"Aneh... Entah kenapa aku itu selalu iri dengan hal-hal sangat sederhana loh..." Ujar Rama sambil memandang kosong pada ayunan yang tak jauh di depannya.
Sudah tiga hari sejak Cika tinggal di rumah Rama. Hari ini adalah hari sabtu, dan di pagi buta kala itu Rama memutuskan untuk mengajak nongkrong Cika dan Gota ke satu taman bermain kecil yang letaknya cukup dekat dengan rumahnya.
Tepatnya taman itu berada di tengah-tengah antara rumah Rama dan lapangan Sorumba–tempat mereka biasa nongkrong.
Cika dan Rama tengah duduk di bangku, sementara Gota sedang asyik mengumpulkan bunga-bunga liar dari pagar taman yang tumbuh mengitari daerah taman bermain itu, lalu memasukkannya ke dalam sebuah kantong plastik hitam yang dibiarkannya tergeletak di depan Rama dan Cika.
Meskipun anak bermata emas yang badannya hanya berbalut kain putih itu tampak seperti bukan anak sembarangan, namun pada akhirnya, dia tetaplah anak-anak.
"Oh iya, si Juar itu kemana ya? Tadi pas aku bangun kok dia udah nggak ada ya?" Gota bertanya.
"Ah, sekitaran jam empat tadi dia udah pergi ke pasar buat bantu-bantu para penjual." Rama memberitahu.
"Jadi dia jualan juga di pasar?" Cika kaget. Itu fakta yang lumayan mengejutkan. Mengingat Juar masih sekolah.
"Bukan jualan, dia cuma bantu-bantu aja, tapi katanya dia dapet bayaran juga sih." Jelas Rama.
"Oh, gitu ya." Gota berujar singkat.
Lalu, hening sejenak.
Angin pagi yang benar-benar dingin berhembus dan seakan menembus tulang-tulang Cika. Gadis kecil itu memeluk dirinya sendiri untuk menahan dingin, padahal kalau dia mau sebenarnya dia bisa saja membuat tubuhnya jadi lebih kuat hanya dengan keajaiban.
Namun, entah kenapa rasanya agak menyenangkan, menahan rasa dingin seperti ini.
"Tahu nggak, tahun lalu, waktu aku masih kelas satu, di kelasku ada anak yang manja banget. Dia juga sangat pendiam, dan sampai aku lompat kelas, aku sama sekali nggak pernah mendengar suaranya." Rama memberitahu.
Cika mendengarkannya dengan seksama, walaupun mata gadis kecil itu tengah memperhatikan Gota yang berlarian ke sana ke mari dengan wajah polosnya, tapi Cika memasang telinganya.
"Satu-satunya saat dimana aku pernah melihat mulutnya bergerak, adalah ketika dia tengah berbicara dengan kakaknya. Dia anak kelas lima, dan dia sering datang ke kelas untuk tiap jam istirahat untuk menemani temanku itu. Dan kau tahu? Setiap aku melihatnya dengan kakaknya, aku merasa kalau dia berubah jadi orang yang sangat berbeda... Bahkan, dia tertawa..."
Cika melirik wajah Rama sedikit, tapi anak itu cuma menatap kosong pada ayunan di depan mereka. Sungguh, sampai sekarang, Cika sama sekali masih tidak bisa menerka apa yang ada dipikiran anak bermata kehijauan itu.
"Aku nggak tahu kenapa dia pendiam seperti itu, walau memang sih, banyak anak-anak yang seperti itu, tapi, aku benar-benar nggak bisa menahan perasaan yang aneh itu... Setiap kali aku melihatnya tertawa bersama kakaknya, rasanya... Agak gelisah..." Mata Rama menyipit, seakan dia kesakitan.
"Kau ingin memiliki kakak ya, Rama?" Cika tanpa sadar melontarkan pertanyaan itu begitu saja, tapi dia tidak menyesalinya.
"Nggak. Bukan begitu... Hanya saja aku bertanya-tanya... Kenapa aku harus hidup seperti ini sekarang."
Tangan Cika mengeras ketika mendengar perkataan Rama. Gadis itu menundukkan kepalanya dan menatap tangannya yang mengepal dibawah ambang sadarnya.
"Jika saja waktu itu aku nggak ngelakuin itu... Jika saja orang tuaku masih hidup... Mereka masih hidup... Dia masih... Hidup... Mungkin... Aku pasti bahagia." Rama berbisik.
Jujur, Cika merasa agak emosi sekarang. Hanya saja, apa-apaan maksud kata-kata anak lelaki itu? Kenapa itu kedengaran agak menjengkelkan?
Namun, Rama tiba-tiba tersenyum nyengir.
"Aku tahu kok, kalau kamu sekarang berpikir bahwa aku menjengkelkan, tapi ya, aku memang begitu."
