Setelah acara tiga hari tiga malam di Hotel Dirgantara, akhirnya pesta pun usai juga. Semua bisa bernafas lega tapi tidak dengan dua pengantin baru itu, yang dari kemarin lebih banyak diamnya dan hanya fokus dengan hp masing-masing.
"Nak, setelah ini kalian ikut mama dan papa ya?" ucap Mama Ayu yang tiba-tiba datang ke kamar Zahra dan Andre. Kebetulan pintunya memang tak di tutup dan di biarkan terbuka sehingga mereka bisa masuk dengan mudah.
"Kemana, Ma?" tanya Zahra sambil menaruh Hpnya di atas meja sedangkan Andre hanya diam tak menggubris mereka yang ada di sekelilingnya.
"Mama dan papa punya kejutan untuk kalian berdua," sahut Papa Agus ramah.
"Umi sama Abah ikut?" tanya Zahra lagi sambil melirik ke arah orang tuanya.
"Iya Neng, Abah sama Umi ikut kalian untuk melihat kejutan yang di berikan oleh Mama Ayu, kamu pasti seneng deh sama kejutannya," balas Umi Hilda tersenyum. Sejujurnya ia kecewa melihat menantunya yang hanya sibuk main Hp dan tak perduli dengan putrinya ataupun orang tua dan mertuanya. Ia hanya sibuk dengan dunianya sendiri.
"Iya, Abah juga sudah tau kejutannya. Dan itu yang di inginkan Neng sejak dulu," sambung Abah Ahmad sambil menatap wajah putrinya, sesekali ia melirik ke arah menantunya yang duduk di sofa yang ada di kamar tersebut.
"Benarkah? Tapi Neng suka apa ya dari dulu?" tanya Zahra bingung. Sangking banyaknya yang ia pengenin, sampai lupa apa aja yang ia inginkan dari dulu dan sampai sekarang belum juga terwujud.
"Iya sudah dari pada penasaran, lebih baik kalian siap-siap ya. Mama, papa, abah sama umi nunggu di bawah. Dre, kamu jangan main Hp terus, kamu harus siap-siap juga," ujar Mama Ayu. Lalu mereka pun pergi dari hadapan Zahra dan Andre.
"Mas," panggil Zahra pelan, ia takut suaminya itu marah padanya.
"Hm," gumamnya yang masih sibuk dengan Hpnya, entah dia chatan dengan siapa.
"Ayo siap-siap, kita sudah di tunggu,"
"Kamu aja dulu, gantian."
Andre menjawab pertanyaan Zahra tanpa menoleh ke arah Zahra, ia masih fokus dengan Hpnya. Mungkin Hp nya jauh lebih penting ketimbang istri yang kini ada di hadapannya.
Zahra hanya bisa mengelus dada melihat sikap suaminya itu. Zahra pun segera pergi ke kamar mandi untuk sikat gigi dan cuci muka, ia tak perlu mandi karena tadi pagi, ia sudah mandi. Jadi cukup cuci muka dan sikat gigi.
Lalu ia segera mengganti pakaiannya di ruang pengganti. Memang di kamar hotel yang ia tempati saat ini, ada ruang tersendiri untuk ganti baju. Sehingga ia tak perlu berganti baju di kamar mandi ataupun di ruang kamar, dimana disana ada suaminya yang sibuk main Hp sedari tadi pagi dan belum juga selesai.
Setelah mengganti baju, ia memoles sedikit wajahnya agar tak terlalu pucat. Setelah dirinya selesai, ia pun menghampiri suaminya lagi.
"Mas, kamu gak mau cuci muka atau ganti baju?" tanya Zahra pelan, walaupun ia kini tengah kesal, namun tetap ia berusaha agar tak terpancing emosi.
"Enggak usah," jawabnya ketus.
"Iya udah ayo kita pergi, kasihan orang tua kita menunggu di bawah," balas Zahra yang tak mau berdebat hanya karena masalah sepele.
Andre pun menaruh Hp nya di saku celana, lalu ia mengambil kunci mobilnya dan dompet yang ia taruh di saku celana belakang sebelah kiri. Sedangkan Hp nya di saku celana sebelah kanan.
Kami berjalan menuju lantai dasar tanpa ada pegangan tangan layaknya pengantin baru. Mas Andre malah berusaha untuk menjaga jarak dengan berjalan lebih dulu, sedangkan aku, aku hanya berjalan di belakangnya, persis seperti orang yang lagi marahan.
"Loh Andre, kamu gak ganti baju?" tanya Mama Ayu.
"Ngapain ganti sih Ma, gini aja udah cukup," jawabnya.
"Iya sudah, gak papa. Kita berangkat sekarang aja," lerai Abah Ahmad. Mungkin ia tak mau antara anak dan ibu berdebat hanya karena masalah baju.
