Chereads / Takdir semesta / Chapter 9 - Tak harus berbalas

Chapter 9 - Tak harus berbalas

Habib putrawirama seorang laki laki yang kini berusia 30 tahunan, ia memiliki tinggi badan 175 cm yang berarti Ricard lebih tinggi 5 cm dibandingkan dirinya, kulitnya kuning Langsat sama seperti Hafsah, ia memiliki mata bulat dan hidung yang tak kalah mancung dari Ricard. Habib adalah sosok yang berlatar belakang pendidikan tinggi juga tentunya dari keluarga konglomerat. Saat ini ia menjalankan beberapa bisnis yang salah satunya adalah kedai kopi tempat Hafsah bekerja.

Habib berdiri didepan cermin besar ruangan nya. Ia menatap pantulan dirinya dari dalam cermin. Fikiran nya masih terkecoh dengan peristiwa kemarin, saat dimana Ricard memaksa masuk ruangan khusus karyawan kedai kopi miliknya

Sudah lama habib memendam perasaan nya terhadap seorang Hafsah yang tak lain adalah karyawan kedai kopi nya sendiri. Ia tak berani mengutarakan apa yang ada didalam hatinya. Karena ia takut Hafsah malah mengundurkan diri nantinya. Selama ini Habib selalu memperhatikan Hafsah. Ia menyukai segala hal yang dilakukan karyawan nya yang satu ini. Bagi Habib Hafsah adalah seorang wanita yang begitu ceria dan juga berani. Bahkan Hafsah tak segan menegur Habib jika Habib melakukan kesalahan didepannya seperti memakai dasi yang tidak rapi atau sepatu yang tidak senada dengan pakaian yang dikenakannya. Itulah kenapa Habib membiarkan Hafsah datang dan pergi bekerja sesukanya, ia tidak berani bahkan hanya untuk menegur Hafsah yang selama ini sudah mewarnai hari hari nya.

"Assalamualaikum good morning everybody" ujar Hafsah ketika memasuki kedai kopi.

"Wa'alaikumussalam! Tumben gak telat!" Ririn menatap sekilas Hafsah yang masih berdiri didepan pintu kedai kopi.

Hafsah melirik arloji dipergelangan tangan nya. Jam menunjukkan pukul 07.30 WIB. Hafsah berangkat 30 menit lebih cepat daripada biasanya. Ia sudah memutuskan untuk tidak berlarut-larut pada kejadian kemarin. Ia ingin menyibukkan dirinya agar bayangan sosok Ricard lenyap dari dalam ingatan nya.

"Aku rindu padamu rin!" Hafsah memeluk Ririn dari belakang. Ririn masih sibuk mengelap meja para pelanggan.

"Kau belum minum obat? Otak mu seperti nya mulai bermasalah!" Ujar Ririn, tangannya masih terus melanjutkan aktivitas nya.

"Kalau begitu suapi aku obat rin!!" Hafsah masih terus memeluk pinggang sahabatnya.

"Kenapa? Kau belum bertemu Ricard? Dia kan seperti vitamin untuk mu setiap hari nya sa." Ledek Ririn.

Sontak saja hafsah melepaskan pelukan nya dari Ririn. Mimik wajahnya berubah kesal.

"Hei!! Kau marah Hafsah?" Ririn terkekeh melihat Hafsah yang bergegas meninggalkan nya.

"Bagaimana keadaan hafsah?" Ujar Habib seraya menuruni anak tangga. Kaki nya melangkah mendekat ke arah Ririn.

"Eh pak bos! Tumben udah disini pagi pagi" ujar Ririn. Ia segera membalikkan badannya menatap ke arah Habib.

"Saya tidak pulang kerumah. Saya bermalam disini!"

Ririn terbelalak mendengar pernyataan dari bos nya, pantas saja ketika Ririn sampai di kedai kopi pagi ini. Kedai kopi nya sudah terbuka lebar, mula nya ia berfikir bahwa ada karyawan lain yang datang lebih awal. Tapi ia tidak mendapati siapapun setelah masuk ke dalam kedai.

"Hafsah!" Panggil Habib. Dirinya kini berjalan ke arah ruang karyawan.

"Ada yang bisa saya bantu pak bos?" Hafsah mengernyitkan keningnya. Bibirnya sudah terlebih dahulu mengembangkan senyum.

"Kamu baik baik saja? Ricard tidak menganggumu kan?" Habib menatap cemas ke arah Hafsah.

"Saya baik baik saja pak bos. Tapi pak bos barusan menyebut nama Ricard? Bagaimana pak bos mengetahui nama nya?"

Habib menghela nafas panjang. Tanpa sadar ia menyebutkan nama Ricard yang memang teman satu angkatan nya ketika SMA. Namun hubungan nya dan Ricard memang tidaklah baik sejak awal, bahkan tak jarang mereka selalu berdebat ketika berada dalam organisasi yang sama.

"Pak bos?" Panggil Hafsah ketika melihat Habib yang mematung didepannya.

"Eh iya iya anu ee.. Ricard itu em... Hufttt iya dia satu angkatan denganku di SMA."

"Oh pantes saja! Harusnya pak bos cerita dong dari awal!" Hafsah tersenyum.

"Aku fikir itu bukan hal yang penting untuk dibahas." Habib membalas senyum kepada Hafsah.

"Ohoo pak bos ini! Padahal sudah sering melihat Ricard datang ke kedai ini."

"Aku juga kerap kali melihat mu jalan bahkan pulang bersamanya." Cetus Habib.