Namun, tetap saja dia masih merasa seperti itu, karena sejak awal dia sama sekali tidak bisa mengetahui apa yang ada dalam kepala anak bermata berwarna-warni itu.
"Aku... Aku hanya nggak ngerti. Itu aja kok." Ujar Cika dengan wajah tanpa ekspresi apapun.
"Ya, gitulah." Rama mengangkat bahu lalu menegakkan badannya sedikit. "Maksudku... Sepertinya, rasanya mungkin akan sangat menyenangkan kalau ada orang yang memperhatikanmu, mengkhawatirkanmu, memberimu nasehat, atau memarahimu." Rama termenung sejenak sebelum mengatakan sesuatu untuk melengkapi perkataannya tadi. "Aku ingin itu." Tambahnya.
Kini, semuanya jadi semakin abstrak kalau dipikir-pikir.
Cika benar-benar kesulitan untuk memahami maksud Rama.
Namun, kalau semua kepingan-kepingan itu digabungkan, Cika mulai bisa melihat satu gambaran kecil yang mengganjal dipikirannya.
Apakah kebahagiaan yang dimaksud Rama itu adalah, perhatian?
Apakah dia ingin ada orang yang memperhatikannya? Seperti perhatian dari orang tua, kakak, atau seorang adik?
Apakah seperti itu?
"Aku... Aku masih nggak ngerti." Gadis kecil berambut pirang itu berbisik pelan pada dirinya sendiri sembari menunduk dengan tatapan kosong.
Kalau mau dibilang, Cika berani berkata bahwa hidup Rama benar-benar terlalu jauh dari kata biasa. Dia tidak tahu persis seperti apa masa lalu Rama, sampai-sampai anak itu akhirnya jadi seperti sekarang ini. Namun, ada satu masalah yang sempat tertinggal, anak itu dulunya adalah manusia.
Bagi Rakyat Dunia Lain, bagi Cika, masa lalu yang suram itu sudah menjadi rahasia umum, tapi bagi seorang anak manusia seperti Rama, itu adalah hal yang jelas tidak biasa.
Kenapa demikian? Jawabannya sederhana sekali, karena masa lalu itulah, yang membuat Rama kehilangan jati dirinya sebagai manusia.
Masa lalu itulah yang membuat Rama bisa melihat keajaiban.
Meski jawaban itu sederhana, tapi kenyataannya itu amatlah mengerikan.
Karena pada dasarnya, keberadaan yang seperti itu secara kasat mata adalah suatu tindak perlawanan terhadap takdir.
Satu pengkhianatan.
"Oh iya Cika, mana semua Batu Neraka dari hasil semalam?" Tanya Rama tiba-tiba.
"Eh? Ah, masih ada kok." Cika yang baru tersadar dari lamunannya buru-buru mengeluarkan kantong plastik hitam dari dalam tas sihir yang tergantung di sebelah kanan pinggangnya. "Buat apa emang?" Cika menyerahkan kantong itu pada Rama.
"Aku mau membuat kunci baru." Kata Rama sambil mengintip kepingan-kepingan permata hijau kecil yang ada di dalam dalam kantong itu.
"Hah? Maksudmu kunci yang seperti Pusaka milikmu itu?" Alis Cika seketika melengkung. Apa yang dikatakan Rama barusan itu terlalu jelas, jadi Cika tidak salah dengar, hanya saja ini sudah terlalu berlebihan.
"Yap." Rama merespon singkat sambil tersenyum kecil.
"Nah, ini, aku sudah dapat banyak." Gota tiba-tiba muncul di depan mereka sambil mengulurkan kantongan hitamnya yang penuh dengan bunga-bunga kepada Rama.
Rama membuka lebar-lebar mulut kantongan yang berisi kepingan kristal, lalu Gota memindahkan semua bunga-bunga dari kantong miliknya ke dalam kantong Rama.
Cika yang masih kebingungan cuma bisa terdiam sambil memperhatikan Apa yang akan dilakukan oleh Rama.
Ya, tadi dia memang tidak salah dengar, bukan?
Rama berkata kalau dia akan membuat sebuah kunci, dan apa yang dimaksudnya itu adalah sebuah Pusaka.
Namun, bagaimana?
"Tunggu sebentar? bagaimana caramu membuatnya?" Tanya Cika yang keningnya masih sangat berkerut.
"Begini doang kok." Setelah Gota selesai memindahkan bunga-bunganya, Rama pun mengikat kantong itu, baru kemudian dia mulai mengguncang kantong itu dengan perlahan selama beberapa saat.
Cika memasang matanya baik-baik, atau terlalu baik malah, tidak sekalipun ia berkedip semenjak Rama menutup kantong itu. Dia tidak mau melewatkan apapun saat ini, tidak sedetikpun. Tidak akan.
