Tanya teman-teman Stefan setelah melihat Stefan terlentang di atas tanah. "Kalian, kenapa diam saja? beri pelajaran kepada gadis ini!"
"Hiya...!!"
Brak...
Brak..
Brak...
Dengan sekejap, musuh-musuh Nadia sudah terkapar tak berdaya. Mereka semua terbaring kesakitan. Arsya yang melihat aksi Nadia merasa sangat ketakutan. Bahkan ia sampai bersembunyi di balik pohon. Nadia menendang, memukul dan membanting mereka tanpa ampun. Di pastikan mereka semua akan mengalami sakit di sekujur tubuhnya.
"Hei kau Marsha, ayo kita pulang!" teriak Nadia memanggil Arsya, setelah semua musuhnya telah dilumpuhkan.
Sementara Rachel, bibirnya menganga setelah melihat aksi Nadia gang begitu extrem, bahkan ia melumpuhkan Stefan ketua geng yang paling di takuti di sekolah ini.
"Jangan sentuh teman-temanku lagi. Pergilah!" teriak Nadia lantang. Stefan dan genk-nya pun pergi dan lari terbirit-birit.
"Na-Nadia, terimakasih banyak, kau telah menolongku!" ungkap Arsya penuh rasa syukur.
"Kau santai saja. Lain kali kau harus lehih. berhati-hati!" terang Nadia.
"Nadia, kau sungguh hebat. Apa kau baik-baik saja? kau benar-benar melumpuhkan mereka semua dengan tanganmu sendiri!" terang Rachel merasa kagum dengan Nadia.
"Aku tak apa, kalian jangan khawatir. Ayo kita pulang, nanti terlanjur sore!" ajak Nadia kepada teman-temannya.
"Sekali lagi, aku berterima kasih kepadamu! bagaimana jika mulai sekarang kita menjadi teman?" pinta Arsya memohon.
"Baiklah kita teman!" terang Nadia sembari mengulurkan telapak tangannya.
"Baik kita teman!" sahut Rachel sembari menimpa tangan telapak tangan Nadia. Di susul dengan telapak tangan Arsya.
"Kita adalah teman, yes!" teriak mereka bertiga sepakat.
...
Alan Sander. Pria paruh baya yang terkenal sangat baik dan dermawan, masih ada garis keturunan Jerman dari nenek moyangnya, maka dari itu masih ada nama marga di belakang namanya. Ia memiliki toko kelontong yang lumayan besar terletak di dekat pasar setempat. Setiap hari ia bekerja sangat giat, tak heran jika sekarang Alan dan keluarganya bisa hidup berkecukupan berkat kegigihan Alan. Dia adalah ayah kandung, Diana, dan Nadia yang sangat mereka cintai.
Setiap pulang sekolah, seusai makan dan mandi. Nadia selalu membantu ayahnya di toko, bahkan terkadang ia harus pulang larut malam. Nadia melakukan ini semua karena ia merasa kasihan kepada ayahnya yang bekerja begitu keras. Sedangkan kakaknya, Diana. Ia hanya berada di rumah karena mereka semua paham jika Diana memiliki riwayat sakit yang cukup kronis. Hal itu membuat ibunya selalu menomor satukan Diana di atas segalanya.
"Arsya, Rachel. Aku pulang dulu! kalian berhati-hati lah!" kata Nadia ketika bus yang ia kendarai sudah sampai di dekat rumahnya.
"Baiklah, sampai jumpa Nadia!"
"Sampai jumpa Nad!"
Teriak kedua temannya memberi salam. Hari Masa Orientasi Siswa tinggal sehari lagi. Besok adalah puncak acara sekaligus penutupan. Semua siswa di minta untuk membuat tenda dan bermalam di sekolah. Hal itu membuat Nadia lebih semangat, ia tidak sabar untuk bertemu dengan teman-teman barunya. Sedangkan Diana, ia terlihat sangat murung, bahkan tiga hari bersekolah, ia masih belum mendapatkan seorang teman.
Setelah sampai di rumahnya, Nadia bergegas untuk mandi. Kemudian ia pergi makan, karena memang kegiatan di sekolah hari ini sedikit penuh, di tambah lagi Nadia memilih naik bus dengan teman-temannya. Maka dari itu ia pulang sedikit terlambat.
"Nadia, cepat pergi ke toko! bagaimana kau pulang sampai menjelang sore seperti ini?" teriak Lisa ibu kandung Diana dan Nadia.
