"Ini." Seseorang menghadang jalan Andra dengan wajah menunduk.
Andra terkejut dan membuka matanya lebar-lebar. Dilihatnya kembali postur tubuh juga gaya rambut gadis di depannya. Tak salah lagi, ia sangat yakin kalau yang di depannya ialah Laras.
"Kak Laras?" Andra tersenyum sangat lebar.
Laras mendongak dan tersenyum manis. Kembali disodorkannya kantung plastik yang ia pegang pada Andra.
"Ini sebagai ucapan makasihku buat minuman yang kamu kasih," ucap Laras tersenyum sangat manis. "Sama makasih juga karena udah dibantu ke UKS, dan nemenin aku di sana tadi."
Andra terlena, ia terperangah pada sikap manis gadis di hadapannya. Kemarin-kemarin Laras masih tampak takut padanya, bahkan tadi pagi masih tampak mau menghindarinya, tapi sekarang justru bersikap semanis ini.
Diterimanya kantung plastik tersebut dengan perasaan senang. Lantas ia lihat isinya, sebuah botol air mineral dan dua buah roti selai cokelat. Andra kembali mengembangkan senyumannya dan menatap Laras yang masih tersenyum manis.
"Makasih, Kak." Seketika senyum Andra pudar, mengingat baru saja Bima mengatakan padanya kalau kaki Laras masih sakit. "Kakak nggak apa-apa? Kaki Kak Laras, kan, masih sakit. Kok, jalan sampek sini, sih?" tanyanya menggebu-gebu.
Laras menggeleng dan berkata ia baik-baik saja. Lalu, gadis berambut sebahu itu pamit pergi dan berjalan meninggalkan Andra. Namun, tampak dari langkahnya yang cukup sulit dan sedikit terseok-seok, ia cukup kesulitan. Andra yang melihatnya pun menekuk alis dalam-dalam dan berdecak kesal. Kesal pada dirinya sendiri.
Dengan cepat Andra menghampiri Laras yang masih kesulitan berjalan. Ditariknya tangan kanan Laras dan ia bopong untuk dibantunya berjalan.
"Masih susah gini katanya udah nggak apa-apa. Andra bantu aja, ya," ujar Andra dengan lembut.
Laras menggeleng cepat dan menolak tawaran dari Andra. "Kamu ke kelas aja, aku bisa balik sendiri, kok."
"Bisa sendiri gimana? Ini Kakak aja jalannya pincang-pincang, loh." Andra masih berusaha menuntun Laras berjalan.
Laras diam dan hanya bisa menurut, karena memang kakinya masih belum baik-baik saja. Ia mulai berjalan dibantu Andra yang membopong dirinya.
"Heh, Beruk!" Teriakan itu berhasil membuat seisi koridor gedung barat menoleh ke si empunya suara. Tak terkecuali Laras dan juga Andra.
"Bima," panggil Laras dengan senyum manisnya.
"Udah dibilangin kaki Laras masih sakit, masih aja lo bawa ke sini?" Bima tampak berang Andra.
"Enak aja! Kak Laras tuh dateng ke sini sendiri, mau ngasih ini, nih. Roti buat gue. Iri 'kan, Lo?" Andra menenteng kantung kreseknya ke depan.
Bima mendelik dan memperhatikan kantung kresek yang Andra bawa. Isinya hanya dua buah roti dan air mineral, tak jadi masalah selama itu bukan makanan pedas. Tadinya Bima berpikir Laras akan memberikan makanan sembarangan pada Andra, tapi karena makanannya hanya roti tak akan jadi masalah besar.
Andra mulai melanjutkan melangkah, ia memapah tubuh Laras yang sulit berjalan. Bima yang melihatnya pun hendak membantu Laras, tetapi Andra melarangnya. Lebih baik Bima pergi ke kantin dan makan siang katanya, padahal Andra hanya tak mau Bima mengganggu waktunya bersama Laras.
"Aku mau ke kantin. Bima aku ikut kamu aja, ya," ujar Laras menghentikan langkahnya.
"Biar Andra anter Kakak aja. Andra bisa, kok, anter Kak Laras sampek kantin." Andra menghalangi niat Laras.
"N-nggak apa-apa, Ndra. Nanti kalo aku sama Bima, kan, baliknya bisa bareng," tolak Laras dengan hati-hati.
"Ya udah, ayok." Bima berbalik dan mulai melangkah.
Andra menarik tangan Bima dengan kuat. "Ayok-ayok doang, Lo! Pegangin nih Kak Larasnya!" sentaknya pada sang abang.
Laras terkekeh geli melihat keduanya, yang mana hal itu membuat Andra menoleh dan mematung seketika. Seolah dunianya berhenti pada tawa Laras, seolah yang di hadapannya hanya wajah Laras yang tengah tertawa gembira. Tak pernah Andra sangka kalau Laras akan melunak secepat ini. Bahkan belum terhitung satu bulan Andra bersekolah di sana, dan Laras sudah memperlihatkan keterbukaannya pada Andra.
Bima menepis tangan Andra dengan kasar, membuyarkan lamunan indah Andra pada senyum Laras.
"Terus gimana? Gue gendong, gitu, Larasnya?" Bima menaikkan satu alisnya.
"Eh? Nggak per-"
"Ya, kagak lah, Dongok! Gue aja yang gendong!" sahut Andra dengan cepat memotong ucapan Laras yang hendak menolak.