Tak sampai lima belas detik, Rama akhirnya berhenti mengguncang plastik itu, dan mulai membuka ikatannya.
Leher ketiga bocah itu spontan bergerak perlahan untuk mengintip ke dalam kantong itu, namun, semua bunga-bunga yang diukumpulkan Gota, dan semua kristal hijaunya sudah hilang entah kemana, tapi ada sesuatu di dasar kantong itu, sesuatu yang mengkilap. Akan tetapi, belum saja Cika sempat melihat wujud satu benda berkilau yang ada di situ, Rama tiba-tiba memasukkan tangannya dan menarik keluar benda mungil itu.
"Hah...?" Cika kesulitan untuk percaya dengan apa yang tengah dilihatnya.
Kunci perunggu dengan kepala yang berbentuk sepertu bunga kini ada dalam genggaman tangan Rama.
"Tapi... Bagaimana?" Walau nafas Cika seperti tertahan, tapi gadis kecil itu berusaha untuk tetap menenangkan dirinya.
"Yah, aku hanya membuatnya aja kok." Ujar Rama yang tengah sibuk mengibaskan tangannya yang memegang kunci untuk menghindari Gota yang berusaha merebutnya.
"Bukan begitu, Rama... Hanya saja setahuku, untuk membuat sebuah Pusaka, kau perlu kekuatan yang sangat besar loh... Kekuatan yang sebanding kayak bintang-bintang di langit." Jelas Cika yang tampak masih tak percaya.
"Mending nggak usah pikirin soal itu sih kalau kataku. Nih, kamu coba kuncinya." Rama mengulurkan kunci itu pada Cika, sampai-sampai membuat gadis itu tersentak kaget. Bukannya apa, hanya saja dia sama sekali tidak tahu apa-apa tentang benda yang ada di tangan Rama itu.
Akan tetapi, pada akhirnya Cika tetap mengambil kunci itu dari tangan Rama. Gadis itu memperhatikan setiap sisinya dengan seksama tanpa terkecuali.
Benda yang tak memiliki asal usul dan muasal.
"Jadi?" Tanya Rama lagi.
"Eh? Apanya?" Cika sempat tidak mengerti dengan maksud Rama, tapi gadis itu merasakan sesuatu yang lain.
Entah karena alasan apa, tangan Cika tiba-tiba bergerak menarik keluar pedang bajanya dari sarungnya, dan ketika gadis itu sadar, ia mendapati keberadaan sebuah lubang kunci kecil di bagian bawah bilah pedangnya.
"Hmm? Itu lubang kunci kan?" Tanya Gota yang juga melihatnya.
Sungguh, tak ada satupun kata-kata yang bisa digunakan untuk mengungkapkan apa yang sebenarnya sedang terjadi saat ini.
Nafas Cika serasa tertahan. Tadi tangannya benar-benar bergerak sendiri, dan dia pun merasa seakan-akan kalau dia sudah tahu tentang lubang kunci di pedangnya itu. Namun, kenyataannyam sama sekali tidak seperti itu.
Lubang kunci itu, dan perasaan itu, seharusnya tidak pernah ada.
"Ayo, coba kuncinya, Cika."
Jantung Cika berdegup kencang saat mendengar Gota yang penuh semangat, bahkan ia sebenarnya ingin cepat-cepat melihat kekuatan dari kunci itu, namun anehnya, sesuatu yang lain yang dirasakannya tadi malah menahannya untuk memasukkan kunci itu ke lubangnya. Munafik namanya kalau dia tidak merasa penasaran sedikitpun.
Tanpa alasan yang pasti, Cika tahu kalau sekarang bukan saatnya.
"Hmm... Nanti aja deh." Kata Cika sambil menyerahkan kembali kunci itu pada Rama.
"Oh? Kenapa emangnya?" Rama mengambil kunci dari tangan Cika dan memasukkannya ke dalam kantong celananya.
"Nanti ajalah pokoknya." Jawab Cika sambil tersenyum simpul.
"Yah, baiklah kalau begitu." Ujar Rama sembari bangkit dari bangku taman lalu ke tempat dimana ayunan berada.
Akan tetapi, bocah itu anehnya malah terdiam sekarang. Dia cuma berdiri persis di samping ayunan itu sambil memandang tempat duduknya dengan tatapan kosong.
Mau dilihat dari sisi manapun, Rama jelas bisa dianggap sebagai sosok yang menarik.
Bukan karena penampilannya, atau kekuatannya, bahkan keberadaannya, melainkan karena dia adalah Rama.
Hal ini sebenarnya sudah sering terlintas dalam benak Cika, namun entah kenapa baru sekarang ia sungguh-sungguh memikirkannya.
Anak yang tengah bengong memandangi ayunan itu, benar-benar sesuatu.