Lalu Zahra dan Andre pun masuk ke dalam mobil, begitupun dengan Mama Ayu, Papa Agus, Abah Ahmad dan Umi Hilda.
Mereka masing-masing membawa satu mobil, jadi ada tiga mobil yang beriringan.
Mama Ayu dan Papa Agus ada paling depan, Zahra dan Andre di tengah-tengah, sedangkan Abah Ahmad dan Umi Hilda di belakang.
Selama dalam perjalanan Zahra hanya diam aja karena Andre juga memilih diam dan fokus menyetir.
"Mas, apa selamanya hubungan kita akan kaku seperti ini?" gumam Zahra dalam hati.
"Maafin aku, Za. Bukan aku ingin mengabaikan kamu tapi jujur ini seperti mimpi buruk bagiku. Aku tak mau menyakitimu, tapi aku juga tak bisa memperlakukan kamu layaknya seorang istri di luar sana. Bagaimanapun pernikahan ini terjadi bukan kehendak kita, tapi karena keinginan orang tua kita, aku harap kamu mengerti perasaanku.
Sungguh ini sangat berat buat aku, sangat berat sekali. Bahkan andai kata ini mimpi buruk bagiku, ingin rasanya aku segera bangun dan kembali dimana aku tak mengenalmu dan hidup bahagia bersama wanita yang aku cintai," gumam Andre seolah-olah mendengar suara hati Zahra.
Mereka pun sama-sama menghembuskan nafas kasar membuat mereka saling bertatapan.
"Kamu kenapa?" tanya mereka bersamaan.
"Kamu duluan," ucap Andre.
"Mas Andre kenapa, kog menghembuskan nafas kasar, ada masalah?" tanyanya ramah
"Kamu sendiri kenapa melakukan hal yang sama, bukan?" tanya balik Andre.
"Aku hanya memikirkan masa depan kita, Mas. Apa kita akan seperti ini selamanya? Kaku dan saling diam seolah-olah tak saling mengenal?" tanya Zahra jujur.
"Aku gak tau harus bersikap seperti apa. Kamu tau sendiri aku tak mencintaimu, aku harap kamu mengerti perasaanku. Tak mudah buat aku, menerima semua ini," Andre pun menjawabnya dengan sesekali menoleh ke arah Zahra.
"Aku mengerti. Aku akan berusaha memahami perasaan Mas Andre. Aku gak akan menuntut apapun," ucap Zahra tersenyum.
"Terimakasih."
Hanya itu kata-kata yang keluar dari mulut Andre lalu setelah itu, mereka pun kembali diam. Hingga sejam kemudian, mereka berhenti di rumah sederhana.
Andre dan Zahra pun keluar bersamaan dengan kedua orangtuanya dan mertuanya.
"Ma, ini rumah siapa?" tanya Zahra.
"Ini rumah kamu sayang, hadiah dari kami," ucap Mama Ayu antusias. Memang benar rumah itu pemberian Mama Ayu dan Papa Agus sebagai hadiah pernikahannya putranya.
"Sebenarnya mama dan papa pengen kamu tinggal di rumah kami, tapi setelah di fikir-fikir, mama ingin kalian hidup mandiri setelah menikah. Selain agar kalian banyak memanfaatkan waktu berdua, Mama, Papa, Abah dan Umi berharap kalian bisa saling menyayangi satu sama lain dan memberikan kami cucu hehe," Mama Ayu tertawa mungkin ia berkhayal jika Zahra hamil dan punya anak. Maka dirinya akan menjadi seorang nenek.
"Baju Neng sudah Umi bawakan kemarin ke sini, jadi sudah ada di dalam. Nanti tinggal Neng tata aja, gimana enaknya," ujar Umi Hilda.
"Iya, baju Andre juga sudah mama bawakan dan udah taruh di dalam. Nanti kalian tinggal taruh di lemari," sambung Mama Ayu.
"Iya udah yuk masuk, biar pengantin baru ini bisa melihat rumah yang akan mereka tempati," ajak Papa Agus.
Lalu Zahra dan yang lainnya pun masuk ke dalam rumah setelah mengucap basmalah. Zahra tercengang bagaimana mungkin rumah ini sama persis dengan rumah yang ia impikan dulu, bahkan rumah ini persis rumah yang pernah ia desain.
Dari luar sampai ke dalam, semuanya sama seperti yang ia impikan. Zahra pun mulai melihat semua ruangan, dan bahkan tata letaknya dan peralatan apa yang ia impikan semuanya ada. Bahkan di belakang juga ada kolam kecil sedangkan di sampingnya ada tempat jemuran baju lengkap dengan tempat ia mencuci baju.
"Abah, Umi. Kog ini seperti rumah yang pernah Neng desain ya, tata letaknya, ruangannya, bahkan sampai peralatan rumahnya persis seperti yang Neng gambar," tanya Zahra penasaran.
