Redo terlihat sangat tergesa-gesa. Pagi itu Ia terburu-buru hendak pergi ke Sekolah, lantaran ia bangun kesiangan pada hari ketiga, dimana ia baru saja naik ke kelas XII, di SMA favorit, yang ada disalah satu kota Bandung.
"Sayang... sarapan dulu," perintah ibunya-pun tidak Redo hiraukan saat Ia tengah berlari melewati ruang makan.
"Hems," ibunya hanya menghela nafas sambil menggelang-gelangkan kepala. Heran melihat tingkah putra satu-satunya pagi itu.
Redo langsung, menaiki motor Ninja kesayanganya yang sudah diparkir di halaman rumah. Setelah mesin Ia nyalakan Redo pun langsung tancap gas, hingga motornya melesat dengan kecepatan tinggi.
"Lama amat" desis Yohan, yang sedang menunggu di pinggir jalan depan rumahnya. Di komplek perumahan elit, yang ada di kota Bandung. Sesekali Ia mendongakan kepala ke arah jalan untuk memastikan orang yang Ia tunggu sudah tiba.
Setelah beberapa menit Yohan mondar-mandir, akhirnya motor Ninja berhenti tepat di hadapanya.
"Lama!" Kesal Yohan dengan muka juteknya. Kemudian Ia memakai helem yang di sodorkan Redo padanya. Redo hanya menggunakan kepalanya untuk menyuruh Yohan naik di atas motornya, supaya duduk di belakang. Yohan pun langsung manjat naik di atas motor, duduk di belakang Redo. "Maaf kesiangan," ucap Redo setelah Yohan duduk di motornya. Beberapa saat kemudian Redo pun menarik gas untuk menjalankan Ninja kesayangannya.
"WOI...!!" Yohan berteriak lantaran terkejut, dengan Redo yang menanrik gas secara mendadak. Sehingga membuat Yohan sedikit terjengkang.
"Ha.. ha.." Redo hanya tergelak. Tidak lama setelah itu, motornya pun meluncur dengan kecepatan tinggi, membuat Yohan, harus melingkarkan tangannya, memeluk erat pinggang Redo.
Namun, se'erat apapun Yohan memeluk Redo, tidak ada getaran apapun dalam diri mereka. Karena mereka Hanya Teman. Selain itu, tidak seharusnya ada getaran dalam hati mereka, yang bisa menimbulkan rasa yang tidak biasa, karena mereka berjenis kelamin sama.
Redo dan Yohan. Mereka berteman akrab sejak pertama kali masuk SMA, duduk satu bangku yang membuat mereka semakin dekat, sampai kini mereka naik ke kelas XII, keduanya masih saja duduk berdampingan. Secara kebetulan pula mereka tinggal dalam satu komplek disebuah perumahan mewah, namun hanya berbeda blok. Jarak Rumah mereka-pun hanya beberapa ratus meter saja. Lumayan dekat.
Akhirnya, motor yang melesat begitu cepat sampai juga disebuah perkiran yang letaknya di luar halaman Sekolah. "Shit.. Telat..." dengus Yohan setelah melihat pintu gerbang Sekolah yang sudah ditutup rapat. Halaman Sekolah juga sudah terlihat sangat sepi.
"Kamu tanggung jawab," protes Yohan seraya merapihkan posisi tas gendong, yang mencangklong di kedua pundaknya.
"Tunggu sini, serahkan padaku," Redo menepuk dadanya sendiri, kemudian berjalan mendekati pintu gerbang Sekolah.
Sementara Yohan berhanti, Ia hanya melihat dan menunggunya dari kejauhan. Pandangan Yohan harap-harap cemas, ke arah Redo yang sedang terlihat serius bernegosiasi dengan penjaga Sekolah.
Yohan meneribatkan senyum, saat melihat tangan Redo melambai kearah-anya. Lamabaiyan telapak tangan Redo meng'isyaratkan bahwa mereka sudah bisa segera masuk sekolah. Yohan bergegas mempercepat langkahnya, mendekati pintu gerbang Sekolah yang menjulang tinggi.
Redo memang ahli, ia pandai berdalih mencari alibi saat berada disituasi yang membuatnya terjepit. Enatah alasan apa yang diberikan Redo pada penjaga sekolah, sehingga Ia bisa dengan mudah masuk ke sekolah meski sudah terlamabat.
Hoby Redo yang bermain futsal, membuat Ia selau terlihat energik. Wajah cakep dan oreintal menjadi pelengkap dalam dirinya, untuk selalu digandrungi oleh remaja putri di Sekolahnya.
