Chereads / EDEN - Kisah Dunia Fana (Original) / Chapter 27 - Kapal di Langit Lama

Chapter 27 - Kapal di Langit Lama

Suasana sekolah memang tidak pernah berubah, membosankan dan sangat tidak menyenangkan. Namun, Fatih memiliki satu cara ampuh untuk mengusir rasa bosan itu. Saat Fatih merasa dunia terasa sunyi dan hening, yang perlu Fatih lakukan hanyalah memandang ke angkasa, di mana di atas sana, di balik awan-awan, dia bisa melihat dengan kedua matanya sendiri, kapal-kapal yang berlayar di langit. 

Ya, itulah yang dilakukan Fatih sekarang. Remaja kurus berseragam putih abu-abu dan berambut hitam gondrong yang duduk di bangku pojok belakang, tepat di samping jendela, sejak awal pelajaran hingga sekarang, yang dilakukannya hanya memandang angkasa dan mengamati kapal yang berlalu-lalang di atas sana. 

"Kenapa, ya, Tuhan memberikanku mata ini?" Tanya Fatih pada dirinya.

Akan tetapi, Fatih sadar kalau dia sudah cukup lama melihat pemandangan gaib itu, jadi dia memutuskan untuk mengalihkan pandangannya sejenak, menarik nafas dalam, dan mengamati keadaan kelas saat itu. 

Seperti biasa, jam pelajaran selalu begini-begini saja. Dari hari senin sampai sabtu, beginilah suasana kelas ini, tidak ada yang berbeda. Namun, Fatih juga sedikit suka dengan pemandangan seperti ini, saat-saat di mana ia bisa dengan leluasa menilik pribadi teman-temannya tanpa harus bertanya langsung pada mereka, dan yang perlu dilakukannya hanyalah melihat ekspresi wajah mereka.

Fatih bisa melihat mana temannya yang belajar dengan giat, juga anak yang tidak tertarik untuk belajar. Ada anak yang tampak semangat, dan ada juga yang terlihat malas dan mengantuk. Pada dasarnya, mereka semua memanglah berbeda, dan menurut Fatih, ini adalah hal yang menarik untuk diamati. 

"Orang-orang itu... aneh banget, ya?" Gumam Fatih sambil menyeringai.

Namun, di antara semua teman-temannya, ada satu wajah yang membuat Fatih merasa sedikit kesal tiap kali memandangnya. Namanya adalah Jojo. Anak itu duduk di bangku paling belakang di barisan tengah, dan dari senyumannya, siapapun bisa tahu kalau dia bukanlah anak yang baik. 

Dia benar-benar tidak layak… Pikir Fatih. 

Jojo adalah putra dari pemimpin perkumpulan preman terkenal di kota Kendari ini, dan dia jugalah orang yang suka melakukan tindakan perundungan pada murid-murid lainnya. Dia berlagak seperti bos besar. Bahkan, setelah dua tahun mengenal Jojo, Fatih hampir tidak pernah melihat anak itu menulis di bukunya sendiri, mengingat dia memiliki setidaknya tiga budak di kelas ini, yang akan mengikuti segala perintahnya. 

Saat bel pulang berbunyi semua murid langsung buru-buru berkemas secepat yang mereka bisa, dan juga menyelesaikan tugas-tugas yang diperlukan, lalu saat semuanya sudah siap, mereka pun melesat keluar melalui pintu itu dan pulang ke rumah.

Tapi, berbeda dengan Fatih. Dia selalu memiliki tiga alasan atas penantiannya. Alasan yang pertama, ya, tentu saja dia ingin pergi dari tempat ini, dan alasan yang kedua berhubungan dengan keajaiban itu. Tapi alasan yang ketiga merupakan hal yang sangat berbeda. 

"Hey, anak aneh!" Teriak Jojo. Dia terlihat marah. 

"Hmm?" Fatih yang saat itu masih duduk di bangkunya dan tengah menikmati pemandangan langit, tiba-tiba dihampiri oleh Jojo serta kedua temannya yang bertubuh besar yang sejak dulu bertindak selayaknya bodyguard-nya.

