Download Chereads APP
Chereads App StoreGoogle Play
Chereads

Takdir semesta

🇮🇩OktaNovitaSari
--
chs / week
--
NOT RATINGS
27.7k
Views
Synopsis
setiap insan pasti mengalami fase Waktu yang membuat langkah mereka terhenti, bahkan beberapa diantaranya ada yang memilih untuk berbalik arah dan menyerah, hafsah jawhara sudah terhitung ke 5 tahun ia bertempat tinggal di sebuah rumah kecil peninggalan ayahnya. Hafsah berpegang teguh pada agama yang kini ia anut sebagai kepercayaan nya. Cibiran demi cibiran keluarga bahkan tetangga terus memenuhi gendang telinga nya. Hafsah bersikukuh kuat bahwa islam adalah cahaya nya untuk sampai kesurga, meski terkadang keadaan dan tekanan hidup kerap kali membuat nya ingin menyerah. Hingga putaran waktu mempertemukan hafsah dengan seorang laki laki yang perlahan mengambil alih posisi kosong dihatinya, kehangatan nya mampu membuat hafsah menemukan ketenangan yang sudah lama ia cari. Tetapi bukan hidup namanya jika tidak di uji. iya,hafsah di uji oleh perasaannya sendiri. Ia mencintai terlalu dalam lelaki yang berbeda agama dengan nya,bak tembok besar menghadang percintaan keduanya, antara keimanan dan rasa cinta menjadi pilihan berat yang menimpa hidupnya. Akankah takdir menyatukan keduanya? Apakah hafsah akan menyerah pada agamanya? Bagaimana kelanjutan kisah mereka? Ikuti terus update cerita selanjutnya.
VIEW MORE

Chapter 1 - Hafsah

Angin malam berhembus cukup kencang, memberi isyarat bahwa akan segera turun hujan. Ditengah kegelapan malam yang dingin tampak seorang wanita yang berlarian kecil memasuki lorong yang cukup sepi tanpa ada pejalan kaki lainnya. Iya, hafsah jawhara seorang wanita berusia 26 tahun yang bekerja disebuah kedai kopi. ia tinggal di sebuah rumah kecil tepat di ujung lorong yang terbilang gelap tanpa ada sedikitpun cahaya. Sesekali matanya terus menatap sendu pada arloji coklat yang melingkar ditangan kirinya.

"Akh sial!! Sudah Jam 10 malam!" Ujarnya manakala menyaksikan Waktu yang berjalan tanpa jeda.

Tiba tiba Hafsah menghentikan langkah nya ketika mendapati sepasang sepatu yang berdiri tepat di depannya saat ini. Hati nya terus menerka nerka siapa seseorang yang berdiri mematung tepat menghalangi langkahnya.

"Ekhem" seseorang yang berdiri tepat di depan Hafsah akhir nya mengeluarkan suara. Mungkin saja orang itu mendengar suara isi hati hafsah yang bertanya-tanya siapa sosok yang berada didepan dirinya.

"Ah dia pria!" Ujar hafsah dalam hati. Ia melanjutkan langkahnya tak perduli lagi pria yang berdiri tepat didepannya.

"Minggir!" Hafsah kembali membuka suara tanpa rasa takut. Ia tak perduli apa yang akan terjadi selanjutnya.

"Aku bilang minggir kau!!" Teriak hafsah geram menyaksikan pria didepannya yang seolah tuli tidak mendengarkan perintah nya.

Pria itu menutup telinganya, suara hafsah cukup berdengung keras hampir menghancurkan gendang telinga nya.

"Aishh tak bisa kah kau berkata lembut sedikit" cicit laki laki didepannya. Karena menyadari bahwa usahanya menakuti hafsah telah gagal total. Hafsah tak bergeming. Ia terus berjalan menabrak bahu pria didepannya.

"Kak kenapa kau pulang larut malam hari ini?" Ujar hardian adik laki laki nya hafsah.

"Kau tidak takut kak? Aish.. padahal aku sudah berdandan selayaknya seorang penjahat yang siap menculik wanita menyebalkan seperti mu"

Hardian terus mengiringi langkah hafsah yang sedang membuka pintu rumah mereka.

"Mama mana?" Kata hafsah setelah melangkah memasuki rumah tempat tinggal nya.

Matanya beralih ke Hardian yang mengangkat bahunya pertanda tidak tahu. Hafsah kembali melangkah mendekat ke arah adiknya. Matanya menatap penuh selidik kepada laki laki berusia 16 tahun didepannya.

"Aish mama pasti tidurlah!" Hardian kembali membuka suara, tak tahan rasanya menghadapi kakak perempuan seperti Hafsah yang selalu memukul keras kepalanya jika berbohong.

Setelah mendapatkan jawaban hafsah melanjutkan langkahnya masuk kekamar tidur yang menjadi tempat nya menumpahkan segala rasa,segala lelah. Tembok bercat putih dengan perabotan serba pink menjadi ciri khas utama kamar seorang hafsah. Meski terkesan berani dan tegar hafsah tetaplah seorang perempuan yang mencintai warna pilihan perempuan pada umumnya.

"Kak! kau tidak membawa pesananku? Aku sudah menunggumu pulang selarut ini!" Rengek hardian dari balik pintu kamar hafsah.

Ah, benar hafsah ingat sebuah pesan dari adik satu satunya yaitu meminta dibelikan voucher data untuk nya. Hafsah kembali membuka pintu melemparkan sebuah kertas kotak kecil yang masih terbungkus rapi sebelum akhirnya kembali menutup pintu.

