Hari ini Zahra mulai bekerja setelah kemarin, surat lamaran kerja yang ia kirim via email langsung di terima bahkan di ACC. Karena ini hari pertamanya ia bekerja, Zahra memakai baju yang agak longgar berwarna maroon serta celana hitam yang tak terlalu ketat, tak lupa kaos kaki coklat dan sepatu dengan hak tinggi 7 cm. Serta hijab panjang menutupi dadanya. Zahra juga memakai tas berwarna coklat tua. Untungnya di perusahaan tempat ia bekerja, bebas memakai baju apa aja yang penting sopan dan tak memperlihatkan bentuk tubuhnya.
Setelah merasa dirinya perfect, ia pun pergi di antar sopir taxi yang ia pesan via online.
"Pak, ke alamat yang tadi saya tulis di aplikasi ya," kata Zahra ramah.
"Iya, Neng," jawab sang sopir.
Di dalam taxi, Zahra hanya melihat pemandangan di luar jendela, fikirannya mulai melayang memikirkan pernikahan yang ia jalani saat ini.
Sejak kemarin, suaminya belum pulang. Walaupun Andre sudah mengatakan kalau ia tak akan pulang selama tiga hari ke depan, tetap saja ia menunggu sampai tengah malam hingga ia ketiduran di kursi ruang tamu. Dan ia bangun jam tiga pagi, ia fikir suaminya sudah pulang. Nyatanya semua itu hanya angan belaka.
Zahra pun segera ambdi wudhu dan sholat malam. Di sepertiga malam, di saat semua orang masih menikmati tidurnya, ia memilih untuk mencurahkan isi hatinya, ia mengadukan semua masalahnya kepada Sang Maha Pencipta. Hanya kepada Allah-lah tempat ia mengadu, tempat ia memohon pertolongan-Nya. Setelah semua uneg-unegnya ia curahkan, maka setelah itu ia merasa sedikit tenang dan lega.
Mengingat Adzan shubuh masih setengah jam lagi, ia pun memanfaatkan waktunya untuk baca Al Qur'an. Dulu sebelum menikah, ia pernah berkhayal, mempunyai suami dan imam yang baik. Yang bisa di ajak sholat berjamaah dan mengaji secara bergantian. Nyatanya semua itu hanya sebuah angan-angan belaka. Ia tetap sholat sendiri di kamarnya dan mengaji sendirian. Tak ada yang menemani, walaupun menikah, ia tetap sama seperti wanita single, hanya statusnya aja yang berubah. Tapi semuanya tetaplah sama.
"Neng, sudah sampai," ujar sang sopir mengagetkan Zahra.
"Oh, Iya Pak. Saya bayar via online ya, Pak,"
"Iya, Neng."
Setelah itu Zahra pun keluar dari taxi, dan menatap gedung yang menjulang tinggi. Saat ia mau melangkahkan kakinya, tiba-tiba seseorang memanggil namanya.
"Za." Zahra pun yang merasa namanya di panggil langsung menoleh ke belakang. Dan benar saja ia melihat Anna yang berlari ke arahnya.
"Ya Tuhan Za, akhirnya kita bertemu lagi. Gimana, sudah siap bekerja?" tanya Anna antusias. Entahlah kenapa malah dia yang terlihat lebih semangat ketimbang Zahra.
"Iya. InsyaAllah. Aku gak nyangka, akan langsung masuk hari ini juga, terlebih posisiku sebagai asisten pribadi, dimana posisi ini sangat di minati banyak orang."
"Ya namanya rezeki, Za. Kalau emang itu posisi khusus untuk kamu, tak bisa orang lain merebutnya. Ya udah, ayo masuk." Anna memegang tangan Zahra dan mengajak ia masuk ke dalam.
"Aku antar ke ruanganmu ya, biasanya jam segini Mas Reyhan sudah ada di dalam."
"Bentar, Mas Reyhan?" tanya Zahra heran.
"Iya, Mas Reyhan. Kakak senior kita di kampus. Yang pernah jadi Ketua BEM. Dia kan yang memimpin perusahaan ini. Emang kamu gak tau?" tanya Anna heran.
"Enggak."
"Ya Ampun ... kan nama perusahaannya aja Dirgantara, sama seperti nama Mas Reyhan. Muhammad Reyhan Pratama Dirgantara. Jangan bilang kamu juga gak tau, kalau hotel tempat kamu menikah beberapa hari lalu juga milik Mas Reyhan?" tanya Anna penuh selidik.
"Apa?! Astaga ... aku benar-benar gak tau. Aku malu banget, aku gak ngundang dia soalnya."
"Gak papa, walaupun dia gak di undang. Dia bisa lihat kamu dari ruangannya. Santai aja, Mas Reyhan orangnya baik banget. Bahkan dia tak mempermasalahkan aku memanggil dia sebutan Mas kalau cuma berdua atau di luar kantor. Kecuali ada rapat atau lagi banyak karyawan lainnya, barulah kita harus memanggil dia sebutan Pak Reyhan."
