Mungkin banyak yang tak tahu, tapi, kesedihan itu, merupakan suatu bahasa yang cukup rumit untuk dimengerti.
Orang pertama yang dilihat Aril di kejauhan adalah seorang gadis yang juga mengenakan seragam yang sama persis dengannya. Dia langsung melesat ke arahnya secepat mungkin, tapi gadis itu juga tengah didesak oleh tiga pasukan musuh, dan sepersekian detik kemudian, diiringi teriakan yang terdengar menyedihkan, gadis itu akhirnya meregang nyawa setelah ditikam dengan tiga pedang sekaligus tepat di bagian perutnya.
"Astaga! Ti-tidak! Elisa!"
Pemandangan itu awalnya sempat membuat Aril merasa kosong, seolah-olah seluruh kekuatan dalam dirinya habis tanpa sisa, namun itu tidak menghentikannya. Ketika dia melihat temannya yang lain yang juga sedang dalam kesulitan, Aril kembali berlari dan mencoba menolongnya.
Kerajaan Cekatora diambang kekalahan, dan nyawa Aril berada diujung tanduk.
Langit malam memancarkan warna merah gelap yang membuat siapapun merinding melihatnya, ditambah suara teriakkan, dan kematian, tentu saja akan memberikan rasa takut yang teramat sangat bagi semua orang yang mendengarnya.
Satu perang, lima medan pertempuran. Di dunia ini takdir seperti itu bisa dibilang wajar-wajar saja, bahkan untuk seorang anak yang masih berumur enam tahun. Ditambah lagi, Aril juga merupakan seorang tawanan perang, jadi mau tak mau dia harus terjun ke medan pertempuran untuk bertempur demi kesatuan yang tak pernah tahu kalau dia ada.
Namun, beginilah situasinya sekarang.
Mereka dijebak. Kerajaan benar-benar akan hancur hanya karena satu kesalahan kecil.
Aril sangat kelelahan, tenaganya terkuras habis setelah bertempur lima jam lamanya. Namun sekarang dia harus menyelamatkan dirinya. Dia mencoba untuk melarikan diri dari sana, tapi tampaknya itu terlalu mustahil jika dilihat dari situasinya saat ini. Sama sekali tak ada celah. Pasukan musuh berada dimana-mana. Pedang menari dengan liar, peluru berjatuhan dari langit bagaikan hujan, dan sihir bisa dengan mudahnya merubah medan pertempuran dalam sekejap mata.
Kehancuran, kematian, dan akhir; itulah tiga kata yang tepat untuk menggambarkan situasi Aril saat ini. Dia dilanda kepanikan dan ketakutan, dan yang bisa dilakukannya saat ini hanyalah berlari kesana kemari untuk menyelamatkan teman-temannya yang bisa diselamatkan, dan berharap bisa keluar dari sana bersama-sama dalam keadaan hidup.
Akan tetapi, lambat laun Aril pun akhirnya sadar bahwa semua usahanya sia-sia. Orang-orang yang coba dia gapai selalu saja berubah menjadi debu-debu cahaya sebelum ia berhasil menyelamatkan mereka. Mereka semua pulang.
Satu per satu teman-teman Aril mati tepat sebelum dia sempat menatap mata mereka. Aril mulai menangis, tapi dia terus berlari, berlari, dan berlari untuk menolong orang-orang yang dikenalnya, siapapun itu. Hingga akhirnya, rasa putus asa perlahan-lahan mulai menelan Aril. Dia tak mampu menyelamatkan siapapun.
Aril sudah tak tahan lagi mendengar suara teriakan mereka, dan suara pertempuran.
Dia benar-benar tidak menyangka, kalau melihat seorang yang dikenalnya mati di depan mata, ternyata rasanya akan sesakit ini.
"Hah... Hah... Hah... " Nafasnya terengah-engah saat dia memandang berkeliling sambil berusaha mencari wajah-wajah yang akrab dalam ingatannya. Namun, sudah tak ada satupun yang tersisa.
Aril jatuh berlutut. Dia menengadah menatap langit, seraya menghembuskan nafasnya. Rasanya sangat menyakitkan, tapi dia sadar betul kalau sekarang adalah saat yang tepat untuk pasrah.
"Tuhan... jika ini adalah saatnya, maka jadilah kehendak-Mu. Tapi... aku masih ingin melanjutkan hidupku, Tuhan. Jadi... Aku percaya, kalau malapetaka ini bukanlah kehendak-Mu." Aril berbisik dengan wajah kosong yang dibanjiri air mata. "Kau... Engkau tidak pernah membuat rancangan kecelakaan untukku, kan? Kumohon... kumohon berikan aku satu kesempatan lagi." Aril menundukkan kepalanya dalam-dalam, wajahnya berlinang air mata.
