"Nih." Bima menyodorkan kantung plastik berisi banyak susu dengan banyak varian rasa.
Laras mendongak dari yang sebelumnya menunduk melihat layar ponsel. Matanya bergantian menatap kantung plastik juga wajah Bima. Alisnya menyatu dan ia bertanya, "Apa ini?"
"Susu," jawab Bima dengan singkat.
Gadis berambut pendek itu menerima susu dan menaruhnya di meja. "Iya, maksudnya kamu ngasih ini ke aku?"
"Buat minum." Bima mulai duduk di bangkunya, tepatnya di bangku paling depan, tepat di depan bangku Laras.
"Iya, aku tahu, Bima!" Laras tampak sedikit geram. "Maksud aku, tuh, kamu kok tumben-tumbenan beliin aku minum kayak gini."
Bima menoleh ke belakang dan duduk menghadap Laras. Alisnya terangkat dan ia bertanya apakah Laras tak suka dengan minuman tersebut.
"Harusnya gue tanya lo dulu, sih, tapi udah terlanjur begini," gumam Bima setelah bertanya.
Laras menahan senyumnya agar tak terlihat jelas. Ia lantas berkata kalau sebenarnya ia tak suka dengan susu, padahal susu adalah minuman yang paling ia suka. Gadis itu hanya ingin melihat reaksi Bima. Dalam hatinya mungkin anak laki-laki berkulit kecoklatan itu akan merasa bersalah, dan meminta maaf.
'Pasti gemusin banget kalo Bima kayak gitu,' batin Laras mengharapkan apa yang ia bayangkan.
"Ya udah, kalo gitu gue beliin yang baru, deh. Lo sukanya apa?" Bima bertanya dengan nada datarnya.
Laras tampak tertawa ringan, meskipun tampak hambar dan terpaksa. 'Kok, dia nggak minta maaf, sih? Terus ini beliin ginian biar apa, coba? Oh, pasti dia tau kalo sebenernya aku suka banget sama susu. Kali aja dia sering liat aku minum ini di kantin atau di kelas.'
"E-enggak! Bercanda kok, Bim, bercanda. Aku suka banget sama susu, kok. Kamu tahu dari mana aku suka susu?" tanya Laras, mencoba mencari jawaban yang ia inginkan.
"Oh, bagus, deh. Nebak aja, sih." Bima kembali menghadap ke depan dan mulai mengambil ponselnya dari dalam saku.
"O- oh, gitu. Makasih banget, ya, buat susunya."
Bima mengangguk dan kembali menghadap ke depan, mulai kembali fokus pada bukunya.
Laras mulai diam dan membuka plastik perlahan, ia mengambil satu susu strawberry dan memasukkan sedotan. Lantas ia meminumnya tanpa berkata apa pun. Dalam hati ia kesal tak menemukan jawaban yang inginkan dari Bima, tapi ia dengan cepat menepis perasaan kesalnya. Walau tak mendapat jawaban yang ia harapkan, tetapi Laras tetap senang mendapat hadiah minuman susu dari Bima. Terlebih kalimat yang Bima ucapkan.
'Iya, sih. Bima akhir-akhir ini kalo ngomong suka panjang-panjang kalimatnya. Gitu aja aku udah syukur.'
"Oh, iya, Ras. Itu semua dari si Andra betewe." Bima berbalik sejenak dan hanya untuk mengatakan hal tersebut.
Laras melongo dan menaruh kotak susu yang telah ia minum setengahnya. "Andra anak kelas 10 yang kemaren itu, Bim?" tanyanya memastikan.
Bima mengangguk tanpa menoleh.
"Lah kok, dari dia, sih? Aku kira dari kamu," ujar Laras terdengar kecewa dengan setengah membentak.
"Ya, emang dari dia. Kan, tadi lo nyuruh dia manggil gue, nah dia minta gue temenin lo." Lagi-lagi Bima menjawab tanpa menoleh ke belakang. "Sekalian nyuruh beliin minum buat lo katanya."
'Aku kira dari Bima sendiri,' batin Laras tampak kesal.
"Ya, udah, bilangin makasih buat dia," ujar Laras lirih dan menjauhkan kotak susu yang telah ia buka darinya.
Bima terdiam sejenak dan mulai menoleh ke belakang, membuat Laras gugup karena anak laki-laki itu yang langsung menatap Laras, tepat pada netranya. Gadis berponi itu meneguk saliva dengan berat, dan mulai tersenyum kaku.
