Berbagai makanan sudah tersaji di meja makan. Di antaranya adalah, nasi goreng, ayam goreng, sayur opor, rendang dan juga tumis kangkung. Diana dan Nadia makan dengan lahap, jarang-jarang Lisa memasak sebanyak ini, meskipun di bantu oleh Bu Nur assisten rumah tangga yang bekerja paruh waktu, tapi Lisa sebelumnya memang tidak pernah memasak sebanyak ini. Ini terjadi tak lain adalah karena Almas telah memberinya uang yang seharusnya untuk keperluan Nadia. Dan tentunya tanpa sepengetahuan Alan.
"Ibu, aku sudah bosan dengan sepatuku. Bagaimana jika nanti sore kita pergi beli sepatu baru?" pinta Diana kepada ibunya.
"Baiklah nak, pilihlah sesukamu. Nanti sore kita ke mall!" papar Lisa.
"Ibu, aku juga ingin beli tas baru. Tas ku sudah lama sekali, bukankah tas ini adalah tas semenjak aku SMP?" pinta Nadia.
"Kau ini, pakai saja yang itu dulu. Lagipula tas kamu masih bisa di pakai kan?" terang Lisa cetus kepada Nadia.
Nadia pun terdiam, lagi-lagi ia selalu di perlakukan tidak adil di rumah ini. Namun Nadia sudah terbiasa mendapat perlakuan seperti itu. Ia hanya menghela nafas, dan meminum segelas air putih di depannya agar ia merasa tenang.
Alan yang menatapi Nadia, ia merasa kasihan melihat Nadia. Padahal sudah berkali-kali ia memberi pengertian kepada Lisa. Namun tetap saja Lisa berbuat tidak adil.
"Oh iya Nadia. Ayah punya sesuatu untukmu" kata Alan sembari mengeluarkan sebuah kartu dari dompetnya.
"Apa ini yah?" Nadia membaca kartu itu dengan seksama. "Wahh SIM, terimakasih ayah. Aku sangat senang!"
"Bagaimana kau memberinya SIM, sementara umurnya belum genap 17 tahun?" kata Lisa membantah.
"Biarkan, saja. Lagipula ia sudah mahir mengendarai motornya. Biar dia tidak selalu naik bus jika ke sekolah. Hari ini aku ada rapat dengan bisnis baruku. Biar Angga yang membuka toko!" kata Alan sembari beranjak dari tempat duduknya.
"Ayah, berhati-hatilah. Terimakasih untuk SIMnya!" kata Nadia sembari mengulurkan tangannya untuk saliman.
"Berkendara lah dengan baik nak. Ayah berangkat dulu!" kata Alan sembari pergi.
"Nadia, kau beruntung sekali. Ayah mempercayaimu untuk mengendarai motor, dan memberimu SIM. Sedangkan aku? bahkan motor saja aku tidak punya!" gerutu Diana.
Nadia mencerna perkataan saudaranya. 'Bukankah ia yang selalu mendapatkan apa yang ia mau, ibu selalu mengutamakan Diana.' batin Nadia.
"Tenang saja, sebentar lagi, ayah juga akan memberimu motor sepertiku!" kata Nadia.
"Kau ini memang selalu mencari muka di depan ayahmu. Dasar wanita bermuka dua" kata Lisa lantang.
Nadia hanya diam, ia pergi dari kursinya dan menuju dapur untuk mencuci piring sisa makannya. Kemudian Lisa membuntuti Nadia. "Kau cuci juga piring-piring ini!"
Nadia menghela nafas. Padahal ia akan pergi ke sekolah, sedangkan waktu sudah hampir hampir siang.
"Nadia, biar Bu Nur saja yang menyelesaikannya. Kau berangkatlah ke sekolah!" perintah bu Nur.
"Tidak Bu Nur, aku tak apa. Ibu akan marah jika mengetahuinya!" jawab Nadia sembari mencuci piring-piring kotor sisa sarapan orang serumah.
Bu Nur mengelus dadanya, ia merasa kasihan kepada Nadia. Bu Nur sudah lama bekerja dengan keluarga Pak Alan. Untuk itu, Bu Nur mengetahui semua penderitaan yang di alami Nadia.
"Nadia. Aku yakin kelak kau akan menjadi orang yang sukses. Sukses dalam artian, kau akan membuat orang-orang di sekitarmu merasa bahagia. Bahkan kau akan menjadi orang yang berguna bagi orang lain. Hatimu benar-benar mulia nak!" kata Bu Nur sembari meneteskan air matanya.