Namun, sesuatu yang tak terduga terjadi.
Tiba-tiba saja ada pilar cahaya yang turun dari langit. Cahaya yang amat terang itu menelan Aril, mengambil alih pandangannya, dan membuat semuanya menjadi putih.
"Eh... ? Ini... Jembatan Pelangi?"
Beberapa saat kemudian, pandangan Aril akhirnya telah kembali padanya setelah dia mengedipkan mata beberapa kali, dan pada saat itu pula dia sadar kalau segalanya sudah berubah—Dunia telah berubah.
Tak ada teriakkan, guncangan, kehancuran, dan kematian. Tak ada sihir-sihir yang bisa menyebabkan gempa bumi, serta hujan peluru yang menembus daging, serta suara bilah pedang yang saling beradu, dan hal-hal mengerikan lainnya. Semuanya itu telah lenyap begitu saja digantikan oleh kesenyapan.
Sejauh mata memandang yang terlihat hanyalah kegelapan malam, serta rumah-rumah yang tertata rapi yang memancarkan cahaya temaram dari balik gorden jendelanya, juga pepohonan yang tampak normal, jalanan beraspal, dan tiang-tiang lampu yang berjejer di sepanjang jalan.
Semuanya benar-benar biasa.
Aril masih berdiri diam di tengah jalan yang sepi itu. Dia sungguh tidak tahu ini nyata atau tidak. Dari wajahnya, terlihat jelas kalau dia seolah tidak mempercayai dengan apa yang dilihatnya, seakan-akan dia berada di dunia lain.
Akan tetapi, entah kenapa Aril merasa sangat nyaman sekarang. Semua perasaan mengerikan yang merasuk ke dalam tubuh dan jiwanya karena peperangan tadi, kini semuanya telah sirna.
"Ya Tuhan... "
Tanpa diduga, hujan tiba-tiba turun, dan lambat laun semakin deras hingga membuat Aril basah kuyup. Suara hujan memenuhi pendengarannya. Dia lalu menengadah ke angkasa yang juga tampak biasa saja, sembari menatap tiap titik-titik air yang berjatuhan dari langit.
"Ini... Dunia Manusia?" Aril bergumam. Rahangnya terkatup rapat dan rasanya sedikit nyeri. "Ini... benar-benar Dunia Manusia. Aku berada di Dunia Manusia... Tapi... bagaimana mungkin?" Air matanya bercampur dengan tetesan hujan di wajah. Matanya memerah karena menangis selama pertempuran tadi.
Setelah sekian lama, dan setelah semua perjuangannya, akhirnya Tuhan memberi Aril kesempatan. Namun, anehnya, Aril tiba-tiba merasa sangat kosong. Kehampaan memenuhi hatinya, dan lama kelamaan, semua ketiadaan itu mulai membuat Aril merasa kesakitan tanpa alasan yang jelas.
Air matanya berhenti mengalir, digantikan oleh air hujan yang membasahi seluruh tubuhnya dari ujung kepala hingga ujung kaki. Dia mengangkat kepala dan menoleh memandang ke ujung jalanan yang tak dapat dijangkau matanya.
Jika ini memang kesempatan kedua, maka Aril akan mengambilnya tanpa ragu. Tapi, dia bertanya-tanya dalam hati, apa yang mungkin akan didapatkannya di ujung jalan itu? Di hari esok, di dunia yang tidak ia kenali.
Lalu, terdengar satu suara yang bergema dalam benaknya.
"Aku akan meminjamkan namaku kepadamu. Mulai sekarang, hingga ke dalam kekekalan. Inilah namaku, Heimdal."
Ya, itu merupakan kabar yang sangat tak terduga.
Dewa yang menjaga jembatan antar dunia kini meminjamkan namanya kepada Aril. Yang artinya, Aril bisa menggunakan kekuatan itu sesukanya mulai sekarang.
"Jadi... bagaimana sekarang?" Aril menatap kedua telapak tangannya lekat-lekat, kemudian kembali menoleh memandang ke ujung jalan.
Akhirnya, dengan kehampaan yang membanjiri dirinya, Aril pun mulai berjalan menembus hujan menyusuri jalanan yang kosong itu, dan meninggalkan jati dirinya jauh di belakang.
Seperti semua anak bayi yang baru terlahir ke dunia, Aril pun mengawali hidup barunya dengan tangisan.
"Sampai jumpa... kenyataan masa laluku." Bisiknya seraya melangkah pergi. Aril terus berjalan, berjalan, dan berjalan, dan tak lama kemudian, sosoknya pun akhirnya lenyap di kejauhan, ditelan gelap malam.