"Tapi ibu, aku belum makan. Bolehkan aku makan sebentar saja?" tanya Nadia.
"Hah kau ini benar-benar merepotkan. Cepat pergilah, kau bisa makan nanti setelah dari toko!" teriak Lisa meninggi.
Nadia mengurungkan niatnya untuk makan. Ia kembali menaruh piring yang sudah ia bawa.
"Ibu, apa pisang coklatnya sudah matang, aku sangat menginginkannya ibu!" kata Diana bersikap manja kepada Lisa.
"Sebentar sayang, ini ibu baru saja akan membuatnya!" terang Lisa penuh kasih sayang.
Nadia hanya melirik kakaknya, yang kala itu tidak menghiraukan kehadiran Nadia sama sekali. Nadia hanya menelan ludahnya saat mendengar kata pisang cokelat. Sebenarnya ia ingin sekali memakannya karena ia merasa sangat lapar, tapi apa boleh buat. Lisa sudah menyuruh Nadia pergi ke toko untuk membantu ayahnya.
Nadia memejamkan matanya, lagi-lagi ia tidak mendapatkan keadilan dirumahnya sendiri. Namun Nadia hanya memendamnya, ia sangat mencintai keluarganya, ia tidak ingin terjadi pertikaian dalam keluarganya.
Nadia segera mengambil kunci motor maticnya, yang beberapa bulan lalu di belikan oleh ayahnya sebagai hadiah ulang tahunnya. Namun ia masih tidak berani membawanya ke sekolah, karena Nadia belum memiliki ijin mengemudi. Ia hanya memakainya saat pergi ke toko, atau pergi ke tempat yang dekat dengan rumahnya.
"Ayah!" panggil Nadia sembari mencium punggung tangan ayahnya.
"Nadia, apa kau sudah pulang? bagaimana sekolahmu hari ini?" tanya Alan.
"Baik ayah, aku sangat menyukai sekolahku dan teman-temanku!" terang Nadia sembari merapikan rak-rak yang berantakan.
"Apa kau sudah makan?" tanya Alan.
Nadia terdiam, ia memegangi perutnya. Sebenarnya ia sangat lapar. Tapi ia tidak ingin membuat ayahnya khawatir.
"Aku belum begitu lapar ayah, Nadia bisa makan nanti!" terang Nadia.
"Baiklah kalau begitu kau jaga toko, ayah akan mandi dulu!" perintah Alan.
"Baiklah ayah, jangan lupa ayah juga harus makan dulu, aku akan baik-baik saja di sini!" terang Nadia.
"Baiklah nak! ayah pulang dulu!" kata Alan pamit.
Nadia Sander, gadis cantik berambut panjang dan bergelombang itu selalu bekerja dengan gigih. Ia merasa sangat kasihan melihat ayahnya yang bekerja keras untuk keluarganya, maka dari itu, ia selalu mementingkan kekuarga dari pada dirinya sendiri.
Nadia adalah gadis yang tidak terlalu banyak gaya, ia selalu lebih nyaman memakai celana pendek selutut, dengan atasan kaos oblong. Namun dengan style-nya yang seperti ini, tidak mengurangi aura kecantikannya. Nadia lebih suka mengikat rambutnya, ketidak adilan selalu ia terima sejak ia masih kecil, hal itu membuat Nadia terlahir sebagai sosok yang tegas, keras dan berani. Namun ia tetap mengalah saat berada di tengah keluarganya.
"Hei Nadia, kenapa kau tidak mau pulang dengan kami tadi?" tanya Angga, ia adalah pegawai ayahnya untuk membantunya bekerja di toko, namun ia juga bertugas untuk menjemput Nadia dan Diana saat pulang sekolah.
"Tidak apa-apa, aku hanya ingin pulang dengan teman-teman baruku, bukankah itu menyenangkan? aku baru saja mengenal mereka, jadi aku harus lebih akrab, agar aku merasa betah di sekolah baruku!" terang Nadia.
Angga pun tersenyum mendengar cerita Nadia, pria berumur sekitar 20 tahun. Setelah lulus SMA, ia lebih memutuskan untuk bekerja, karena kondisi keluarganya yang terbilang serba kekurangan, memaksanya untuk menjadi tulang punggung. Ia memilih bekerja di tempat Alan, karena jaraknya yang cukup dekat dari rumah.