Laras menatap Bima dengan intens. Dalam hati ia berpikir bagaimana bisa Bima bersikap sampai begini pada Andra? Padahal Bima yang dikenal banyak teman-temannya adalah sebagai pribadi yang tak terlalu suka banyak bicara, dingin pada orang baru, dan bahkan sangat sinis pada orang menurutnya terlalu menjadi beban untuk dirinya.
'Bener-bener sesayang itu, ya, sama adeknya sendiri?' Laras bertanya-tanya dalam hati.
Melihat bagaimana Bima dan Andra bertengkar, Laras jadi teringat saat tadi Bima menjelaskan bahwa Andra adalah adik kandungnya. Tak pernah ia sangka bahwa laki-laki sedingin dan secuek Bima, justru sangat akrab dengan saudaranya.
Ingatan Laras kembali berputar pada pagi tadi, di mana Bima mengatakan hal yang sebenarnya pada ia.
"A-ada apa, Bim?" tanya Laras gugup.
"Sebenernya gue malu mau ngomongnya, tapi gue nggak bisa sembunyiin ini." Bima mengatakannya dengan wajah tak berekspresi.
Laras menaikkan kedua alisnya dan tersenyum tipis. Ketahuilah, di balik senyumnya yang tipis, ada perasaan berdebar yang dalam hatinya. Seolah ia akan meledak saat ini juga. Bahkan wajahnya tampak merona dan ia mulai menarik anak rambutnya ke belakang telinga.
"Ada apa, Bim? K-kok, kayaknya serius banget gini." Laras membuka suara.
"Itu ...." Bima menggeser kursinya agar menghadap ke samping, hingga ia dengan leluasa menghadap ke belakang. "Sebenernya, gue mau ...."
'Bima mau nembak?' batin Laras dan pembaca sekalian.
"Gue mau bilang kalau Andra anak 10 itu adek gue." Bima mengusap wajahnya dengan sangat kasar, dan langsung menarik wajahnya ke bawah dan ia tutupi dengan tangan.
"Hah?" Laras tampak terkejut.
"Gue tau tingkahnya emang malu-maluin banget, tapi gue nggak mau ngelak kalo dia emang adek gue sendiri." Bima mendongak dan melirik ke arah Laras.
'Gue kira mau nembak, nggak taunya mau ngasih tau kalo anak itu adek dia,' batin Laras merasa kecewa. 'Tapi, ya ... agak mengejutkan juga, sih. Muka mereka aja beda jauh. Apa jangan-jangan si Andra-Andra itu anak pungut kali, ya?'
"Kalo lo keganggu sama tingkahnya, lo bilang ke gue langsung aja, Ras. Gue nggak mau dia gangguin lo, soalnya gue tahu dia tuh ambis banget sama sesuatu."
Laras tersenyum hambar, karena masih sedikit shock dengan hal tersebut. Namun, ia tetap mengangguk walau kaku.
Ketika jam istirahat tiba, Bima langsung keluar kelas dengan terburu-buru. Laras yang memang kakinya masih sedikit sakit, pun mulai berjalan perlahan dan menuntun diri bergantung pada dinding. Ia melihat Bima yang terlihat memasuki toilet. Dalam hatinya,Laras berpikir inilah kesempatannya untuk membalas kebaikan Andra.
Laras berjalan tertatih dan berpikir keras. Ia berusaha mengingat makanan yang mungkin saja pernah Bima klaim sebagai makanan favorit, tetapi hasilnya nihil. Laras tak dapat mengingat apa pun mengenai makanan favorit Bima, yang menurutnya mungkin saja akan disukai oleh Andra juga.
"Gue tabok lo pergi ke kantin sendirian! Tungguin gue!"
Laras menatap punggung Bima yang tengah berdiri di depan toilet. Anak laki-laki itu terlihat kesal, dan Laras yakin kalau itu pasti ulah Andra. Tak pernah sekalipun Laras melihat Bima yang bisa berekspresi kesal hingga teriak hanya karena orang lain.
"Dia kan kakinya lagi sakit, Ndra! Nggak usah aneh-aneh, deh!"
Laras yang berjalan kian mendekat pun agak kaget, mendengar apa yang Bima katakan pada orang di seberang telpon. Pipinya merona dan ia mulai menunduk, karena yakin bahwa yang Bima bicarakan adalah dirinya.
"Itu lo udah bilang, Egok! Jangan makan yang aneh-aneh dulu, deh!" sentak Bima pada orang di seberang telpon, dan berhasil mengejutkan Laras.
"Jangan! Nanti gue beliin roti aj-" Bima terlihat melepas ponsel dan menatap layarnya. "Anak gila! Berani banget matiin telpon gue!"
Melihat tingkah Bima yang tak biasanya justru membuat Laras merasa senang. Sampai-sampai gadis berponi itu terkekeh oleh tingkah Bima.
"Bi-"
"Gue musti ketemu pak Adnan sekarang, nih!" Bima langsung mengambil langkah seribu, dan tak mendengar Laras yang memanggilnya.
"Eh, loh? Kok, langsung cabut aja, sih?" Laras mendesah kesal. "Tadi dia bilang mau beliin adeknya roti, 'kan? Kubeliin itu aja kali, ya?"
*****
Lamongan,
Kamis, 23 September 2021