Chereads / I Love You, Kak Laras! / Chapter 5 - Makan Malam

Chapter 5 - Makan Malam

Angga memarkirkan motornya di halaman depan rumah Bima. Mereka mulai turun dari motor dan berjalan memasuki rumah.

"Bim, bokap lu di rumah?" tanya Angga setengah berbisik.

"Kagak, dia lagi ada proyek di Surabaya." Bima membuka pintu dan mengucapkan salam. Namun, tak ada jawaban dari ucapannya tersebut.

Angga mengerutkan dahi dan melihat kesunyian rumah yang megah tersebut. Ia tetap berjalan mengikuti langkah Bima, dan dengan santainya melihat ke sana ke mari. Karena merasa aman dengan tidak adanya ayah Bima, Angga pun cukup luwes dan menganggap bahwa ia sedang berada di rumahnya sendiri.

Bima menaruh ranselnya pada sofa di ruang tamu. "Bunda! Angga numpang makan, nih!" teriak Bima dengan santainya.

"Eh, anj- Bima bolot! Nggak gitu juga kali, ah!" Angga mengusap wajahnya dengan kasar, kesal dengan ucapan kawan baiknya.

"Bunda!" Bima terus berteriak lantaran tak mendapat jawaban. "Keknya di dapur, deh," gumamnya, sembari mulai berjalan menuju dapur.

Bima tetap memanggil sang bunda, sementara Angga telah duduk santai di sofa depan dan menyenderkan kepalanya pada punggung sofa.

Mendekati dapur, Bima berhenti sejenak. Ia meremang, tubuhnya tampak sedikit gugup. Ketua panitia orientasi tersebut takut kalau bundanya benar-benar akan marah padanya. Begitu pula Andra yang berada dalam situasi tegang di dapur dengan sang bunda. Ia sedari tadi tak henti-henti mengecek ponselnya, menunggu balasan dari sang abang yang tak kunjung merespon.

"Si Bemo ke mana, sih? Lama banget pulang doang," gumamnya dengan mengetik papan layar ponsel.

"Ya, iya lah nggak pulang-pulang! Kan, motornya kamu bawa!" omel Nirina, mendengar gumaman sang putra bungsu.

"Duh, iya, Bunda. Tapi Bemo biasanya bareng bang Angga," jawab Andra lirih.

"Udah dibilangin manggil pake 'bang'! Nggak sopan kamu, ya, sama abangmu?!" Nirina meletakkan sendok dengan kencang, membuat meja makan sedikit bergetar.

Andra memejamkan mata kuat-kuat. Dalam hati ia mengutuk kakak laki-lakinya yang tak kunjung pulang, padahal hanya ia yang dapat menyelamatkan Andra dari situasi seperti ini.

"Bunda," panggil Bima lirih, setelah beberapa saat berperang dengan batinnya hanya untuk memanggil sang Bunda.

Nirina menoleh ke arah pintu dapur dan langsung berjalan cepat ke arah Bima. Ibu dengan tiga anak itu langsung memeriksa keadaan Bima, sekecil apa pun ia tak mau Bima terluka oleh putra bungsunya.

"Kamu nggak diapa-apain adekmu 'kan, Bang?" tanya Nirina dengan cepat, dan menggenggam kedua bahu Bima.

Anak laki-laki bertubuh besar itu menggeleng dan tersenyum. "Enggak diapa-apain, kok, Bunda," jawabnya.

"Udah Andra bilang 'kan, Bun, kalau Andra nggak ngapa-ngapain anak kesayangan Bunda?" Andra menghela napas berat setelah mengucapkannya.

Nirina mendengkus dan langsung menarik Bima untuk duduk di kursi makan.

"Ya, udah. Kita makan dulu, ya. Kamu cuci tangan dulu, deh, Bang," ajak sang Bunda.

Bima berhenti sejenak dan berkata kalau ia diantar oleh Angga, dan Angga saat ini tengah duduk di sofa ruang tamu.

"Ya udah, ajak ke sini, dong. Masa tamu dianggurin, sih." Nirina mulai menata kembali piring-piring dan menambah satu piring lagi.

"Iya, harusnya diapelin ya, Bun?" Andra menyahut dan langsung mendapat lirikan tajam dari Nirina. Tentu saja Andra langsung menunduk tak berkutik.

***

"Kurang ajar banget, Bima malah nanyain anak baru itu!" Laras tergesa-gesa masuk ke dalam rumahnya. "Padahal aku yang dibawa ini bisa aja dalam bahaya. Gimana kalo anak tadi ada niat buruk ke aku? Gimana kalo aku yang diculik? Terus dijadiin tumbal?"

