"Duh, kok aku malah pulang bareng dia, sih?" gumam Laras, berkali-kali melihat ke sembarang arah.
Motor melaju dengan kecepatan sedang, Andra membawa kemudi dan sedang dalam perjalanan mengantar Laras pulang. Entah bagaimana bisa Laras setuju begitu saja, mungkin karena Andra berkata bahwa Bima yang memintanya mengantar Laras pulang, atau mungkin karena refleks kaget hingga ia tak bisa menolak.
Sementara Andra masih menyusuri jalanan, Laras tengah berpikir bagaimana ia bisa kabur dari anak laki-laki bekulit putih tersebut.
"Kakak rumahnya di daerah mana?" tanya Andra.
"Hah?" Laras terkesiap, dan kontan mendekatkan wajahnya ke depan, hampir menabrak wajah Andra yang tengah setengah menoleh ke belakang.
"Kak Laras rumahnya di daerah mana?" Andra mengulang pertanyaannya, tak menyadari wajah Laras yang hampir menabrak wajah Andra yang berbalut helm.
"Di ...." Laras tampak berpikir, tak mau jika Andra mengantarnya hingga rumah. "A-aku turun di depan sana aja," putusnya akhirnya, menunjuk ke arah kafe kecil tak jauh di depan.
"Kenapa?" tanya Andra, melambatkan laju motor di depan kafe.
Laras langsung menurunkan kaki, mulai berdiri di samping motor dan melepas helm dari kepala.
"Nggak apa-apa. Udah deket, kok," jawab Laras dengan senyum yang ia paksa.
"Nanti aku dimarahin Bima kalo Kakak nggak sampek rumah dengan selamat." Andra menerima uluran helm dari Laras.
"E-enggak." Laras menggeleng kaku. "Nanti aku bilangin Bima biar nggak usah marahin kamu, ok?"
'Lagian apa, sih? Kek bocah banget,' batin Laras keheranan.
Andra menghela napas pelan dan mengangguk. Lantas ia pun menaruh helm Laras ke depan dan mulai menarik ponsel dari saku seragamnya.
"Boleh minta nomor Kak Laras?" Pertanyaan Andra kontan membuat Laras menggeleng kaku. "Ya ..., kok nggak boleh? Emang kenapa?"
Laras tertawa garing dan kembali menggeleng. "Kapan-kapan aja, ya," jawabnya lirih.
"Ya udah, deh. Ntar minta si Bemo aja," ujar Andra tak mengindahkan jawaban Laras.
Gadis berponi itu menoleh ke samping dan kebingungan. Ia menggaruk tengkuknya yang tak gatal, lantaran tak nyaman berada di dekat Andra.
"Ngomong-ngomong ...."
'Duh! Apa lagi, sih?' batin Laras mulai kesal.
Anak laki-laki berkulit putih itu menyodorkan tangan kanannya, dan menyebutkan nama. "Kita belum kenalan, Kak. Tak kenal maka tak sayang," ujarnya begitu renyah dengan senyum ramah.
Lagi-lagi senyum palsu Laras hadirkan untuk Andra. "Iya, salam kenal, ya, Andra," jawabnya terdengar ramah.
"Aku pulang dulu, ya, Kak," pamit Andra pada Laras.
Laras mengangguk dan melambaikan tangan pada Andra yang memutar setir motor. Dengan senyum hambar ia melihat punggung Andra yang kian menjauh.
"Gilak, ya! Baru juga sehari orientasi," geramnya pada angin lalu. "Duh! Bima juga ke mana, sih?"
Gadis berambut sebahu nan berponi itu langsung mengeluarkan ponselnya dari dalam tas, dan menghubungi Bima yang tak memberitahunya kalau ia justru harus diantar oleh si junior yang baru ia temui hari ini. Tak lama setelah ia mengirim pesan pada Bima, segera ia dapatkan balasan darinya.
Larasati:
Bima, kamu di mana? Kenapa malah anak tadi yang anterin aku pulang?
Bima:
Di mana Andra?
Laras melotot tak percaya, mulutnya pun ikut menganga. yang Bima tanyakan justru junior bernama Andra tadi, dan bukan keadaan Laras. Dengan cepat Laras kembali mengetik sebuah pesan, yang mengatakan bahwa ia diturunkan dipinggir jalan begitu saja oleh Andra.
Bima:
Terus Andranya pergi ke mana, woy?!
Dan justru jawaban yang lebih mencengangkan yang kembali ia dapatkan. Karena mulai kesal dengan Bima yang tak sedikitpun menanyakan keadaannya, Laras pun mengetik balasan dengan menggunakan huruf kapital pada seluruh hurufnya.
Larasati:
MANA AKU TAHU!!
