"Kamu ... nggak balik ke kelas, A-Andra?" tanya Laras lirih. 'Bener Andra nggak, sih, namanya?'
Andra menggeleng kuat. "Kakak mau ganti baju, nggak?"
"Hah?!"
Andra mengernyit dan kembali menanyakan hal yang sama.
"Ma-maksud kamu gimana?" Laras tampak kebingungan dengan ucapan Andra.
"Baju Kakak basah semua, loh. Masa nggak mau ganti? Biar aku ambilin ke loker Kakak, nggak apa-apa. Daripada Kak Laras masuk angin." Andra berujar dengan santainya.
'Gila ya, ni anak. Ya, kali aku ganti baju di sini. Mesum!' batin Laras mulai kesal sekaligus ketakutan.
Laras menggeleng dan tertawa hambar. Ia berkata kalau tak apa memakai baju olah raga tersebut, karena tak terlalu basah dan lokernya pun cukup jauh. Namun, Andra tetap bersikukuh untuk mengambilkan pakaian ganti untuk Laras, tetapi gadis berambut sebahu itu juga tetap pada pendiriannya untuk tak mau menerima tawaran Andra.
Mendadak bel berbunyi dan Andra justru membaringkan kepalanya di atas lipatan tangan pada tepian tempat tidur. Hal tersebut membuat Laras mengangkat alisnya dan kebingungan. Dalam hati ia ingin mengusir Andra, tapi tak tahu cara yang pas agar tak terkesan jahat.
'Duh, gimana nih?' Laras menggigit bibir bawahnya tak tenang.
"Kakak kalo butuh apa-apa bilang aja, Andra bakal jaga Kakak sampek Bima ke sini, deh," ujar Andra tanpa menoleh dan mengangkat kepala.
Laras diam sejenak, sampai ia menemukan satu cara yang menurutnya ampuh.
"Em ..., A-Andra," panggilnya lirih.
"Iya?" Kontan Andra mendongak antusias.
"Ternyata dingin banget bajuku yang basah ini, soalnya tadi ketumpahan minuman dingin." Laras berlagak memelas dengan suaranya yang lirih. Yang mana semakin membuat Andra tersenyum manis. "Lengket juga di badan. Em ..., bisa nggak, kamu suruh Bima ke sini buat ambil seragamku di loker?"
"Nah, kan, udah Andra bilangin." Andra berdecak dan langsung tersenyum setelahnya. "Andra aja, Kak, yang ambil. Bima kan lagi olah raga."
"J-jangan!" sentak Laras seketika. Namun, kembali ia tersenyum lebar agar Andra percaya pada skenario pengusiran yang ia buat. "Kamu kan, harus masuk kelas. Nanti nama kamu nggak ada di absen, loh, kalo kamu nggak di kelas."
Anak laki-laki itu diam sejenak. "Emang gitu, ya?" tanyanya yang memang tak mengerti.
"Iya. Jadi, anak baru tuh harus di kelas buat ngisi absen awal, kamu musti balik sekarang. Lagian udah bel, 'kan?"
"Jadi, Kak Laras minta panggilin Bima aja, nih?" Andra bertanya sembari mengangkat satu alisnya.
"Iya, biar dia ke sini dulu."
Andra menekuk alisnya tajam, kesal dengan jawaban Laras. "Tapi Bima cowok, loh, Kak."
"Hah?" Sejenak Laras melongo tak paham, tapi langsung mendapat ilham untuk menjawab Andra. "Di-dia ketua kelas! Kalau anak-anak lain nggak mungkin dapet izin buat ke mana-mana selama jam pelajaran olah raga."
"Tapi nanti dia jadi berduaan sama Kak Laras!" Andra tampak semakin kesal.
'Duh! Dia ini apaan banget, sih?' Laras semakin bingung dan terus bergulat dengan pikirannya sendiri.
"Biar aku panggilin temen cewek aja, ya, Kak! Lagian Kakak kan, lagi cidera. Ya, kali gurunya nggak ngebolehin temen Kakak buat dateng ke sini." Andra berujar sedikit ketus.
"Ju-justru itu! Kan, aku lagi sakit gini, anu ..., kakiku." Mendadak Laras kembali mendapat ide untuk menjawab. "Ntar kalo anak cewek, kan nggak kuat bantu aku jalan."
Andra kembali diam. Ia menatap Laras dengan tajam tanpa berujar sedikit pun. Gadis berponi itu pun semakin dibuat takut oleh gelagatnya. Namun, tak berselang lama Laras merintih kesakitan dan memegang kakinya, membuat Andra kontan menunduk dan ikut memegang kaki Laras.
"Aduh, Andra! Sakit! Cepet panggilin Bima aja, deh!" kebut Laras sembari menepis tangan Andra dari kakinya.
Andra mengangguk. "Iya! Aku panggilin dulu, deh!"
Dengan langkah cepatnya, Andra pergi meninggalkan ruang kesehatan. Laras mengembuskan napas panjang dan merasa lega, ia berharap tak akan kembali bertemu Andra setelah ini.