Nadia tersenyum mendengar nasehat yang di berikan Bu Nur, ia merasa bahwa Bu Nur adalah sosok ibu yang sangat mengerti dirinya.
"Ibu tenang saja. Nadia baik-baik saja!" kata Nadia sembari mengelus tangan Bu Nur.
Setelah selesai mencuci piring-piring kotor. Nadia segera memakai sepatunya. Seperti biasa, Diana selalu meninggalkan Nadia. Karena Lisa selalu menyuruh Diana berangkat lebih dulu. Nadia sudah sering di perlakukan seperti itu semenjak mereka masih SMP. Untuk itu Nadia merasa lebih nyaman jika naik bus. Tapi kali ini, karena ayahnya sudah membuatnya SIM, Nadia akan pergi dengan motornya.
...
"Berhenti, jika kau melangkah pergi, aku tidak akan segan-segan membunuhmu!"
"Sebenarnya apa maumu?"
"Kenapa kau selalu berkencan dengan banyak wanita? aku tahu kau punya uang banyak, tetapi kenapa kau manfaatkan situasi ini dengan berbuat seenakmu sendiri?"
"Kau ini, sudah aku bilang dia hanya rekan bisnisku!"
"Kalau begitu ceraikan aku, cepat ceraikan aku. Aku sudah muak dengan kelakuanmu!"
"Aku juga sudah muak dengan semua tuduhanmu!"
Jovan merasa geram, setiap hari dia mendengar semua pertengkaran kedua orangtuanya dengan sebab yang sama. Bahkan sekarang ia sudah menginjak SMA, tapi masih saja kedua orang tuanya tidak pernah memikirkan bagaimana perasaan Jovan jika terus menerus melihat pertengkaran mereka. Jovan memang tidak pernah kekurangan, apa yang dia inginkan selalu di turuti oleh orangtuanya. Namun hanya kasih sayanglah yang tidak pernah ia dapatkan.
Brak!
Jovan membanting pintu kamarnya dengan kencang. Seketika pertengkaran kedua orangtuanya terhenti.
"Jovan, apa kau akan berangkat ke sekolah?"
"Jovan, bagaimana dengan sekolahmu, apa kau membutuhkan mobil? agar kau tidak kehujanan ataupun kepanasan. Bagaimanapun sekolahmu sekarang cukup jauh"
"Kalau begitu jangan banyak bicara, lekas belikan dia mobil!"
"Hei aku masih bertanya kepadanya, mobil jenis apa yang ia inginkan!"
"Cuukuuupppp!!" teriak Jovan. "Apa kalian tidak malu setiap hari bertengkar seperti ini, jika kalian ingin bercerai. Bercerai lah! setidaknya aku bisa hidup tenang"
Jovan pun segera berlalu dan pergi ke sekolah, tanpa menghiraukan kedua orangtuanya. Jovan sudah merasa benar-benar lelah, terkadang ia hanya ingin merasa damai, tapi kedua orangtuanya selalu membuat keributan. Jovan segera memakai jaket hoodienya yang berwarna hitam. Kemudain mengenakan helm Cross trailnya.
Tin...tin...
Tiba-tiba ada motor yang mengklakson kencang di depan rumah Jovan, hal itu membuat Jovan semakin naik pitam.
"Hei apa kau sudah gila. Kenapa mengklakson sekencang itu?" teriak Jovan sembari menengok ke arah motor itu.
"Hei Jovan, ayo kita berangkat!!" teriak Nadia sembari melambaikan tangannya.
Jovan pun segera mendekati Nadia. "Nadia? kau membawa motor sendiri?"
"Ayahku sudah membuatkan aku SIM, jadi mulai sekarang aku bisa mengendarai motor sendiri ke sekolah. Bukankah kau juga naik motor? ayo kita berangkat bersama!" ajak Nadia penuh semangat.
"Kalau begitu tunggu aku sebentar!" perintah Jovan.
Ia pun segera berlari mengunci motornya, kemudian menyerahkan kepada Security nya. Lalu Jovan kembali menghampiri Nadia. Ia pun di buat bingung dengan tingkah Jovan.
"Ayo berangkat!" ajak Jovan.
"Maksudmu?" tanya Nadia kebingungan.
"Ayo kita berangkat naik motormu saja. Aku akan memboncengmu. Cepat berikan kunci motormu!" perintah Jovan.