"A-ada apa, Bim?" tanya Laras gugup.
"Sebenernya gue malu mau ngomongnya, tapi gue nggak bisa sembunyiin ini." Bima mengatakannya dengan wajah tak berekspresi.
Laras menaikkan kedua alisnya dan tersenyum tipis. Ketahuilah, di balik senyumnya yang tipis, ada perasaan berdebar yang dalam hatinya. Seolah ia akan meledak saat ini juga. Bahkan wajahnya tampak merona dan ia mulai menarik anak rambutnya ke belakang telinga.
"Ada apa, Bim? K-kok, kayaknya serius banget gini." Laras membuka suara.
"Itu ...." Bima menggeser kursinya agar menghadap ke samping, hingga ia dengan leluasa menghadap ke belakang. "Sebenernya, gue mau ...."
*****
Andra memasukkan ponsel ke saku dan melirik tajam gadis di hadapannya. Sorotan tajam itu terbalaskan, gadis yang tengah ia lirik pun membalikkan badan dan ikut meliriknya balik.
"Apa, Lo?" tanya Luna sinis.
"Lo yang apa, Bego! Segala bilang gue mau jadi ketua kelas," balas Andra dan langsung mengoceh. "Gila ya, Lo! Bocil banget emang."
"Ya elah, gitu doang, juga." Luna membuang muka dengan malas. "Gue bocil, lu juga bocil dong, Ege!"
"Ya, kagak lah!"
"Mana bisa?" Luna tampak tak terima.
"Gue telat satu tahun sekolahnya." Andra menggebrak bangkunya sendiri.
Luna terdiam sejenak, ia lantas paham dengan maksud Andra. Itu berarti harusnya Andra saat ini berada di kelas 11, namun justru masih di kelas 10 karena telat satu tahun.
Gadis berambut sebahu itu mendelik tajam, semakin tampilkan wajah aneh di depan Andra. Tentu hal itu membuat Andra merasa risih dan kembali berdiri tegak, menarik tangannya dari bangku dan bergidik ngeri. Tak mau berlama-lama dalam keadaan tersebut, Andra pun bergegas melangkah pergi menjauhi Luna.
"Udah tua malah bangga, bukannya malu malah pamer ketuaannya," gumam Luna melihat punggung Andra yang kian menjauh.
Anak laki-laki berkulit putih tersebut terus melenggang pergi, meninggalkan kelasnya. Dengan perasaan riang dan tak sabar, ia menuju ke kantin. Namun, belum sampai di kantin, ia justru mendapati sebuah panggilan masuk ke ponselnya.
Dengan kesal Andra berdecak. Ditekannya tombol hijau di layar dan mengangkat telpon dari seseorang di seberang.
"Halo?!" sapa Andra dengan menyentak.
"Lo di mana?" tanya orang di seberang telpon.
"Mau ke kantin," jawab Andra dengan judes. "Napa, sik? Demen banget nyariin gue."
"Gue tabok lo pergi ke kantin sendirian! Tungguin gue!"
"Nggak mauk kalo nggak bareng kak Laras!"
Andra melihat tiang di belakangnya dan mulai menyender padanya. Dengan senyum liciknya ia mengancam orang di seberang telpon agar mengajak Laras, untuk ikut serta ke kantin.
"Dia kan kakinya lagi sakit, Ndra! Nggak usah aneh-aneh, deh!"
"Ya, udah. Nggak usah cariin gue, gue nggak mau bilang kalo gue mau makan mie ayam super pedes di kantin sekolah lo yang terkenal itu." Andra tampak mendelik, padahal si penelpon pun tak akan bisa melihat tampang anehnya.
"Itu lo udah bilang, Egok! Jangan makan yang aneh-aneh dulu, deh!" sentak Bima di seberang telpon.
"Tapi gue mau mie ayam pedes, Bim!"
"Jangan! Nanti gue beliin roti aj-"
Tut!
"Bawel banget jadi abang, dasar temennya beruk!"
Andra memutus panggilan, membuat ucapan Bima terpotong setelahnya. Ia pun mulai berdiri tegak dari yang sebelumnya menyender tiang. Hendak melangkah, namun terhenti karena seseorang.
"Ini." Seseorang menghadang jalan Andra dengan wajah menunduk.
*****
Lamongan,
Senin, 20 September 2021