Bima langsung memasang wajah datar, hampir ke tatapan tajamnya. "Menurut lo, sifat gue yang kayak gimana yang mirip sama tuh bocah?" tanyanya sangat serius.
Angga diam mematung dan kembali mengingat, bahwa memang hampir tak ada kesamaan antara Andra dan Bima secara visual dan perilaku, sekalipun mereka saudara kandung.
"Tapi gue kan nggak bisa gitu aja nolak, Bim." Angga tampak bimbang.
Bima ikut terdiam dan membuat formulir tak kunjung dibagikan. Laras memanggil Angga dan memintanya untuk segera membagikan formulir pendaftaran tersebut. Hingga pada akhirnya, Angga membagikannya dan tetap memberikan satu lembar pada Andra.
"Nggak guna lo berdiri doang di sana," cerca Andra, ketika Angga memberikan satu lembar formulir padanya.
Angga melongo sejenak dan alisnya saling bertautan. "Nggak usah ikut organisasi yang menurut lo berisi orang nggak guna, deh," ujarnya geram, seraya menarik kertas formulir dari tangan Andra.
Andra melotot dan langsung berusaha menarik kembali kertas tersebut, tetapi Angga dengan sigap menjauhkannya dari anak berkulit putih itu. Luna menerima kertas yang seharusnya milik Andra, karena memang dari bangku samping, Angga membagikannya dari belakang.
Dari kejauhan Bima tersenyum puas melihat Andra yang tak diberikan formulir pendaftaran oleh Angga, ia benar-benar tak ingin adiknya mengikuti organisasi yang masih ia pegang. Sementara Laras ikut tersenyum melihat Bima yang tampak senang karena melihat adiknya. Laras mengira bahwa Bima tersenyum karena mungkin Andra akan ikut di keanggotaan OSIS dan bisa menjalankan tugas sebaik kakaknya.
'Keren banget pasti kalo adeknya bisa mimpin kayak Bima,' batin Laras.
Namun, dugaan Laras benar-benar sangat salah. Pasalnya Andra dan Bima adalah saudara kandung yang memiliki perbedaan yang sangat kentara, baik dari visual maupun mental.
"Ini, Kak," ujar seorang gadis dengan jaket hoodie abu-abu pada Laras.
Luna membuyarkan lamunan sejenak Laras. Ia mengangguk dan langsung menerima formulir pendaftaran yang telah Luna isi. Di waktu yang bersamaan, mulai banyak yang anak-anak kelas yang memberikan formulir tersebut. Namun, tak semuanya terisi karena memang tak semuanya ikut mendaftar.
Melihat orang-orang yang telah selesai mengisi formulirnya, Andra pun geram dan langsung berjalan ke depan dengan tatapan tajam pada Bima. Ketua OSIS yang ditatap tajam itu pun hanya berdiri dengan tenang, dan membalas tatapan itu dengan ekspresi yang sangat datar.
"Bang, gue mau masuk OSIS!" sentak Andra, tepat di hadapan sang kakak.
"Ya, masuk aja," jawab Bima dengan singkat.
"Bang Angga kagak mau bagi formulirnya." Andra mengadu.
"Berarti lo nggak bisa daftar."
"Terus?"
"Terus apanya?"
"Terus gimana gue daftarnya, Bang?" Andra semakin kesal dengan Bima.
"Ya, nggak ada peluang."
Mendengar jawaban yang tak sesuai keinginannya, Andra pun semakin geram dan langsung mengeluarkan ponselnya. Dia mencari sebuah kontak dan langsung mengetik sebuah pesan pada aplikasi chat. Setelah terkirim, ia pun memaparkan layar ponselnya di hadapan Bima. Anehnya, Bima langsung melotot dan hampir merebut ponsel tersebut dari Andra. Namun, dengan sigap Andra menariknya agar tak sampi direbut tangan Bima.
"Hapus nggak, pesan lo?" Bima terlihat ikut kesal.
"Kalo lo nggak daftarin gue di OSIS, gue bakal kirim juga ke bunda," ancam Andra.
Bima terdiam dan mulai berpikir. Pesan yang mengatakan bahwa Andra tak perlu dijemput karena hendak pulang bersama kawannya tersebut tidak terlalu ekstrim, tetapi kalimat bahwa kawannya membawa motor dan Bima yang menyuruhnya itu yang membuat Bima kebingungan. Tak berselang lama, Bima menatap Andra dengan dagu yang sedikit naik ke atas, membuat dahi Andra mengernyit sangat dalam.
"Ngapa, Lo?" tanya Andra keheranan.
"Kirim aja, bunda nggak bakal percaya sama lo," jawab Bima sangat enteng.
"Oke."
Andra kembali berkutat pada ponselnya. Anehnya, Bima yang telah mengatakan bahwa sang bunda tak akan mempercayainya, justru ikut gugup melihat sang adik yang tampak serius dengan ucapannya.