"Lagian si Bima bisa-bisanya percaya sama tuh anak baru." Laras menggerutu dan mendengkus kesal pada angin lalu. "Dia siapanya Bima, sih? Baru kali ini liat Bima se-over itu merhatiin anak cowok. Mana kemarin pas pulang yang ditanyain malah tuh anak, lagi."
Laras bergeming, dalam benaknya muncul banyak pertanyaan mengenai mengapa Bima bersikap baik hati pada Andra? Juga tentang siapa Andra bagi Bima. Hingga terbesit pikiran bahwa Bima berbelok menyukai sesama jenis.
"Hih!" Laras menepis besitan aneh tersebut. "Nggak mungkin Bima belok! Dia aja cool gitu, berkarisma. Ya, kali belok malah demen sama sesamanya."
Gadis itu bergidik ngeri dan mulai menutup matanya, berharap bisa sedikit beristirahat.
***
Andra berlari menuju lapangan utama, napasnya tersenggal-senggal karena jaraknya memang lumayan jauh. Ia melihat anak-anak kelas 12 IPA-2 yang tengah berolah raga, dan langsung melihat Bima yang sedang bersama Angga. Ia pun mempercepat langkahnya dan mengatur napasnya hingga terdengar aneh.
"Bemo!!" teriak Andra terdengar payah. Beberapa anak kelas 12 pun melihatnya dan terheran seketika.
"Panjang umur, lu," ucap Angga setelah Andra sampai di depannya.
Bima menatap sang adik dengan wajah datar dan bertanya, "Kenapa?"
"Itu ... hosh ... kak Laras ... hosh." Andra terengah-engah dan langsung ambruk ke paving lapangan dengan posisi telentang.
Bima yang melihatnya pun kontan terduduk dan panik. "Lo kenapa, Ndra?!" tanyanya khawatir.
Andra masih terengah-engah dan mencoba mengatur napasnya sebaik mungkin. Beberapa kawan Bima pun menanyakan hal yang sama dari kejauhan, tapi Bima tak memedulikannya dan terus menggoyang tubuh Andra yang terpejam dengan napas tak karuan.
'Dia kenapa, nying? Sakaratul maut?' tanya Angga dalam hati, ia pun ikut bingung melihat keadaan adik dari kawan baiknya tersebut.
"Ndra! Lu kenapa? Bangun, nggak?!" sentak Bima dengan mata yang mulai memerah, juga urat-urat tangan yang mulai muncul.
Beberapa orang kebingungan dengan Bima yang mendadak marah-marah. Tak pernah mereka melihat si ketua kelas bersikap berlebihan hanya karena mengkhawatirkan orang lain. Mungkin karena mereka tak tahu kalau Andra bukanlah orang lain bagi Bima.
Andra tersenyum dengan napasnya yang masih menderu. "Santai kali, Bim! Gue cuman capek lari, kok. Gue masih sadar."
Anak laki-laki itu membuka mata, tersenyum dan menepuk lengan Bima dengan lembut, ia tak mau sang abang merasa trauma akan hal yang dulu menimpanya.
Bima terdiam sejenak, sebelum akhirnya Andra bangun dan merapikan rambutnya dengan asal-asalan.
"Ambilin seragam kak Laras, kasian bajunya basah." Andra berujar dengan santainya.
"Gue tabok juga, lo!" Bima menggertakkan giginya saking kesal pada sang adik yang ia kira kenapa-kenapa.
Andra justru terkekeh tak tahu malu, dan menunjukkan jajaran giginya yang terdapat gingsul di bagian kiri atas.
Bima menghela napas lega. Sejenak perasaannya tercampur aduk, seolah ia melihat Andra dalam keadaan yang membuatnya sangat takut kehilangan seseorang yang berharga. Namun, dengan cepat ia merasa semua baik-baik saja setelah sifat tengil Andra kembali muncul.
"Tapi gue peringatin ke elu, ya, Bim! Jangan pernah berpikir untuk merebut kak Laras dari gue!" Mendadak Andra berujar sangat serius hingga membuat Bima menekuk alisnya tajam.
"Paan, sih? Gue nggak demen modelan kek Laras." Bima menjawab lirih dan langsung berdiri. "Balik sono ke kelas! Udah bel, juga. Lu masih anak baru, jan bikin masalah!" lanjutnya mengomel sembari berjalan pergi menuju guru olah raga.
"Heh! Modelan kak Laras lo bilang?! Dia itu perfect, woy!" Andra yang tak terima pun ikut berdiri dan meneriaki punggung Bima yang kian menjauh.
"Terserah, deh," jawab Bima lirih tak peduli.
Andra menekuk alisnya tajam, kesal terhadap ucapan sang Abang yang menurutnya sangat tidak benar. Lalu, ia pun mengingat ucapan terakhir Bima sebelum pergi.
"Berarti kalo gue udah member lama sekolah, boleh dong bikin masalah?" Andra bertanya-tanya, mulutnya tersenyum dan pikirannya mulai ke mana-mana.
*****
Lamongan,
Sabtu, 11 September 2021