"Aku mau tepung satu kilogram"
"Gula dua kilogram ya!"
"Sabun mandi lima biji!"
Nadia kuwalahan untuk melayani customer yang berbelanja di tokonya. Bagaimanapun juga ini adalah tugasnya sampai saatnya nanti toko tutup. Angga lah yang akan membantu pekerjaan Nadia. Sedangkan Diana, dia bagaikan anak emas. Sebenarnya Alan juga menyuruh Diana untuk membantu adiknya di toko, namun ibunya selalu melarangnya karena sakit yang di derita Diana. Ibunya takut akan terjadi apa-apa dengan Diana.
Waktu sudah menunjukkan pukul delapan malam. Satu jam lagi toko Nadia akan tutup. Sebenarnya ia merasa sangat lelah, akan tetapi Nadia lebih tidak tega jika membiarkan ayahnya bekerja terlalu keras.
"Mau rokoknya satu!" kata seorang pelanggan yang tiba-tiba mengangetkan Nadia.
"Ah iya sebentar!" kata Nadia sembari mengambil sebuah rokok untuk pria tersebut.
"Tunggu, sepertinya aku pernah melihatmu?" kata pria itu.
"Aku? mungkin kau salah lihat!" terang Nadia.
"Ah aku ingat, bukankah kau yang mengalahkan pelatih taekwondo itu?" seru pria itu yang ternyata adalah Jovan. Teman sekelas Nadia. Namun mereka belum begitu akrab.
"Bagaimana kau tahu?" tanya Nadia heran.
"Aku juga bersekolah di tempatmu, bahkan aku sekelas denganmu!" terang Jovan.
"Ah aku tahu. Kau yang duduk sebangku dengan Marsha kan?" tanya Nadia bersemangat.
Jovan mengerutkan keningnya. "Marsha? maksudmu Arsya?"
"Aku lebih suka memanggilnya, Marsha and the bear!" kata Nadia di ikuti tawanya.
"Kau lucu juga ya!! baiklah aku pulang dulu!" pamit Jovan.
"Sampai jumpa!!" kata Nadia sembari melambaikan tangannya.
Jovan melangkahkan kakinya pergi meninggalkan toko Nadia. Ia kemudian mencoba menyalakan motornya. Namun beberapa kali ia mencobanya, motornya tetap tidak menyala. Nadia yang melihat Jovan kesulitan segera mendekatinya.
"Kenapa motormu?" tanya Nadia.
"Sepertinya motorku perlu di perbaiki!" gerutu Jovan.
"Lalu bagaimana kau akan pulang?" tanya Nadia.
Jovan berpikir sejenak. "Apa kau mau menolongku?"
Nadia mengangguk.
Beberapa menit kemudian.
"Nadia apa kau baik-baik saja?" teriak Jovan.
"Tenang saja. Aku tidak apa!" teriak Nadia.
Karena motor Jovan mogok, Nadia terpaksa mengendarai motor itu. Sedangkan Jovan, ia mengendarai motor Nadia sembari mendorong motornya yang mogok dengan kakinya. Nadia hanya perlu menjaga keseimbangan agar ia tidak terjatuh saat Jovan mendorong motor yang ia kendarai.
Beberapa menit kemudian, mereka telah sampai di rumah Jovan. Nadia terbelalak melihat rumah yang begitu mewah dan megah. Bibirnya menganga, bahkan sesekali ia menelan ludahnya. Nadia benar-benar terkesima melihat kemegahan rumah Jovan. Mereka pun berhenti di halaman rumah Jovan. Bahkan sebagian halaman rumah itu di jadikan taman kecil yang sangat cantik, banyak terpasang lampu bohlam di taman tersebut.
"Nadia, terimakasih kau sudah membantuku. Mulai sekarang mari kita berteman!" kata Jovan sembari mengulurkan tangannya untuk menyetujui bahwa mereka berteman.
"Sama-sama. Hem...baiklah kita teman, kalau begitu aku pamit!" kata Nadia sembari menjabat tangan Jovan tanda ia menyetujui pertemanan tersebut.
"Sebentar, bagaimana jika kita makan dulu. Kebetulan nasi goreng yang ada di seberang jalan itu terkenal sangat lezat!"
"Ah tidak perlu repot-repot, aku sudah kenyang!" papar Nadia.
Kruk...kruk...
Tiba-tiba perut Nadia berbunyi. Bahkan ia belum makan sedari pulang sekolah. Nadia merasa malu, karena kebohongannya terbongkar.