Di tempat lain, Bima tengah duduk di bangku di depan kelas dan mengerutkan keningnya sangat dalam. Ia bingung melihat isi pesan Laras yang terlihat marah, padahal ia hanya ingin tahu di mana Andra saat ini.
"Gimana, Bim? Andra sama Laras di mana?" tanya Angga yang masih setia menemani Bima, di saat semua peserta orientasi telah pulang. Bahkan para panitia pun mulai banyak yang pulang.
"Kagak tau, kata Laras dia ditinggalin di pinggir jalan."
"Bwahahahaha!!" Jawaban Bima berhasil membuat Angga tergelak seketika. "Parah banget adek lo, Bim!" lanjutnya tetap tertawa kencang, ditambah memukul-mukul bahu Bima.
"Lo belom tau aja dia kalo di rumah gimana," jawab Bima pasrah, dan menepis kasar tangan Angga dari punggungnya.
"Gimana?" tuntut Angga, kembali menyentuh bahu Bima dan mencengkeramnya.
"Duh! Sakit, Dongok!" Lagi-lagi Bima harus menepis tangan Angga dari bahunya. "Anterin gue pulang, yok!"
"Ceritain dulu si Andra di rumah gimana?"
"Obses banget lo sama adek gue."
Bima berdiri dan mengantongi ponselnya. Namun, beberapa saat setelah ia kantongi, ponsel tersebut berdering dan hal itu membuat Bima kembali mengambilnya secepat kilat.
Kera:
Bim, masih lama nggak lo? Dicariin bunda, nih
Bima menghela napas lega, rupanya Andra telah sampai di rumah dengan selamat. Tetapi, ia juga merasa was-was dan mulai sedikit tegang. Ia berpikir bahwa bundanya akan sangat marah padanya, karena telah membiarkan Andra mengendarai motor sendirian.
Bima menggeleng cepat, menepis pikiran-pikiran buruk yang belum tentu akan terjadi. Dengan segera ia berjalan dan kembali meminta Angga untuk mengantarnya pulang ke rumah.
"Kenapa nggak minta jemput sopir lo aja, Bim?" Angga justru tetap berdiri dan bertanya.
"Lo nggak mau nganter gue pulang?" Bima menoleh ke belakang dengan tatapan sinisnya.
"Ya ... bukan gitu, Bim." Angga menggaruk tengkuknya yang mendadak terasa gatal. "Kan, tadi pagi Andra dianter sopir, kan sekarang pasti bisa, lah, sopir lo jemput ke sini. Hemat bensin gua juga," lanjutnya, memandang ke segala sudut untuk menghindari tatapan dingin Bima.
"Ooh, mulai perhitungan lo sekarang?"
Tatapan tajam yang Bima layangkan membuat Angga mau tak mau menggeleng kaku. Ia lantas berjalan cepat dan berkata kalau ia siap mengantar Bima pulang.
"Yok! Gue anter sampek depan rumah, selamat sentausa sejahtera," racau Angga yang berjalan melewati Bima.
Ketua panitia tampak tersenyum dan terkikik geli. Ia merasa sahabatnya sangat lucu dan penakut. Hanya dengan tatapannya saja, Angga langsung menuruti kemauan Bima.
"Ntar makan malem sekalian di rumah gue!" teriaknya pada Angga yang berjalan cukup jauh di depannya.
"Oke, Bos!" jawab Angga ikut berteriak tanpa menoleh ke belakang.
***
"Bunda," panggil Andra pada Nirina, Bundanya.
Nirina yang dipanggil tetap hanya diam dan menyiapkan makan malam, tak sedikitpun ia berkeinginan menjawab panggilan putra bungsunya.
"Udah, ih, Bunda! Adek nggak apa-apa, kok. Ini juga udah sampek di rumah dengan selamat sejahtera," rengek Andra dengan manja.
"Sentausa," jawab Nirina dengan sinis, menambahi ucapan Andra yang terdengar kurang tepat.
"Dih! Bunda mah, aaah." Andra terus merengek seperti anak bayi. "Udah, dong, Bunda ngambeknya. Ini Andra undah di rumah, loh. Lagian tadi Bima sendiri, kok, yang kasih izin pinjemin motor buat And-"
"Pake 'Bang'! Kamu itu adek!" sentak Nirina, memotong ucapan Andra.
"Iya, bang Bima maksudnya."
*****
Hai, Readers:)
Author ada permintaan, nih. Janji 1 permintaan aja, kok:D
Boleh, nggak, kalo kalian komen dan kasih tanggapan tentang novel ini? Sekali aja!! Janji, deh, sekali aja!:"D
Biar Author tahu kalian ada, dan Author jadi makin semangat buat lanjut UP bab barunya:D Hehee. Terima kasih:*
♡´・ᴗ・`♡
*****
Lamongan,
Senin, 30 Agustus 2021