekarang. Bahkan, mungkin hanya itu saja tujuan dalam hidupnya saat ini.

"Benar-benar sia-sia." Rei bergumam lagi.

"Tentu saja tidak. Selama kau masih memutuskan untuk terus bernafas dan melangkah, maka tak ada satupun hal yang tersia-siakan. Toh, pada akhirnya, semua itu hanyalah pilihan, dan yang menentukannya adalah kau. Tetap percaya dan tetap hidup, itulah yang terpenting." Jelas suara yang menggema itu.

"Tetap percaya dan tetap hidup ya? Hmm... kalau begitu, aku hanya perlu melangkah maju kan?" Tanya Rei sambil tersenyum kecil. "Oke deh. Aku pulang dulu kalau begitu. Dadah, Tante Angin!" Rei kembali mengayuh sepedanya, dan meluncur menyusuri jalur itu.

"Setidaknya untuk saat ini, nikmatilah hidupmu, Rei."