Chereads / I Love You, Kak Laras! / Chapter 6 - Upaya Mendekati Laras

Chapter 6 - Upaya Mendekati Laras

Hari orientasi berjalan mulus dan tanpa gangguan dari Andra. Anak laki-laki tersebut telah mendapat teguran keras dari sang bunda, sehingga ia tak berani lagi berulah selama masa orientasi.

"Ingat, ya! Kalau kamu macem-macem lagi selama MOS, bunda bakal cariin guru les pribadi buat kamu. Biar nggak usah sekolah sekalian," ujar Nirina dengan tegas.

"Iya, Bunda. Andra nggak pernah macem-macem, kok," jawab Andra lirih dengan menunduk.

"Apanya yang nggak macem-macem? Itu Abang kamu iket di kelas, kamu kurung, kamu tinggalin. Itu yang namanya nggak macem-macem?" Nirina sedikit menaikkan nada suaranya.

Andra melengos dan menggaruk tengkuk lehernya yang tak gatal. Pangkal alisnya naik dan ia berkata, "Andra cuma ajak Bima main aja kok, Bun. Dia juga seneng kok, karena Andra kasih lihat video penculikan yang sebenernya. Biar dia nggak salah paham gitu."

Nirina melongo dengan mulut setengah menganga. Dalam hati ia membatin, mengapa putra bungsunya seperti ini? Padahal ia dan suaminya normal-normal saja. Nirina bahkan menganggap Andra memiliki sedikit keunikan juga keanehan dalam dirinya.

'Agak saiko ni anak bontot,' batin Nirina keheranan. "Pokoknya kamu jangan aneh-aneh lagi! Jangan ganggu bang Bima, jangan susahin dia!"

"Iya, Bunda," jawab Andra lirih dan terdengar pasrah.

Andra berjalan tegak melewati koridor gedung barat, gedungnya siswa-siswi kelas 10. Dengan lagak sok kerennya, Andra berjalan melewati pusat bahasa dan juga perpustakaan. Beberapa orang memperhatikannya dengan tatapan aneh, tapi anak laki-laki itu justru merasa senang dengan tatapan itu.

"Pasti gue bakal se-famous Bima, nih!" gumamnya, tetap berjalan menuju gedung timur, gedungnya siswa-siswi kelas 12.

"Dih, apaan sih orang itu? Bajunya keluar-keluar," bisik seorang gadis berkacamata pada temannya yang mungil dan berambut pendek nan berponi.

Segerombolan anak-anak baru tengah berkerumun, berkamuflase dengan sekitar dan mencari seseorang yang bisa disebut 'teman'.

Mereka berkumpul 4 orang, dan gadis berponi tersebut hanya diam dengan menatap punggung Andra yang kian menjauh. Mendadak matanya terpaku dan lidahnya kelu, ia membisu dan tak berkedip sampai punggung Andra menghilang pada belokan gedung sekolah berleter S tersebut.

"Padahal masih kelas 10, udah awut-awutan aja penampilannya." Kembali gadis berkacamata itu berujar pada kawannya.

'Dia yang kemarin dorong kepala gue, 'kan?' batin si gadis berponi, mengingat-ingat kejadian orientasi hari pertama.

"Eh, katanya dia yang kemarin ditarik sama ketua panitia, loh," sahut kawannya yang lain.

"Iya, dia anak yang nembak senior di depan semua panitia itu, 'kan?" sahut lagi yang lain.

"Iya, pas acara belum mulai."

"Ih, nggak tau malu banget. Dia kelas 10 berapa?" Gadis dengan bando biru itu menyahut.

"Nggak tau, tapi bukan kelas kita keknya." Gadis dengan jam tangan abu-abu ikut menyahut.

"Dia anak kelas gue," sahut gadis berponi bernama Luna.

"Beneran?"

"Kayaknya, sih. Gue juga belum terlalu kenal anak-anak kelas gue."

***

"Kak Laras!" teriak Andra di daun pintu kelas 12 IPA-1.

Semua anak yang telah berada kelas tersebut pun spontan menoleh ke arah Andra berada. Anak laki-laki itu dengan tak tahu malunya tetap menatap isi kelas, dan mengelilinginya dengan pandangan. Namun, tak ia jumpai sosok Laras di dalamnya.

"Kak Laras mana?" tanya Andra dengan ringannya.

"Kinara Larasati?" tanya seorang siswa perempuan ber-sweater pink yang duduk di dekat pintu.

Andra tampak berpikir. "I ... ya, kali. Gue juga kagak tau nama lengkapnya siapa," jawabnya ragu-ragu.

"Laras dia, bukan?" Anak yang duduk di samping gadis ber-sweater pink menyodorkan layar ponselnya, menunjukkan gambar salah satu anak kelasnya yang bernama Laras.

Andra memajukan wajah dan mendelik, memfokuskan matanya pada foto Laras yang dituju. Tak lama kemudian ia menggeleng kuat dan menarik kembali lehernya.

"Bukan! Siapa itu?" tanyanya sedikit menyentak.