"Lo nggak bakal beneran kirim ke bunda, 'kan? Lo, kan, nggak boleh naik motor dulu, Ndra." Bima berujar pelan.
Sebagian anak-anak kelas tersebut masih bingung dalam mengisi formulirnya, mereka kebingungan memilih alasan yang cocok agar mereka dapat diterima di kepengurusan OSIS. Kericuhan Andra dan juga Bima, tak terlalu dipusingkan oleh anak-anak kelasnya. Sebagian besar mulai percaya dengan ucapan Luna, karena mereka melihat secara langsung interaksi Bima dan Andra. Sementara Laras hanya menatap mereka dengan alis yang saling bertautan.
"Nggak, kok." Jawaban Andra membuat Bima bernapas lega. "Gue kirim ke papa, sih," lanjutnya seraya menunjukkan layar ponselnya pada Bima.
Pupil Bima mengecil dan ia tercengang. "Gila ya, lo?!" sentaknya, membuat seisi kelas terfokus pada mereka. "Gue udah ngalah, ya, lo sekolah di sini. Jangan macem-macem sama gue!"
"Bodo amat, gue sekolah di sini juga karena mau ketemu Kak Laras, kok," jawab Andra dengan enteng, membuat Laras terkejut mendengarnya.
"Tarik pesan lo sebelum papa liat!" Bima menggertak, tapi Andra hanya menatapnya datar dan santai.
"Kasih gue formulir OSIS dan gue bakal tarik pesan ini." Andra menjauhkan tangan kirinya yang memegang ponsel, dan mendekatkan tangan kanannya untuk meminta formulir pendaftaran.
Bima mendesis kesal dan langsung menatap Angga yang juga ikut menatapnya dengan bengong. Kini Bima mulai sadar bahwa seisi kelas tengah memperhatikannya. Ia pun tampak canggung dibuatnya.
"Kamu mau masuk OSIS?" tanya Laras, menengahi keheningan sesaat di tengah canggungnya Bima dengan keadaan sekitar.
Andra kontan menoleh ke arah gadis tersebut dan mengangguk cepat. Laras pun meminta Angga mendekat, laki-laki kurus itu menurut dan langsung berjalan mendekat. Laras meminta selembar formulir padanya dan Angga langsung memberikan.
"Ini," ujar Laras sembari menyerahkan formulir pada Andra. "Kalo udah lolos seleksinya, ikut yang serius, ya. Jangan cuma numpang nama di organisasi," lanjutnya seraya tersenyum manis.
"Pasti, Yang," jawab Andra dengan datar dan mengangguk kaku.
Laras terkekeh canggung, seisi kelas mulai menahan tawanya, sementara Bima langsung menoyor kepala adiknya dengan cukup kuat.
"Yang pala kau, hah?!" geramnya.
"Sakit, Egok!" Andra mengerang kesakitan.
"U-udah, Bim." Laras menarik tangan Bima yang hendak kembali memukul Andra.
Sejenak Bima terdiam, dalam hati ia menyesal karena telah memukul adiknya walau tak begitu kencang. Beruntung Laras menahan lengannya agar tak kembali memukul Andra. Padahal ketika di rumah pun mereka sering kali saling pukul, meski memang tak begitu kuat pukulannya.
"Ini kesempatan kamu, ya. Kamu harus bisa lolos dan jadi yang terbaik." Laras sedikit memajukan tubuhnya mendekat ke Andra, tangan kanannya menutup sebelah wajah dan ia mulai berbisik, "Kukasih bocoran, nih. Alasan kamu mau masuk OSIS harus sangat menarik, agar kamu mudah lolosnya."
Andra mengangguk cepat dan langsung berbalik, berjalan kembali ke tempat duduknya. Anak-anak yang sempat bengong melihatnya pun mulai kembali berkutat pada kertas di hadapannya.
Andra mengeluarkan bolpoin dan langsung mengisi formulir dengan penuh semangat. Seolah kata-kata Laras tadi adalah penyemangat untuknya.
'Ini kesempatan buat ngedeketin kak Laras. Meskipun nantinya dia bakal jadi mantan OSIS pas gue baru masuk, tetep gue masih bisa tanya-tanya ke dia tentang struktural organisasi. Terus lama-lama kita jadi makin deket, terus kak Laras jatuh cinta sama gue, terus kita jadian dan harus rela LDR-an pas kak Laras udah lulus.' Andra memiliki bayangan yang sangat luar biasa dalam benaknya. 'Tapi nggak apa-apa. Abis kak Laras lulus kuliah, gue bakal lamar dia dengan romantis dan kita nikah. Ugh, indahnya dunia halu yang akan menjadi nyata.'
*****
Lamongan,
Senin, 11 Oktober 2021