"Kamu kayaknya akrab banget, An?" tanya Zahra sambil berjalan menuju ruangannya.
"Ya, aku akrab sejak Pak Reyhan menanyakan kamu terus, Za. Dia menyukaimu." Sayangnya kata-kata itu hanya berucap dalam hati aja. Karena Reyhan tak mau Zahra menjauhinya jika ia tau, kalau dirinya menyukainya sejak lama. Lebih baik Zahra tak tau apa-apa, agar ia pun juga nyaman saat mencoba untuk mendekatinya dan mengambil hatinya.
"Hey kok malah bengong?" tanya Zahra sambil melambaikan tangannya di depan Anna.
"Hehe aku dekat sejak aku kerja di sini, Za. Bahkan semuanya juga deket kok karena memang Mas Reyhan orangnya baik, ramah dan juga tak suka semena-mena terhadap karyawannya. Bahkan ia menganggap semua karyawannya itu seperti keluarganya sendiri."
"Oh gitu."
"Iya, nah ini ruangannya. Kamu ketuk pintu dulu gih, aku mau ke ruanganku. Gak enak jika aku ikut masuk," suruh Anna.
"Baiklah. Makasih ya sudah antar aku ke sini."
"Iya sama-sama. Nanti jam istirahat, kita makan siang di kantin ya,"
"Tapi aku belum tau dimana kantinnya."
"Baiklah, nanti aku jemput kamu ke sini lagi."
"Oke."
Dan setelah kepergian Anna, Zahra pun mengetuk pintu tiga kali.
"Masuk." Ucap seseorang dari dalam ruangan.
Dengan mengucap bismillah, Zahra pun mengetuk pintu tersebut dan ia melihat Reyhan yang duduk di kursi kebesarannya.
"Zahra, ayo duduk dulu," sapa Reyhan ramah.
"Iya, Pak." Zahra berusaha menghilangkan rasa gugupnya dan ia pun duduk di kursi yang ada di depan meja.
"Zahra selamat bergabung di Perusahaan Dirgantara," ujar Reyhan ramah. Zahra pun hanya menjawabnya dengan anggukan kepala.
"Zahra, aku langsung to the point aja ya. Seperti pesan yang di kirimkan ke kamu, tugas kamu sebagai asisten pribadiku sangatlah banyak mulai dari time management, mengatur pertemuan bisnis, rapat, menyusun agenda pertemuan, mempersiapkan perjalanan dinas, membuat naskah pidato, sambutan, bahan presentasi, urus surat-menyurat, mengorganisir event, jamuan makan, peresmian-peresmian hingga menjalin komunikasi dengan humas dan keprotokolan. Apa kamu siap?" tanya Reyhan berusaha untuk profesional.
"InsyaAllah saya siap, Pak." Jawab Zahra mengganggukkan kepala
"Baiklah, aku yakin kamu pasti siap. Kalau berdua, panggil mas aja, jangan terlalu formal. Anggap kita teman agar ke depannya enak dan gak terlalu kaku. Kamu cukup bersikap formal saat di depan banyak karyawan, di client penting dan atau saat rapat saja. Di lain itu, kamu bebas memanggil namaku dengan mas seperti biasanya, sama seperti Anna yang juga memanggilku mas saat berdua."
"Baiklah, Mas Reyhan." Zahra pun yang tak mau berdekatan memilih mengiyakan.
"Dan karena tugas kamu yang cukup banyak itu, maka kemungkinan besar, kamu akan sering lembur. Apa gak masalah?" tanya Reyhan.
"Tapi sebagai gantinya, kamu akan di gaji sepuluh kali kali lipat di banding karyawan yang lain." lanjut Reyhan.
"Gimana ya? Kalau lembur terus apa gak masalah. Tapi jika pun gak lembur, aku hanya diam di rumah dan kesepian. Mas Andre pasti akan lebih banyak menghabiskan waktu di luar rumah dari pada di rumah. Dan itu hanya akan membuat hatiku terluka. Lebih baik aku lembur aja, setidaknya dengan aku sibuk, aku gak akan terlalu memikirkan pernikahan yang hanya di atas kerja." Zahra bergumam dengan dirinya sendiri.
"Gimana, Za?" tanya Andre yang berharap Zahra menyetujuinya.
"Baiklah, Mas. Aku setuju."
Mendengar hal itu, tentu Reyhan merasa bahagia sekali.
"Oke, kalau gitu. Kamu bisa bekerja mulai sekarang. Ruanganmu tepat berada di ruangan sebelahku."
"Iya."
"Kamu pelajari aja dulu berkas-berkas yang sudah ada di atas meja, jika kamu tak ada yang mengerti, kamu bisa nanya sama aku."
"Iya, Mas. Kalau gitu aku permisi dulu."