Hafsah tertawa keras hingga menunjukkan gigi depannya, ia tidak yakin apa yang ada difikiran bos nya tetapi ia mendapati mimik kecewa tergambar jelas di wajah laki laki didepannya.

"Hahahaha!! Pak bos salah paham. Aku dan Ricard memang secara kebetulan terus bertemu dan aku pun tidak memungkirinya. Tapi kami tidak memiliki hubungan spesial seperti yang pak bos kira! Kami hanya berteman dan mungkin tidak akan bisa lagi." Ujar Hafsah. Ia menundukkan kepala setelah mengucapkan kalimat terakhir nya.

Melihat Hafsah yang menundukkan kepalanya, Habib kembali menghela nafas kasar.

"Ays Ricard! Kau memang lah bajingan! Berani beraninya kau menghilangkan keceriaan Hafsah!" Batin Habib.

"Ee.. kalau memang diantara kalian tidak ada hubungan spesial, bagaimana jika sepulang kerja nanti. Aku yang mengantar mu?"

"Ays pak bos ini! Mana mungkin aku merepotkan pak bos seperti itu. Aku sudah cukup terimakasih karena pak bos sudah baik sekali padaku selama ini!" Seru Hafsah, seraya menatap lekat kedua manik mata laki laki didepannya.

"Tapi aku tidak pernah merasa kau repotkan Hafsah. Jadi nanti pulang lah bersama ku, ya!" Ujar Habib sebelum akhirnya meninggalkan Hafsah diruangan nya.

"Hafsah? What even? Bos bilang apa tadi?" Ujar Ririn seraya berjalan mendekat ke arah Hafsah yang masih menatap punggung Habib yang terus berjalan menaiki anak tangga.

"Tidak ada apa apa Rin." Hafsah melangkahkan kakinya untuk keluar dari ruangan karyawan, disusul Ririn yang mengekor dibelakang nya.

******

Hafsah keluar dari sebuah supermarket yang jaraknya cukup dekat dengan perusahaan tempat Ricard bekerja, kakinya terus melangkah hingga sampai ditepian jalan raya, tiba tiba sebuah mobil Pajero hitam berhenti tepat didepan nya. Hafsah memundurkan langkahnya dan memutar arah.

"Hafsah!" Panggil Ricard ketika melihat Hafsah yang berjalan membawa kantong plastik ditangan nya. Dengan langkah cepat Ricard keluar dari dalam mobilnya dan berjalan membuntuti Hafsah yang kian menjauh.

Hafsah tak menghiraukan Ricard, langkahnya ia percepat. Ia sedang tidak ingin bertemu atau membahas apapun dengan Ricard saat ini.

"Hafsah ku mohon berhenti Hafsah!" Teriak Ricard, namun Hafsah tak bergeming. Ia terus berjalan menjauhi Ricard.

"Kau sebenci itu padaku sekarang? Kau bahkan tak ingin mendengar kan penjelasan ku dulu!"

Hafsah menghentikan langkahnya. Ia tersentak dengan pertanyaan Ricard, sebenarnya ia tidak membenci Ricard, hanya saja ia tidak ingin berdebat dengan nya. Kepercayaan yang baru saja dibangun Hafsah telah hancur oleh sosok laki-laki yang sempat menjadi topik pembicaraan utama nya dengan tuhan semesta alam.

"Aku minta maaf sa! Aku benar-benar minta maaf! Apa yang harus aku lakukan agar kau memaafkan aku sa?" Ujar Ricard, Posisinya kini masih dibelakang Hafsah.

"Apa kau melakukan kesalahan padaku?" Tanya hafsah, ia membalikkan badannya lalu menatap sosok laki laki didepannya.

"Hafsah akuuuu...!!" Belum sempat melanjutkan ucapannya. Hafsah sudah kembali memotongnya.

"Kau tidak salah, Aku lah yang salah! Dan kau tidak melukai ku, tapi aku lah yang melukai diriku sendiri. Jadi mari kita bersikap normal seperti sedia kala dengan tetap menjaga jarak. Ricard kau tau kaca kan? kaca itu jika sudah pecah, ia tidak akan bisa kembali utuh meskipun kau bersusah payah menyusun nya. Begitu juga kepercayaan ku! Aku tidak menyalahkan mu, tapi aku mengutuk diriku sendiri yang terlalu mudah percaya padahal bukti nyata sudah begitu berwujud nyata didepan ku."

"Hafsah jangan menyalahkan diri sendiri! Aku lah yang salah karena membohongi mu."

"Aku sudah terlalu jauh berfantasi tentang mu. Harapku sudah terlalu besar menggebu-gebu. Dan sekarang aku mendapat ganjaran akibat menduakan cinta tuhanku!" Seru Hafsah, dirinya kini berbalik membelakangi Ricard.

"Hafsah jangan seperti ini!"

"Tolong! jangan membuat ku semakin terlihat bodoh Ricard!" Pinta Hafsah dengan intonasi tinggi di akhir kalimat nya

"Hafsah tolong dengarkan aku dulu!"

"Biarkan aku sendiri!" Hafsah kembali mengayunkan langkah dan menjauh dari Ricard.

Perlahan air mata nya mulai berjatuhan. Hafsah menundukkan kepalanya, dirinya berhasil menumpahkan semua yang masih membeban di hatinya. Ia lega namun hatinya terasa begitu teriris melihat Ricard yang seolah begitu putus asa didepan nya.

"Andai saja semesta tak berkonspirasi dalam mempertemukan kami maka hatiku masih lah membatu dan tak berdetak kencang ataupun terluka oleh siapa pun." Batin Hafsah. Dirinya kini sampai didepan kedai kopi yang merupakan tempat nya bekerja.