Mungkin, banyak yang bertanya-tanya, kenapa wajah Fatih setiap hari terlihat bonyok dan penuh memar di mana-mana, jawabannya adalah, Jojo. Hampir setiap hari sepulang sekolah, anak itu terus menyiksa Fatih karena satu alasan sederhana, dan kelas inilah yang menjadi saksi bisu atas kejahatan itu.

Sementara kedua anak bertubuh subur itu mengekang Fatih, Jojo meninju dan menendang Fatih seakan-akan dia adalah samsak tinju. Dalam kurun waktu yang terhitung cukup lama, Fatih harus berhadapan dengan rasa sakit itu. Namun, Fatih menganggap ini sebagai suatu kesenangan.

"Kenapa kau tetap tersenyum, hah!?" Teriak Jojo yang tampak semakin kesal. 

Fatih tetap tersenyum meski sudah disiksa berkali-kali. Sampai-sampai Jojo mungkin sangat membenci senyum Fatih yang satu itu.

"Bukannya sudah kubilang, kalau kau itu... tidaklah istimewa—ugh-ugh!" Kata Fatih yang sudah terlihat sekarat. Akan tetapi, karena kalimat itu pula, Jojo kembali melayangkan beberapa tinju menuju wajah dan perut Fatih. 

Bagi Fatih, sebenarnya ini adalah pertukaran yang sepadan. Malahan, Fatih masih menang banyak. Fatih tahu apa yang membuat Jojo emosi, sementara Jojo sendiri tidak tahu alasan kenapa dirinya naik pitam setiap kali mendengar kalimat yang diucapkan Fatih. 

Padahal, sudah satu tahun berlalu sejak Fatih mengucapkan kalimat itu untuk yang pertama kalinya, dan sudah satu tahun pula sejak Jojo mendengar pernyataan itu untuk kali pertamanya. Jojo semakin berubah hari demi hari. Dia menjadi semakin jahat, pemarah, dan wajahnya juga selalu terlihat sedih. 

Fatih tahu bahwa dirinyalah pemenang dalam "pertarungan" ini. Dia selalu menang. Itulah sebabnya, Jojo terus melakukan kekejaman ini.

Fatih bisa melihat keajaiban itu, sementara Jojo hanya melihatnya sekilas saat itu.

"Hah... tadi itu menyenangkan juga." Fatih bergumam. Dia kini berdiri di depan pohon beringin raksasa yang tumbuh di samping halaman sekolahnya. Pohon itu sudah sangat tua, dan akarnya timbul di mana-mana. Mungkin tak lama lagi pohon ini akan tumbang, tapi, Fatih tak yakin akan hal itu.

Lima belas menit sudah berlalu sejak Jojo dan kedua bawahannya meninggalkan Fatih terbaring di kelas seolah-olah dia sekarat dan hampir mati. Sekarang sudah pukul empat sore, dan ini adalah waktu bagi Fatih untuk menikmati keistimewaan yang telah diberikan padanya.

Fatih tersenyum kecil sambil meraba-raba wajahnya yang terasa sakit. 

"Aduh... sialan, sakit banget. Aku nggak menyangka rasanya bisa bertambah parah seperti ini." Ujar Fatih. "Tapi, aku tetap menang, sih—Aw!" Fatih tak sengaja menyentuh luka yang paling parah di wajahnya, dan rasa perihnya melonjak seketika. 

"Kalau begitu, bukannya kamu malah terlihat seperti orang jahat, ya?" Tanya seorang gadis kecil yang tiba-tiba muncul di samping Fatih. Matanya terpaku memandang pohon beringin di depan mereka.

"Eh? Kok begitu? Yang babak belur, kan, dia." Ujar bocah kurus berambut gondrong yang juga muncul begitu saja di sana. 

"Hmm? Aku, kan, memang orang jahat." Ungkap Fatih sambil menoleh memandang gadis kecil yang mengenakan gaun putih bersih polos dan berwajah datar itu. "Berdasarkan kehidupanku di masa lalu, oh, jelas aku ini orang jahat." Dia mengalihkan pandangannya pada bocah kurus satunya. 

"Ya, ya, sakarepmu, lah." Ujar gadis itu tak acuh. 

"Oh, iya, kok, kamu baru sekarang muncul lagi? Sudah dua bulan lebih, lho, kita nggak lihat kamu di sini." Jelas Fatih. "Iya, kan, Rama?"