"Oh jadi sekarang perut kenyang juga bisa menimbulkan bunyi?" sindir Jovan mengerutkan alisnya.
Nadia terdiam malu, ia hanya memanyunkan bibirnya.
"Ayo pergi, aku akan menraktirmu. Anggap saja ini sebagai rasa terimakasihku karena kau telah menolongku!" ungkap Jovan sembari menarik tangan Nadia.
Nadia pun pasrah, karena sebenarnya ia juga merasa sangat lapar. Mereka berdua melangkah menyebrang jalan untuk membeli nasi goreng.
...
"Angga, dimana Nadia?" tanya Alan yang akan menutup toko.
"Nadia sedang mengantar temannya, karena motor temannya mogok pak!" terang Angga.
"Baiklah, kalau begitu kita tutup tokonya. Sambil menunggu Nadia pulang!" perintah Alan.
Namun setelah ditunggu, Nadia belum juga pulang. Alan pun memutuskan untuk pulang terlebih dahulu, sedangkan Angga ia akan menunggu Nadia sampai datang.
Beberapa menit kemudian, Nadia datang dengan motornya.
"Mas Angga, di mana ayahku?" tanya Nadia.
"Kau lama sekali? ayahmu baru saja pulang!" terang Angga.
"Baiklah, aku juga akan pulang! kau segeralah pulang!" perintah Nadia.
"Baik, aku akan pulang!" kata Angga.
Nadia melajukan motornya dengan kecepatan tinggi, hal itu sudah biasa di lakukan Nadia. Ia termasuk lihai dalam mengendarai motor.
Sesampainya di rumah, ternyata ayahnya sudah tertidur pulas di sofa ruang keluarga dengan televisi yang masih menyala.
'Ayah pasti menungguku hingga tertidur, maafkan aku ayah!' batin Nadia menyesal.
Tiba-tiba ibu Nadia keluar dari kamarnya. "Hei Nadia, cepat setrika baju Diana. Besok ia akan memakainya ke sekolah!"
"Ibu, bukankah Diana sudah dewasa, dia bisa melakukannya sendiri!" terang Nadia.
"Kenapa kau selalu membantah? cepat lakukan. Dasar payah!" kata ibunya kesal.
Nadia pun meraih seragam tersebut, ia membawanya ke ruang laundry dan menyetrikanya. Sebenarnya Nadia merasa sangat lelah, tapi tetap saja ibunya selalu tidak memahami Nadia.
'Apa aku bukan anak kandungnya? kenapa ibu selalu memperlakukanku tidak adil?' batin Nadia sedih.
...
Jovan membentangkan tubuhnya di atas ranjangnya. Matanya menatap langit-langit kamarnya. Terlintas senyum manis Nadia yang sampai saat ini masih terngiang dalam angan Jovan.
'Nadia. Dia adalah wanita yang sangat manis. Bahkan dia terlihat berani dan mandiri. Apalagi saat melihatnya menendang pelatih taekwondo itu hanya dengan satu tendangan. Bukankah dia sani hebat? Ah aku sangat bersyukur memiliki teman sepertinya' batin Jovan sembari tersenyum kecil.
Bagaimana dengannya yang selalu kesepian. Keluarga Jovan yang sibuk tidak pernah memiliki waktu untuk Jovan, bahkan ia melakukan sesuatu hal sendiri. Ayah dan Ibu Jovan hanya memberikan materi dan kemewahan untuk Jovan, tapi tidak dengan kasih sayang. Hal ini membuat Jovan selalu menganggap dirinya sebatang kara. Meskipun sebenarnya ia memiliki seorang kakak. Namun mereka selalu terlihat tidak akur. Bahkan saat di rumah pun, mereka berdua tidak saling bertegur sapa.
Mungkin karena mereka adalah sama-sama pria dan memiliki watak yang sama-sama keras. Sehingga mereka berdua selalu mementingkan ego masing-masing.
Jovan memiringkan tubuhnya, saat ini ia sedang menatapi foto keluarganya yang ada di atas meja belajarnya. Jovan sangat merindukan momen-momen tersebut, saat mereka berkumpul bersama-sama dan bahagia. Namun sekarang itu adalah hal yang mustahil. Jangankan untuk pergi berlibur, untuk makan bersama di rumah saja mereka tidak memiliki waktu untuk kedua putranya.
Namun hal ini sudah terbiasa di terima Jovan dan Jonas. Mereka sangat kesepian. Namun setelah Nadia hadir di kehidupan Jovan, ia merasa lega. Akhirnya ia bisa mendapatkan teman di waktu yang begitu singkat.