Tidak kalah dengan Redo, Yohan juga memiliki wajah oriental. Wajah yang mencermin kan darah sunda. Ganteng.
Meski tidak memeiliki hoby olaraga, namun Ia pandai, dan otakny cerdas membuat para siswi sangat mengagumi dirinya.
Yohan dan Redo, berlari dengan cepat melewati koridor sekolah. Keduanya harus menaiki anak tangga lantaran kelas mereka berada di lantai dua.
Beberapa saat kemudian, akhirnya mereka-pun sampai di ambang pintu kelasnya. "Huft" Yohan menghela nafas lega, saat matanya tidak melihat seorang pengajar yang duduk di bangku guru. Artinya mereka aman.
Kedatangan mereka mengundang perhatian teman sekelasnya yang sedang tenang dan fokus belajar.
"Yeah... Untung belum ada guru," girang Redo seraya masuk keruang kelas beriringan dengan Yohan. "Tumben? Guru killer itu belum dateng."
"Ha..ha..." Yohan hanya terbahak.
Suara Redo yang keras, bisa di dengar oleh semua teman sekelasnya, membuat mata para siswa dan siswi melirik ke arah tembok yang berada di dekat pintu kelas. Dimana sedang berdiri di sana seorang guru, yang di maksud 'killer' oleh Redo barusan.
Rupanya saat buru-buru masuk kelas, mereka berdua tidak melihat seorang guru yang sedang berdiri tegap, menyandar di tembok dekat pintu kelas.
"Ekhem...!!!" Suara dehem yang dibuat-buat oleh guru itu, membuat Redo dan Yohan menghentikan langkah sebelum mereka sampai di bangku mereka.
Suasana kelas mendadak hening. Semua pasang mata tertuju pada Redo, dan Yohan yang masih berdiri, berada di depan kelas.
Ibu Melda, guru Ekonomi yang terkenal galak di Kelas XII jurusan IPS.
Seketika wajah Redo dan Yohan mendadak pucat. "Sial..." Umpat Redo pelan. "Mampus kita," ujar Redo sambil melirikan matanya ke arah Yohan.
Yohan-pun melirik Redo dengan memasang wajah yang jengkel, "Kamu."
Suasana kelas masih hening, hanya suara sepatu ber-hak tinggi yang dikenakan Ibu Melda, lantaran beradu dengan lantai kramik.
Pletok...pletook...pletook
Suara sepatu Itu terdengar sangat mengerikan, bagi Redo dan Yohan. Wajah mereka semakin pucat, saat suara sepatu itu terdengar semakin mendekat.
Redo dan Yohan memutar badannya perlahan untuk melihat wajah mengerikan milik ibu Melda ketika sedang marah. Bahkan lebih mengerikan dari hantu kuntilanak, bagi para murid-murid.
"Eh..Ibu..." Redo dan Yohan secara bersamaan menyapa Ibu Melda. Mereka memasang muka culun, supaya mendapatkan simpatik dari Ibu Melda.
"Nggak usah takut, Ibu tidak akan marah.." Ucap Ibu Melda setelah berada didekat mereka.
Ucapan Ibu Melda membuat mereka meng'elus dada, sambil menarik nafas lega. "Huft..."
"Terimakasih bu," Ucap Redo dengan mulutnya tersenyum nyengir.
Redo dan Yohan berjalan perlahan menuju ke tempat duduk mereka.
"Tunggu...!"
Suara Ibu Melda menghentikan langkah Redo dan Yohan. Ibu Melda mengacungkan telunjuknya ke arah luar kelas, seraya berkata. "Ibu tidak akan marah, tapi ibu minta, tolong kalian temani tiang bendera di halaman sekolah itu yang sedang berdiri sendiri," perintah Ibu Melda dengan tegas, "Ibu kasian, melihat tiang bendera itu sendirian."
Kata-kata bu Melda mengundang gelak tawa para murid.
Terlihat wajah Redo dan Yohan mendadak murung, akibat rasa malu yang melanda.
"Diam!" Suara Ibu Melda mampu membungkam semua gelak tawa para murid. Ibu Melda menatap lurus ke arah Redo dan Yohan. "Tunggu apa lagi? Cepat berdiri di sana, sampai jam pelajran ibu selesai."
Akhirnya dengaan wajah malas, mereka berdua berjalan keluar kelas menuruti perintah ibu Melda.
"Ibu yang kasian Kenapa kita yang harus menemani?" Redo mengrutu dengan suara pelan, saat melewati Ibu Melda.
"WHAT?"
Ternyata suara pelan Redo, dapat di dengar dengan jelas sama Ibu Melda, membuat Ibu Melda semakin meradang.