Gadis berambut sebahu itu terus saja berjalan sembari menggerutu, hingga tak sadar ia melewati sang Mama dan Papa yang tengah duduk di ruang tamu.

"Nggak peka banget jadi cowok."

"Papa sama abang nggak peka?" sahut Adam, sang Abang, yang kebetulan lewat dari dapur.

"Loh? Abang di rumah?" Laras berhenti dan melihat Abangnya yang tengah membawa secangkir teh hangat. "Mana istri Bang Adam?"

"Malah nyariin yang lain, ini mama sama Papa ada di sini, loh." Sang Mama pun ikut menyahut.

Laras menoleh dan terkejut melihat Mama dan Papanya yang duduk manis melihatnya. Gadis berponi itu terkekeh dan berjalan mendekati sang Mama.

"Ada apa, sih, putri kesayangan mama? Kok, cemberut aja dari tadi? Sampek mama Papa dicuekin," tanya sang Mama dengan lembut, menerima uluran tangan Laras.

"Nggak apa-apa, kok, Ma," jawab Laras lirih.

"Halah, segala ngatain cowok nggak peka. Pasti ada apa-apa, nih?" Adam ikut duduk di dekat Papa.

"Bang Adam sendirian? Kak Chandra mana?" Alih-alih menjawab pertanyaan Adam, Laras justru bertanya hal lain.

Adam berdecih. "Malah ngalihin topik ni anak. Chandra nggak ikut ke sini."

"Ma, papa mau makan. Laper," ujar sang Papa semakin keluar dari topik seputar Laras.

Akhirnya, mereka berempat pun langsung menuju dapur dan makan bersama.

***

"Bunda, tambahin nasinya." Andra berujar manja.

"Kan, bisa ambil sendiri, Dek." Meskipun jawaban demikian yang Andra dapat, tetap saja sang Bunda mengambilkan nasi pada putra bungsunya.

Angga dan Bima tampak makan dengan tenang, sementara Andra makan dengan teramat sangat lahap. Sepertinya ia belum pernah makan selama berminggu-minggu, cara makannya cerminkan hal demikian.

"Tadi Bang Bima ke mana, dah? Kok, nggak langsung pulang?" Andra menyelakan bertanya di tengah kunyahannya pada makanan di mulut.

"Nungguin lo, bego!" jawab Bima lirih nan ketus.

"Dih! Terus kalo nungguin Andra, ngapain pulangnya bareng Bang Angga?"

"Ya, karena lo belum kembali lah," sahut Angga.

"Halah, Beruk! Mau-maunya lo nganterin abang gue?" Andra sangat santai mengatakannya, padahal sang Bunda masih di sampingnya.

'Anj- bisa-bisanya cowok seganteng gue dipanggil beruk?' batin Angga kesal.

"Udah jangan ngomong mulu, ih. Buru dihabisin," tegur sang Bunda.

Sejenak hening, karena Andra menyelesaikan makannya dengan cepat dan tenang. Lantas Nirina pun membereskannya dan membawa ke tempat pencuci piring. Namun, Bima menghentikannya dan berkata akan membawa piring-piring dan mencucinya.

"Ih, caper banget," cibir Andra lirih.

"Diem lo, Setan!" balas Bima lirih nan tajam, membuat Andra mendengkus pelan dan tak peduli.

"Udah, nggak usah, Sayang. Biar bunda aja." Nirina tak mau melihat pertengkaran lagi antara putra-putranya, hingga ia putuskan untuk ia saja yang mengurus piring kotor.

"Angga, lo nginep sini aja apa pulang?" tanya Bima, kembali duduk.

"Pulang aja deh, keknya. Lagian besok juga masih harus ngurus game buat peserta orientasi."

"Iya, pulang aja lo, Bang. Mak lu kagak bisa nutup kulkas noh." Lagi-lagi Andra berceloteh.

Bima menoleh cepat ke arah sang adik dan melotot tajam. "Gue nggak pernah, ya, ngajarin lo kasar kayak gini."

"Lah?" Andra menegakkan tubuhnya dan langsung tertawa terbahak-bahak. "Omongan lo kek bapak-bapak aje, Bim! Lagian sejak kapan lo ngajarin gue hal-hal positif?"

"Adek omongannya dijaga," sahut Nirina lirih nan tajam.

"Iya, Bun." Andra kontan diam dan mengecap, tak mau lagi melihat sang Bunda marah dan tak menghiraukannya lagi.

*****

Lamongan,

Sabtu, 04 September 2021