Bocah kurus itu memasang wajah masam, dan memandang Fatih dengan heran. "Eh... Kalau aku, sih, ngerti kenapa dia nggak datang." Ungkap Rama sambil tersenyum mengejek.

"Hah? Beneran?" Fatih langsung syok mendengarnya.

"Kau ingat, kan? Aku ini Roh Langit, lho. Rama aja mengerti, kok. Padahal dia masih kelas enam. Hadeh... Kamu ini beneran ajaib banget dah Fatih..." Ejek Gadis itu yang kini memasang wajah heran, sementara Rama tampak bangga karena pujian dari Ravril.

"Eh... lupain ajalah." Fatih menghela nafas dalam. Senyuman kecil terbentuk di bibirnya. "Tapi, senang bisa melihatmu lagi, Ravril." Kata Fatih tulus.

"Ya... senang bisa melihatmu juga, Fatih." Ujar gadis itu yang juga balas tersenyum, sebelum ia iseng menyentil dahi Rama. "Ngomong-ngomong, kamu kayaknya masih sehat-sehat aja, ya, Rama."

"Hey! Sakit tahu!" Protes Rama.

Guk! Guk!

Tanpa mereka bertiga sadari, ternyata sekarang sudah ada seekor anjing kecil berbulu putih yang duduk di depan mereka. Anjing itu terus mengibas-ngibaskan ekornya, seakan memberi tanda kalau dia sedang senang. 

"Oh? Helly juga ada rupanya." ucap Fatih. 

"Hey, Helly, gimana kabarmu? Kamu makin gede aja, ya." Rama langsung berlutut mengelus-elus anjing itu. Jika dilihat sekilas bulunya sepertinya benar-benar sangat lembut.

Senja telah datang. Langit yang tadinya berwarna biru dan cerah, kini mulai memancarkan cahaya oranye yang membawa serta kehangatan. Sementara itu, Fatih, Rama, Ravril dan Helly si anjing masih berada di depan pohon beringin itu dan menunggu datangnya sesuatu yang entah apa.

Namun, setelah menunggu cukup lama, akhirnya sesuatu yang aneh pun terjadi. Bersamaan dengan datangnya hembusan angin yang lembut, sebuah pintu tiba-tiba muncul di permukaan batang pohon beringin itu. Pintu itu terlihat mahal, dan permukaannya dipoles mengkilap seperti baru. 

Rama yang pertama melangkah maju. Tangan bocah itu tanpa ragu menggapai gagang pintu itu, lalu menariknya sampai terbuka lebar dengan semangat, dan pada saat itu juga mata ketiga orang itu membelalak. 

Di balik pintu itu, Fatih bisa melihat pemandangan yang sungguh luar biasa menakjubkan. Suatu pemandangan yang sangat ajaib dan tak bisa diterima oleh akal manusia. 

Fatih melirik Rama, Ravril, dan Helly bergantian, kemudian, setelah meyakinkan diri, mereka berempat pun melangkah melewati pintu itu dan tiba di tempat yang benar-benar berbeda. 

Di dunia yang sungguh berbeda.

Mereka bertiga berjalan menyusuri jembatan yang terbuat dari kayu, dan meninggalkan kenyataan jauh di belakang mereka. 

Sejatinya, pintu itu secara ajaib mengantarkan mereka bertiga ke atas suatu jembatan kayu yang berada di atas langit. Jauh tinggi di angkasa, di antara awan-awan putih, di bawah pancaran sinar mentari senja yang nyaman, disitulah Fatih, Ravril dan Helly berada sekarang. 

Langit Lama, atau begitulah Ravril menyebut tempat ini. Tempat misterius yang hanya bisa didatangi oleh mereka Yang Tak Terlihat dan Yang Terpilih.

Dengan keempat kaki mungilnya, Helly melesat menuju ke ujung jembatan, bersama dengan Rama yang berlari di belakangnya, sementara Fatih dan Ravril berjalan dengan santai l sambil menikmati pemandangan bernuansa magis di sekitar mereka.

"Sejak awal masuk sekolah, aku masih nggak tahu apa alasan Tuhan membiarkanku melihat semua ini." Ungkap Fatih sembari menggapai gumpalan awan yang tak jauh di sampingnya. "Padahal aku ini penjahat..." Fatih menambahkan. Air mukanya berubah aneh, dan senyumnya sedikit melengkung. 

