Chereads / Purple Love Story / Chapter 4 - Chapter 04

Chapter 4 - Chapter 04

Martin langsung memicingkan ekor matanya. "Janji dengan siapa?"

"Haruskan Purple mengatakannya? Dengarkan Purple, Dad. Tidak semua hal harus dikatakan!" Nada suaranya terdengar tajam setajam tatapan yang dilemparkan ke arah Martin.

--

Martin menggeleng-gelengkan kepala. Bibir kokoh langsung menyungging senyum smirk. "Bertemu dengan, Douglas?" Tanyanya bernada sinis.

Purple mendesis. "Douglas lagi, Douglas lagi. Tidak ada hal lain apa yang bisa Dad pikirkan selain lelaki menyedihkan itu. Ingat, Dad. Jangan pernah lagi menyebutkan namanya! Purple, jijik mendengarnya." Ucapnya penuh kilatan emosi.

"Kalau begitu bertemu dengan siapa? Katakan!" Tanyanya bernada sarkastik.

Manik hazel menggeliat tak nyaman atas pertanyaan Martin. "Purple, sudah dewasa, sudah seharusnya memiliki kebebasan. Bukan terus-menerus dikekang olehmu, Daddy." Penuh penekanan pada setiap kata.

Tidak suka di suguhi sikap sang putri yang mulai memberontak telah memaksa Martin meninggikan suara. "Jaga bicaramu, Purple. Jangan pernah melampaui batasanmu sebagai Putri De Martin." Penuh penekanan pada kata terakhir.

"Untuk apa aku harus menjaga gaya bicara, sikap, dan lain sebagainya jika Dad saja selalu berlaku kasar semenjak kematian, Carlos."

"Kau!" Geram Martin dengan sebelah tangan mengayun di udara.

Bibir ranum menyungging senyum sinis. "Itulah kau, Dad. Beberapa detik yang lalu kau baru saja berjanji untuk tidak lagi membentakku apalagi sampai bersikap kasar tapi, lihat. Lihat, Daddy! Kau selalu berlaku kasar padaku." Bentak Purple penuh luapan emosi.

Di suguhi wajah cantik yang menyirat emosi berbalut rasa kecewa telah menyentuh sisi hati Martin. Rasa bersalah seketika itu menyergap. Langkah tegas mendekat, bersamaan dengan itu Purple mundur selangkah menjaga jarak dengan sang ayah.

"Jangan pernah salah paham dengan perhatian, Daddy." Kemudian dirangkumnya pipi putih mulus dengan penuh kelembutan namun, langsung di hempas kasar. Manik hazel menggeliat penuh ketajaman. "Jauhkan tanganmu, Dad." Penuh penekanan pada setiap kata.

"Dengarkan Dad, Purple. Musuh-musuh Daddy berkeliaran di luaran sana. Bagaimana pun juga kau adalah pewaris tunggal dari seluruh kekayaan De Matin. Banyak sekali mata jahat yang berusaha mendekat dan tentunya mengincarmu. Yang Daddy perdulikan di sini adalah tentang keselamatanmu."

Bibir ranum mengulas senyum sinis. "Omong kosong!"

Merasa tidak ada gunanya bertengkar dengan putri De Martin yang super keras kepala. Martin memutuskan langsung meninggalkan ruangan. Sementara itu sang putri masih saja menggeram kesal atas sikap sang ayah. "Kau telah berubah, Dad. Rasanya aku sudah tak tahan berada di lingkungan keluarga De Martin. Setiap harinya aku harus meneguk bara api. Kalian semua telah merubah kehangatan keluarga kita menjadi, Neraka."

Saat ini Purple tengah berdiri di dekat pintu kaca dengan tatapan lurus ke depan bermanjakan aktivitas Kota Berlin. Entah sudah berapa lama berdiri dengan tatapan kosong, yang jelas ponselnya berdering sehingga membawa kesadarannya kembali. Ekor matanya tampak melirik sekilas. Malas, itulah yang ia rasakan sehingga mengabaikan panggilan tersebut begitu saja.

Tampaknya seseorang di seberang sana tak juga menyerah sehingga kembali menghubungi untuk yang kesekian kalinya. "Huh, siapa sih yang telepon? Dasar mengganggu saja!' Geramnya.

Tersentak? Itulah yang Purple rasakan hingga manik hazel membeliak seketika bermanjakan nama Douglas menghiasi layar ponselnnya. "Untuk apa sih lelaki tidak tahu diri ini menghubungiku lagi?"

Seketika itu juga dadanya terlihat naik turun menahan amarah yang kembali bergemuruh hebat hingga membuat darahnya mendidih. Kilatan hazel menggeliat penuh emosi. Tanpa dapat di tahan lagi matanya memanas hingga air mata bodoh itu pun mencuat keluar. "Dasar lelaki tidak tahu diri. Lelaki menjijikkan!" Mengepalkan kedua tangan membuat darah segar merembas melalui sela-sela jari akibat tertancap kuku sendiri.