"Eh..engak bu, eh iya kita temani," gugup Redo seraya berlari sambil menarik pergelangan tangan Yohan.
Sementara Yohan hanya bisa pasrah, mengikuti tarikan tangan Redo. Mengikuti perintah ibu Melda supaya menemani tiang bendera yang berdiri di halaman Sekolah.
Matahari yang mulai naik ke atas permukan langit, memancarkan cahaya yang sangat terik. Meskipun waktu di hari itu masih pagi. Namun luasnya halaman Sekolah, dan tidak ada pepohonan di sana, membuat sinar mentari langsung terasa mengani kulit Redo dan Yohan, Yang sudah berdiri di halaman Sekolah.
Sesekali Yohan, menggunakan telapak tangannya untuk melindungi wajahnya dari serangan ultra violet. Butir-butir keringat-pun sudah mulai keluar di pelipis Yohan. Berdiri terlalu lama juga membuat kaki Yohan sedikit pegal.
"Huh... Kamu pasti main game kemalaman." Kesal Yohan sambil mendudukkan dirinya ber-jongkok, "Tau gini gini berangkat sama Ayah tadi," imbuh Yohan, tapu sebenarnya Ia juga tidak tega jika membiarkan sahabatnya terlambat sendirian. Karena sejauh ini mereka pergi, dan pulang Sekolah selalu bersama.
Yohan yang berjongko berada di sebelah timur, membuat cahaya matahari langsung mengenai dan membakar tubuhnya.
Redo mendongakan kepalanya, Ia melihat matahari yang begitu terik. Kemudian ia menundukkan kepal, melihat Yohan yang sedang duduk berjongkok sambil meringis karena kepanasan.
"Maaf deh... aku yang salah," sesal Redo, ia berpindah posisi berdiri, menggunakan tubuhnya untuk melindungi Yohan dari panasnya sinar mentari. "Nih aku jagain, biar nggak kepanasan," ucap Redo sambil memberikan senyum simpul dan menaik turunkan kedua alisnya.
Yohan mendongakan kepalanya menatap wajah Redo, ia tidak bisa menahan senyum nyengirnya saat melihat tingkah sahabatnya yang sedang merasa bersalah, membiarkan Ia kepansan, hanya untuk melindungi dirinya.
Akhirnya, mereka pun saling bersitatap sambil melemparkan sanyum khasnya masing-masing.
Ternyata aksi setia kawan mereka, disaksikan oleh teman sekelas yang baru saja keluar untuk pergi ke toilet.
"Cici!" Teriak Amel yang sudah berjalan lebih dulu dari Cici.
"Ada apa?"
"Lhiat deh," ucap Amel seraya tanganya menunjuk ke halaman sekolah di mana ada Redo dan Yohan disana.
Cici berjalan menghampiri Amel, "Kenapa?"
"Mereka itu lucu ya, kompak lagi," puji Amel dengan gaya khas anak remajanya.
"Bukanya dari dulu ya," ucap Cici yang memang selalu cuek.
"Iya, tapi aku baru sadar, kalo mereka itu memang bener- keren," ucap Amel lagi seraya menatap kagum pada Redo dan Yohan. "Aku mau jadi pacar Redo atau Yohan" imbuh Amel seraya memgang kedua pipinya dengan telapak tanganya.
"Aduh udah deh, jangan ngaco," ketus Cici sambil tangan Cici menarik tangan Ampel supaya terbangun dari mimpi. "Kecuali kalo kamu mau dibully sama cewek-cewek di Sekolah kita."
"Ih.. Cici, pelan-pelan..." keluh Amel yang kesakitan karena tarikan tangan Cici yang begitu kuat. "Tapi biasa aja kali, sala satu dari mereka jadi pacarku."
Cici yang cuek, semakin kuat menarik tangan Amel, menyeretnya ke arah toilet.
Redo dan Yohan, memang sudah menjadi idola sekolah mereka. Keduanya mempunyai daya tarik tersendiri.
Namun Meski mereka menjadi Idola, tapi tidak membuat mereka mudah untuk mendapatkan pacar atau kekasih. Justru mereka semakin sulit mencari pacar, karena banyak remaja putri yang mengidolakan mereka.
Siswi di sekolah itu hanya boleh mengagumi Redo dan Yohan, namun tidak boleh ada niat untuk ingin memiliki.
Karena jika ketahuan oleh siswi lain, kalo ada yang berani mempunyai hubungan dengan Redo, ataupun Yohan. Maka mereka para fans tidak rela dan akan memberikan pelajaran. Cemburu atau iri.
Untuk itu, mereka hanya berani mengagumi, tanpa harus berniat untuk memiliki Redo dan Yohan.