"Kenapa, sih, kau membahas itu lagi?" Tanya Ravril sedikit kesal. "Hey, Rama! Pelan-pelan, dong! Kamu ini cacingan, atau gimana, sih!?" Ravril berteriak memperingati Rama.

"Ya, tentu saja, lah." Celetuk Fatih. "Aku nggak jauh beda dengan Jojo, kok. Malahan aku lebih parah. Aku sudah pernah membunuh, lho, sedangkan dia mungkin nggak pernah."

Entah kenapa kepala Fatih terasa berdenyut setelah mengatakan kenyataan itu. Sungguh sangat tidak menyenangkan jika harus mengungkit kejadian tragis yang pernah menimpanya di masa lalu. 

Ravril menghela nafas dalam.

"Hey, Nak, mending jangan bertanya padaku, deh. Aku ini bukan Tuhan, soalnya yang memberimu izin untuk melihat semua ini, itu Tuhan, bukan aku." Jelas Ravril. "Tapi... ya, memang, sih, kamu itu jahat. Cuma, yang bisa menentukan itu, ya, hanya yang di atas sana. Nggak ada makhluk hidup di bawah langit ini yang berhak menilai kamu baik atau jahat." 

Kini mereka berempat telah sampai di ujung jembatan itu, dan di hadapan mereka terbentang luas langit yang begitu megah. Namun, meski mereka berada di atas langit sekalipun, tapi udaranya sama sekali tidak terasa terlalu dingin, melainkan hangat. 

"Mungkin... Tuhan tidak melihat dirimu yang ada di masa lalu, tapi dia melihat dirimu yang ada di masa depan." Ungkap Ravril.

"Hah? Maksudnya?" Tanya Fatih yang keheranan setengah mati. 

"Maksudku... Ya, memang betul kalau kau jahat di masa lalu, tapi Tuhan pasti tahu kalau kau sudah berubah di masa depan. Maka dari itu Tuhan memilihmu untuk memiliki apa yang tak orang lain miliki. Tuhan memberimu berkat untuk melihat. Semacam hadiah mungkin. Hadiah karena kau kelak akan berhasil berubah menjadi pribadi yang lebih baik." 

"Eh..." Fatih terdiam. Dia dibuat bingung oleh perkataan Ravril. 

"Lagian, kau juga tidak bersalah, kok. Toh, orang tuamu juga mau membunuhmu." 

Suasana seketika menjadi hening. Baik Fatih maupun Ravril, keduanya terdiam seribu bahasa, sementara Rama masih asyil dengan Helly yang terus menggonggong ria disitu. 

Namun, apa yang dikatakan Ravril memang benar. 

Fatih akhirnya mengerti kenapa Ravril selalu emosi setiap kali dia membahas tentang ini. Fatih seharusnya tidak menanyakan pertanyaan itu pada Ravril, karena sejak awal, Ravil tahu bahwa bukan dia yang harus menjawab pertanyaan itu. 

Memang, Fatih pernah membunuh kedua orang tuanya waktu masih kecil. Tapi itu sungguh tak disengaja. Dosa? Itu terlalu jelas, kan? Tak terampuni? Sudah pasti, tak peduli apapun alasannya. Ya, semuanya terjadi begitu saja tanpa Fatih niatkan. 

Tuhanlah yang menciptakan masa lalu dan masa depan Fatih, dan Dia jugalah yang memberikan dan mengakhiri ujian-ujian itu. Tinta sudah tertuang dan telah mengering, jadi, yang perlu dilakukan Fatih sekarang adalah tinggal mengikuti alurnya saja. 

"Syukurlah selama ini kamu cuma mengajukan pertanyaan itu padaku saja. Coba kalau orang lain yang kau ajukan pertanyaan itu. Bisa kacau, lho, urusannya." Ungkap Ravril. "Aku hidup sudah lama banget, lho, Fat. Aku tahu sifat manusia. Meski mereka tahu kalau mereka tidak seharusnya menghakimi orang lain, tapi mereka tetap melakukannya dan mengambil keuntungan dari situ. Manusia itu... jahat—"

"Hmm... Ya... kau memang benar, Ril." Potong Fatih tiba-tiba. "Entah kenapa aku baru sadar sekarang."