Tanpa dapat tertepis ingatan pada masa lalu, pada kejadian menyakitkan itu pun kembali menggerogoti akal sehat. Sekeras apa pun seorang Purple mencoba untuk menguatkan diri. Nyatanya, air mata menjadi saksi bisu akan pesakitan yang telah Douglas torehkan.

Kini, luka yang sama sekali belum mengering itu pun kembali mencuat ke permukaan beriringan dengan laju air mata yang mengalir deras. "Kau telah berlaku dengan sangat kejam, Douglas. Kau nodai kesucian cinta kita dengan pengkhianatan. Aku masih tidak percaya bahwa lelaki yang ku cintai dengan sangat dalam bisa berlaku dengan sangat hina."

Tanpa dapat terelakkan lagi, kenangan menyakitkan itu pun kembali berputar-putar bagai kaset rusak memaksa Purple merasakan kesakitan itu. Lagi dan lagi.

🍁🍁🍁

FLASH BACK ON

Rasa rindu bergulung-gulung membuat Purple mempercepat kepulangannya dari Venesia, Italia. Ia tidak langsung menuju ke mansion De Martin, akan tetapi meminta kepada sang supir untuk mengantarkannya menuju apartement tunangan nya.

"Tambah kecepatan!" Perintahnya pada supir pribadi.

"Baik, Ms. Purple."

Sesampainya di sana, ia meminta kepada sang supir untuk langsung kembali ke mansion. Sementara itu, ia akan pulang dengan di antarkan oleh tunangan nya. Kebetulan malam ini keluarga Martin mengadakan acara menyambut kedatangannya dari Venesia, Italia. Jadi, Purple memutuskan untuk datang bersama tunangan nya.

Langkah jenjang terlihat lebar melintasi lobby menuju lift yang akan membawanya naik pada lantai di mana kamar Douglas berada. Senyum bahagia berbalut binar-binar kerinduan memancar jelas melalui manik hazel.

Berulang kali ekor matanya melirik pada angka-angka yang mulai merangkak naik. Berulang kali pula mendesah lelah di suguhkan pada lift yang berjalan lambat. Titik permasalahan bukanlah pada kendala lift, akan tetapi mendasar pada tak sabaran yang menggerogoti Purple untuk segera melemparkan tubuh ke pelukan lelaki tercinta.

Tak berselang lama setelahnya, terdengar suara dentingan sebagai pertandan bahwa lift sudah sampai pada lantai yang di tuju. Dengan tak sabaran setengah berlari menuju kamar apartement Douglas. Jemari lentik terlihat menekan password membuat pintu tersebut terbuka sempurna. Seketika itu juga mengerutkan kening di suguhkan pada situasi saat ini. "Tumben masih gelap. Apa Douglas belum kembali dari kantor?" Tanyanya entah pada siapa karena nyatanya ia sedang sendirian.

Jemari lentik terulur menekan tombol sehingga ruangan yang gelap gulita itu pun menjadi terang benderang, bersamaan dengan itu mengedarkan pandangan ke sekeliling. Seketika itu juga mengerutkan kening beriringan dengan langkah kaki menuju sofa panjang. "Bukankah ini jas Douglas dan ini ... " kalau kunci mobilnya saja sudah di sini berarti dia sudah kembali. Tetapi kenapa lampunya tidak di nyalakan? Lanjutnya dalam hati.

Tanpa menaruh rasa curiga sedikit pun. Purple berpikir bahwa tunangan nya tersebut sedang berada di dalam ruang kerja kerjanya mempersiapkan fashion show yang akan segera di adakan di Florida.

Bibir ranum terus saja menyungging rasa bahagia bermanjakan sang kekasih yang pekerja keras. "Aku bangga memilikimu, sayang." Beriringan dengan langkah kaki menaiki tangga menuju ke ruang kerja Douglas. Akan tetapi, dengan segera mengurungkan niatnya tersebut. Entah kenapa Purple tertarik pada lantai paling atas yaitu gazebo. Ia merasakan seolah ada sesuatu yang menariknya dengan sangat kuat.

Degup jantung semakin tak menentu. "Oh, ada apakah ini? Tak biasanya jantungku berdegup hebat seperti ini." Menyentuhkan jemari ke dadanya sendiri coba meredam degup jantung yang kian memacu 1.000 kali lebih cepat dari biasanya.

Purple semakin mempercepat langkah, akan tetapi seketika langkahnya melambat ketika samar-samar mendengar suara desahan. "Suara apakah itu?"

🍁🍁🍁

Next chapter ...