"Iya Neng, rumah ini emang Neng yang desain. Umi terpaksa mengambilnya dari buku deary Neng. Waktu itu Umi tak sengaja menjatuhkan buku deary Neng saat Umi lagi bersih-bersih di kamar Neng. Dan saat Umi tau, Neng pengen punya rumah seperti itu, akhirnya Umi ambil kertas itu dan memberikannya ke Abah lalu Abah pun rembukan dengan Papa Agus untuk membuatkan rumah seperti yang Neng desain. Dan akhirnya Papa Agus setuju, dan Papa Agus dan Mama Ayu lah yang membuatkan rumah ini khusus untuk hadiah pernikahan kalian," jawab Umi Hilda tersenyum.
"Jadi rumah ini di bangun sudah lama?" tanya Zahra.
"Ya, bahkan sebelum Umi dan Abah membahas perjodohan ini sama kamu, rumah itu sudah di bangun dan baru selesai dua Minggu lalu," sahut Abah Ahmad.
Ternyata perjodohan ini emang sudah lama di nantikan sampai mereka pun membangunkan rumah sebagus ini.
"Mas kamu gak mau lihat rumah kita?" tanya Zahra melihat Andre hanya diam saja.
"Enggak perlu, nanti juga tau sendiri," jawabnya.
Zahra hanya menganggukkan kepala. Lalu para orang tua pun pamit pulang karena mereka tak mau berlama-lama disana karena tak ingin menganggu pengantin baru.
"Neng, Abah sama Umi pamit pulang dulu. Neng jaga diri baik-baik. Ingat, jadilah istri sholelah, jangan buat Abah dan Umi kecewa," ucap Abah Ahmad.
"Iya, Bah. Abah dan Umi hati-hati di jalan.. Nanti seminggu sekali, aku usahakan ke rumah Abah dan Umi," sahut Zahra.
"Iya. Dre, Abah sama Umi pulang dulu ya Titip Zahra," pamit Abah ke menantunya.
"Iya, Bah. Hati-hati," jawab Andre.
"Iya. Gus, Yu, aku dan istriku pulang dulu ya," ujar Abah Ahmad ke Papa Agus.
"Iya, entar lagi aku dan istriku juga mau pulang. Kalian hati-hati,"
"Iya."
"Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam."
Lalu setelah kepergian Abah Ahmad dan Umi Hilda. Papa Agus dan Mama Ayu pun juga ikutan pamit.
"Dre, kamu jangan cuekin istrimu terus. Kamu harus belajar mencintainya, jangan buat papa marah," ucap Papa Agus.
"Iya, Pa,"
"Iya sudah papa dan mama pulang dulu. Zahra, kalau Andre buat kamu nangis, bilang aja sama papa. Biar papa yang kasih dia pelajaran," ujar Papa Agus.
"Iya, Pa." Jawab Zahra, dalam hati mana mungkin ia tega mengadukan sifat suaminya ke mertuanya. Yang ada malah suaminya akan marah karena ia menjadi tukang ngadu.
"Iya sudah, mama dan papa pulang dulu. Assalamualaikum,"
"Waalaikumsalam."
Setelah kepergian mereka semua. Kini tinggallah Zahra dan Andre di rumah baru itu.
"Za, aku ingin kita pisah kamar," ucap Andre ketus.
"Apa? Tapi kenapa Mas?" tanya Zahra. Saat di hotel pun, bahkan Andre memilih untuk tidur di sofa dari pada tidur seranjang dengannya. Dan sekarang, suaminya minta pisah kamar, pernikahan macam apa yang saat ini ia jalani.
"Kenapa? Emang kamu ingin tidur bareng aku? Hah? Sudahlah, jangan buat aku emosi. Kamu tidur di kamar sebelah, biar kamar utama aku yang tempati. Dan ingat jangan bilang sama orang tuaku ataupun orang tuamu kalau kita pisah kamar, kalau sampai itu terjadi, kamu akan tanggung akibatnya. Sekarang aku mau keluar dulu, kamu bersih-bersih rumah dan tata bajuku ke lemari. Gak usah masak, aku makan di luar, kalau kamu mau masak untuk diri kamu sendiri, silahkan. Tapi jangan tunggu aku," ucap Andre lalu ia pergi begitu saja tanpa memberikan Zahra kesempatan untuk bicara. Ia tak mau berpura-pura lagi, ia harus pergi karena ia ada janji dengan Alana.
Sedangkan Zahra hanya bisa menghela nafas kasar dan mengucap istighfar berulang-ulang agar tak terbawa emosi. Walaupun ia kesal dengan sikap suaminya terhadapnya, tapi inilah konsekuensi jika menikah hasil perjodohan. Jangan harap ada kebahagiaan, kecuali jika ada cinta tumbuh di hati masing-masing. Tapi apakah bisa Andre mencintainya? Dan apakah bisa dirinya mencintai Andre. Hanya waktu yang bisa menjawabnya.