Gadis ber-sweater pink pun mengangguk dan mulai paham, begitu pula kawan di sampingnya yang mengantongi kembali ponselnya.

"Berarti Kinara, tuh. Dia anak kelas sebelah, kelasnya Bima," ujar gadis tersebut.

Angga mengangguk dan tersenyum cerah. "Thank's, ya," ujarnya, langsung keluar dan menuju kelas sang Abang.

"Siapa, ya?" Gadis sweater pink terlihat penasaran. "Cakep juga."

"Keknya anak baru, deh. Nggak pernah liat. Dulu SMP sini nggak, sih?" sahut teman di sampingnya.

"Enggak, kalo SMP sini mah pasti udah terkenal tuh anak. Cakep gitu."

Memang benar yayasan SMA yang mereka tempati merupakan yayasan bersama. Terdapat sekolah jenjang menengah pertama, juga menegah ke atas. Gedung bagian leter S merupakan gedung SMA, sementara yang berleter I merupakan gedung SMP. Tak jarang siswa dari SMP yayasan tersebut terkenal hingga di kalangan anak-anak SMA. Selain karena gerbang sekolah yang menjadi satu, juga karena seringnya pengadaan acara besar bersama satu yayasan.

"Iya, mana putih banget lagi kulitnya. Insecure gue yang kusem ini," jawab teman si gadis sweater pink.

Sementara anak-anak kelas 12 IPA-1 telah kembali pada kegiatannya masing-masing, Andra telah sampai di kediaman Laras yang ia cari. Bahkan Andra menemukan tas Bima tengah menggantung di bangku paling depan. Matanya melongo dan mulutnya tampak miring-miring. Dalam hati ia meledek sang Abang yang rupanya tampak keren seperti bintang, juga tampak rajin seperti anak yang pasti disukai oleh guru-guru.

"Iya, sih. Tadi aja anak kelas sebelah manggilnya Bima, pasti tuh anak cukup pemes lah," gumamnya seraya memasuki kelas dengan tak tahu malu.

Kelas 12 IPA-2 tampak lengang dan sepi, hanya ada beberapa anak saja yang terlihat sibuk dengan bukunya masing-masing. Andra mengernyit, tak tahu di mana bangku Laras dan melihat sosoknya sedikitpun.

Anak laki-laki berkulit putih itu justru duduk di bangku Bima dan diam menatap papan. Matanya sayu meredup, ia mulai menopang dagu dengan tangan dan mengantuk.

"Peloran banget jadi anak," ujar seseorang mengejutkan Andra dari kantuknya.

Andra mengangkat wajah dan mendongak, dilihatnya Bima yang telah memakai seragam olah raga tengah menatapnya datar. Bukannya berdiri, Andra justru tersenyum dan cengengesan.

"Eh, si Bemo," ujarnya membenarkan duduk agar lebih nyaman. "Kak Laras mana, Bim? Gue mau ketemu dia, dong! Kangen banget, gilak!" lanjutnya begitu drama.

Bima menghela napas panjang dan menggeleng pelan. Ia tak langsung menggubris sang adik dan hanya memandang pada beberapa anak yang masih di dalam kelas.

"Kalian nggak ganti baju? Jam pertama olah raga, loh," ujarnya datar, terdengar dingin nan menusuk.

"I-iya, Bim. Lagi cari kunci loker." Satu di antara mereka terlihat gelagapan merogoh isi tasnya. Sementara yang lain langsung pergi tanpa banyak bicara lagi.

Andra memutar bola mata dengan malas. Ia berdecih dan mengutuk sang abang dalam hati, seolah tak terima bahwa Bima memiliki karisma dan daya pikat yang lebih kuat dari dirinya.

"Lo bukannya ada jam abis ini?" tanya Bima setelah menoleh pada Andra.

"Ya, ada lah! Tapi pengen ketemu kak Laras dulu," jawab Andra dengan ringannya.

"Jangan macem-macem, deh."

"Cuman mau kiat dia doang, kok."

"Lo juga udah janji sama bunda buat nggak nyusahin gue, 'kan? Buat nggak bikin masalah lagi."

"Iya, tapi gue janjinya cuman buat orientasi doang, kok. Toh, bunda juga bilangnya selama orientasi gue nggak boleh macem-macemnya."

"Andra!"

"Keren!" Andra tampak celingukan, mencari bayang Laras yang ia harapkan. Namun, nyatanya nihil. Tak ada seorang pun lagi yang datang setelah Bima.

"Temen-temen lu mana, dah? Kok lu doang yang balik?" tanya Andra melengos menatap tajam Bima.

"Olah raga, ya ke lapangan utama, lah," jawab Bima datar.

"Lapangan depan gedung barat, dong? Depan kelas 10?" Andra tergesa-gesa saat mengucapkannya.

Bima hanya diam dan mengangguk sekilas, lantas kembali ia mengembuskan napas panjang.

"Kok, nggak bilang dari tadi, sih?!"

*****

Lamongan,

Selasa, 07 September 2021