"Gunakan dengan benar! Aku tidak membelikan nya untuk kau terus bermain game sepanjang waktu!" Hafsah berteriak dari dalam kamarnya seraya merebahkan diri nya ke kasur bercorak pink kesayangannya.

"Terimakasih kakak ku tercinta! Aku sayang padamu!" Teriak hardian meloncat penuh kegirangan sebelum akhirnya berlalu pergi menuju kamar nya sendiri.

******

Kicauan burung menari nari melengkapi kedatangan secercah cahaya mentari pagi, hawa dingin menyelimuti sekeliling kamar hafsah yang masih terus mengkikuk didalam selimutnya.

"Kakak, mama aku berangkat ya!" Terdengar nyaring suara Hardian yang telah siap dengan tas ransel dipunggung nya. Ia kembali melanjutkan langkah, menutup pelan pintu masuk rumahnya.

Hafsah membuka pelan kedua matanya, tangan kanan nya mengusap kasar wajah sendu setengah ngantuk khas orang baru bangun tidur. Dengan langkah gontai hafsah berjalan kearah pintu kamarnya. Khimar pendek sedada sudah menutupi kepala nya, kini Jemari tangannya sudah siap menarik gagang pintu tapi tiba tiba pintu nya terbuka sendiri, menampilkan wanita separuh baya yang berdiri tepat didepan pintu kamar hafsah.

"Mama?" cicit hafsah ketika mendapati ibunya didepan pintu kamar miliknya.

"Kau tidak kerja? Anak gadis bangun sesiang ini! Memangnya bos mu itu tidak marah? Memiliki karyawan pemalas seperti mu! Datang dan pergi kerja sesuka hati! Seandainya mama adalah bos mu sudah mama pecat kau ini hafsah!" Teriak wanita separuh baya yang merupakan ibu hafsah. Mimik wajahnya memerah karena merasa terbakar amarah melihat kelakuan anak tertuanya.

"Alhamdulillah mama bukan bos tempat hafsah bekerja ma! Allah maha baik sudah memberikan hafsah seorang ibu yang terus menjadi alarm setiap pagi, yang celotehan nya mampu membuat mata hafsah langsung terbuka lebar dan membuat gendang telinga hafsah hampir pecah!" Ujar hafsah dengan suara dilembut lembut kan, bibirnya mengembangkan senyum manis berharap mendapat pelukan hangat wanita yang sudah melahirkan nya.

Tangan kanan ibunya melayang hendak memukul kepala anak tertuanya, dengan sigap Hafsah menghindari pukulan yang dilayangkan ibunya. Ia kemudian berlari menjauh.

"Kembali kau anak nakal!!!" Suara lantang ibunya kembali terdengar.

Hafsah sukses melarikan diri keluar dari rumahnya, tangannya terus menutup kedua telinganya.

"Aish! Seperti nya aku tak perlu air untuk mencuci wajah! Suara teriakan mama cukup membuat ku terlihat bugar! Tidak seperti orang yang baru bangun tidur!" Ujarnya kemudian terus melangkah menyusuri lorong kecil didepannya, terlihat beberapa pejalan kaki menatap sinis ke arahnya. Hafsah tak bergeming menyadari ini bukan pertama kalinya ia mendapatkan perlakuan seperti ini, bahkan tak jarang telinga hafsah menangkap beberapa orang yang berbisik mencaci maki dirinya.

"Lihat wanita sok suci"

"Kain apa yang menutup kepala nya itu? Tampilan nya sudah seperti orang kampungan!"

"Sebentar lagi dia pasti memakai penutup wajah yang seperti ninja ninja itu!"

"Dasar orang gila!"

"Begitulah kalo hidup tanpa seorang ayah!"

"Pakaian tertutup rapat seperti orang gila haha!"

"Orang miskin aja belagu!"

Rentetan cercaan yang sudah terbiasa menyelimuti hari hari hafsah, wujud kebencian yang ditujukan khalayak ramai kepadanya. Hafsah hidup dilingkungan penduduk ateis atau yang biasa disebut tidak bertuhan. Jadi tak heran jika mereka memandang rendah hafsah hanya karena agama islam yang di anut ia dan keluarganya.

"Bik nasi uduk nya 2 ya!" Ujar hafsah setelah sampai tepat didepan pedagang kaki lima yang berada dipinggiran jalan raya.

Hafsah kembali menghela nafas menyaksikan ekspresi kebencian dari sang penjual nasi uduk yang juga menganut ateis seperti kebanyakan penduduk dilingkungan ini.

"Ini!" Ujar penjual nasi uduk memberikan kasar 2 bungkus nasi uduk yang telah terbungkus didalam kantong plastik.

Hafsah melemparkan senyum kepada penjual nasi uduk, tangannya memberikan uang 10.000 yang langsung diambil kasar penjual nasi uduk itu. Tak mau memperpanjang masalah hafsah pun langsung pergi meninggalkan penjual nasi uduk itu. Bibirnya tak henti henti melantunkan kalimat istighfar berharap emosi tidak mengambil alih dirinya.

/Ya Allah, tuhan yang maha pendengar,maha pengasih dan maha penyayang, anugerah kan lah Kepada hamba mu ini kekuatan sabar yang tiada batas. Kuatkan iman hamba ya Allah, sehingga meski kerikil cercaan mereka terus menghujami langkah ku, tetap kuat kan kepercayaan ku terhadap kuasamu. Ya Allah engkau maha pengampun semoga setiap rasa sakit yang ku rasakan menjadi penawar dosa dosa ku selama ini, aamiin ya Allah./

Hafsah menghela nafas lega setelah melantunkan do'a penuh harap kepada penciptanya.