Lalu Zahra pun pergi ke ruangannya. Tanpa di ketahui oleh Zahra, ia sudah menyimpan kamera kecil sehingga Reyhan bisa memantau keadaan Zahra bahkan Reyhan juga menaruh perekam suara sehingga apapun yang di ucapkan selama berada di ruangan itu, Reyhan bisa mendengarnya dengan jelas.
Sepergian Zahra, Reyhan tersenyum. Inilah yang ia inginkan dari dulu, ia tau Zahra tak bahagia, terlihat dari kedua matanya yang sedikit bengkak, mungkin Zahra kelamaan menangis hingga walaupun sudah di tutupi dengan make up, tetap aja kelihatan.
"Andai kamu menikah denganku, Za. Pasti aku tak akan membiarkan kamu bersedih." Gumam Reyhan sambil menatap Hp nya yang terhubung dengan ruangan Zahra.
Sedangkan di ruang sebelah, Zahra langsung duduk setengah meletakkan tasnya di atas meja Ia melihat banyak berkas yang harus ia pelajari dan haeus ia kerjakan. Berkas yang sangat banyak, entah kapan akan selesai. Dan mungkin memang nanti malam, ia harus pulang larut malam mengingat betapa banyaknya pekerjaan yang harus ia kerjakan.
Ia pun tak lupa mengirim pesan kepada suaminya, walaupun ia tau, pesannya hanya di baca dan tak akan di balas. Tapi tetap aja ia harus izin.
[Assalamualaikum, Mas. Hari ini aku mulai bekerja di Perusahaan Dirgantara sebagai asisten pribadi. Dan kemungkinan aku pulang larut malam karena banyak pekerjaan yang harus di selesaikan hari ini]
Pesan itu pun langsung bercentang warna hijau, Zahra berfikir pesannnya tak akan di balas. Nyatanya Andre malah membalas pesan yang ia kirim.
[Waalaikumsalam. Iya baguslah. Setidaknya kamu gak kesepian di rumah. Kalau pulang hati-hati]
Zahra yang membaca pesan tersebut pun hanya tersenyum getir.
"Aku tau mas, aku tau kamu pasti saat ini sama Alana kan? Aku emang baru kenal denganmu, tapi aku bisa merasakan kalau kamu pergi, bukan untuk urusan lain melainkan untuk menemui Alana. Kamu memang suamiku, tapi kamu tetap pacar dari wanita yang bernama Alana. Dan sampai kapanpun aku hanya akan menjadi istri di atas kertas." Zahra mengatakan hal itu tanpa tau bahwa ada seseorang yang mendengar ucapannya.
"Huffft ... Setidaknya kalau aku bercerai dengannya, aku masih perawan. Biarlah Mas Andre dengan siapa. Toh aku gak akan berdosa juga, bukan karena aku yang tak mau melayaninya tapi dia yang tak mau aku layani. Aku harus apa? Mumpung aku belum mencintainya, aku akan kuatkan hatiku agar tak sampai jatuh cinta sama Mas Andre. Jadi kalau aku dan dia berpisah, aku gak akan merasa sakit hati. Aish, baru juga nikah berapa hari. Tapi udah berfikiran cerai aja. Apa kata orang nanti jika aku jadi janda di saat usiaku yang bahkan masih sangat muda sekali Terlebih bercerai dengan keadaan yang masih perawan. Sungguh menyedihkan hidupku dan juga nasib rumah tanggaku. Sudahlah, lebih baik aku fokus bekerja aja. Aku harus bisa mandiri, karena belum tentu Mas Andre mau membiayai hidupku ke depannya. Aku juga tak mungkin minta uang sama Abah dan Umi. Aku tak mau menyusahkan mereka. Untuk itu, aku harus bisa kuat dan mandiri agar aku bisa menghidupi diriku sendiri. Semangat!" Zahra terus bicara sendiri, setelah merasa puas. Ia pun menaruh Hpnya di dalam tas, dan ia mulai fokus sama berkas yang ada di hadapannya.
"Astaga, jadi sampai detik ini Zahra masih perawan. Dan lebih parahnya, suaminya meninggalkan dirinya demi pacarnya. Ya Allah, Za. Andai aku yang suamimu, tak mungkin aku tega meninggalkan kamu demi wanita lain. Aku janji Za, aku akan menjaga kamu dan melindungi kamu. Walau aku bukan suamimu, aku akan menjagamu segenap hatiku. Andaikan kamu bercerai dengannya, aku orang pertama yang akan melamarmu, Za. Akan aku jadikan kamu istri pertama dan terakhirku." Andre yang mendengar ucapan Zahra pun merasa kasihan, kasihan karena melihat pernikahan Zahra yang seperti ini. Tapi ia juga bersyukur karena suaminya tak mau menyentuh wanita yang ia cintai.
Reyhan terus menatap Zahra di layar Hpnya dan mendengarkan suara Zahra lewat headset. Sedangkan Zahra yang tak tau dirinya di pantau oleh atasannya sekaligus laki-laki yang mencintainya, hanya santai ria sambil mengerjakan berkas-berkas.