"Eh? Apanya?"

Fatih masih terdiam dengan senyum yang melekat di bibir. Dia baru sadar akan satu hal yang terlewatkan selama ini. Setelah dua tahun, dia akhirnya sadar. Dia benar-benar sudah paham.

"Berarti, selama ini, Tuhan memilihku karena aku ini layak, kan?" Ucap Fatih.

"Eh, eh, Kapalnya sudah datang, tuh." Rama memberitahu.

Tak lama kemudian, terdengar suatu suara mendengung dari arah belakang mereka. Suara yang perlahan mendekat itu terdengar sedikit berat dan berdengung. Sementara itu, Fatih bersama Ravril tetap berdiri di tempatnya dan memandang ke depan, sedangkan si Helly berlari mengejar sumber suara itu yang entah dari mana asalnya.

Bersamaan dengan datangnya hembusan angin kencang, tiba-tiba saja ada banyak kapal raksasa yang keluar dari gumpalan awan tebal di kiri dan kanan mereka. Jumlahnya ada sepuluh. 

Dari ujung jembatan itu, Fatih juga bisa melihat beberapa sosok di atas kapal itu. Ada yang berwujud seperti manusia, dan ada pula yang wujudnya menyerupai sosok makhluk lain yang tidak pernah dilihat Fatih.

Kapal-kapal ajaib yang berlayar di udara itu, sebenarnya terlihat seperti kapal biasa pada umumnya. Terbuat dari kayu dan papan, serta memiliki layar dari kain putih yang agak kusam. Akan tetapi, tetap saja semua itu tidak menjelaskan bagaimana caranya kapal-kapal itu bisa mengambang di angkasa ini. 

Fatih, Rama, dan Ravril yang ada di sana berusaha keras agar tidak terhempas oleh angin kencang yang datang bersama kapal-kapal itu. Senyuman yang melukiskan berbagai arti terbentuk di bibir mereka bertiga, dan Helly terlihat semakin senang akan kemunculan kapal-kapal itu. 

Dari kejauhan, terlihat seseorang yang melambaikan tangan di salah satu kapal itu. Fatih yang melihatnya tanpa ragu langsung membalas lambaian tangan orang itu dan mengangkat kedua tangannya tinggi-tinggi. 

"Hati-hati, ya! Jangan sampai jatuh!" Teriak Fatih selantang mungkin. 

"Eh... Berhentilah mengatakan hal-hal yang konyol, Kak Fatih." Rama memandang pemuda itu dengan wajah masam. 

Orang itu tertawa. Dari suaranya, dia pastilah seorang lelaki. "Tenang saja! Aku nggak akan jatuh, kok!" 

Kapal-kapal itu berlayar semakin jauh, hingga akhirnya tak terlihat lagi oleh mata.

"Kenapa kamu jadi senang begitu, Fat?" Tanya Ravril sedikit heran. 

"Ya, rasanya aneh saja. Soalnya sudah dua tahun aku mencari jawaban atas pertanyaan itu, tapi, aku sama sekali nggak menyangka jawabannya akan sesimpel ini." 

"Hmm..." Sambil tersenyum manis, Ravril menatap malas pada langit yang terbentang di hadapannya. "Tuhan menciptakan orang-orang karena mereka layak. Siapapun itu. Bahkan termasuk Jojo temanmu. Hanya saja... Tuhan bekerja dengan cara yang sangat misterius."

"Ya... semua orang memang layak." Bisik Fatih yang merentangkan kedua tangannya untuk menikmati hembusan angin. 

"Kak Fatih kenapa?" Rama bertanya pada Ravril. Bocah itu sekarang tengah menggendong Helly di pelukannya.

"Nggak apa-apa, kok. Untuk sekarang, sih, lebih baik kita biarkan dia menikmati semua keajaiban ini lebih lama lagi." Jelas Ravril sambil mengelus kepala Helly. "Tidak mudah untuk menemukan jawaban di dunia yang sekarang ini." 

"Hmm, kalau dipikir-pikir, itu ada benarnya." Balas Rama yang mengalihkan pandangannya pada Fatih. "Jawaban, ya?"