Chereads / PRAETERITUM / Chapter 2 - Bab 1

Chapter 2 - Bab 1

'Semuanya sudah hancur.'

[Praeteritum]

Boleh kita berharap akan masa depan yang cerah dan bahagia? Boleh kita bahagia di saat orang lain tersakiti?

Aira selalu bimbang dengan pertanyaanya itu. Pertanyaan yang selalu berputar di kepalanya dari kelas tiga SMP sampai sekarang dirinya duduk di kelas Tiga SMA.

Masa depan? Omong kosong dengan masa depan!

Gadis itu tidak pernah berharap akan masa depannya yang indah. Semuanya sudah hancur saat dia menyadari alasan yang selama ini ia gunakan untuk meraih masa depannya sudah pergi.

Gadis itu bahkan pernah berpikir, untuk apa ia hidup di masa kini tapi dirinya tidak memiliki alasan untuk hidup di masa depan yang akan datang.

Hidupnya sudah lama hampa dan kosong, semuanya terasa tak ada artinya untuk Aira. Apalagi di saat sang Ayah yang menjadi alasannya untuk bertahan pergi untuk selamanya. Tak ada alasan untuk Aira untuk bertahan.

Meskipun masih ada sosok Ibu yang menyayanginya sepenuh hati, hati Aira masih merasakan kehampaam. Apalagi sat mengingat bahwa Ayahnya pergi karena seseorang. Dan seseorang itu adalah orang yang pernah berlabuh di hatinya. Mengingatnya malah membuat Aira kambali mengeluarkan air mata dari sudut matanya.

"Sialan! Ngapain gue nangis?" tangannya langsung mengelap air mata yang di sudut matanya itu.

"Aira! Udah beres, nak? Kalo udah, cepet turun ke bawah buat pamitan sama Oma."

Aira tersenyum tipis mendengar teriakan Sania dari luar kamarnya.

"Iya! Aira bentar lagi turun." balas Aira berteriak kembali.

Matanya menatap seluruh sudut kamar bernuansa biru langit yang sudah kosong melompong itu dengan padangan tak rela. Tak rela, karena dirinya harus meninggalkan kamar yang hampir selama dua tahun ia tempati.

Menghela nafas sebentar, Aira melangkahkan kakinya keluar dari kamar. Dirinya tidak boleh seperti ini, terus menyalahkan orang lain dan hanya bisa mengeluh dan menangis. Hidupmu masih panjang Aira! Meski hidupmu hampa seperti ruang hampa di luar angkasa sana!

Sania dan Farida serta Hara sang adik langsung menoleh ke arah Aira yang tengah menuruni tangga dengan koper berwarna peach dan berjalan ke arah mereka.

"Kalo udah sampai Jakarta jangan lupa kabarin Oma, ya." Farida memeluk Hara bocah SMP itu, kemudian memeluk Aira.

"Siap, Oma!" sahut Hara.

Sementara Aira mengangguk dengan mata yang siap mengeluarkan air mata kembali.

"Iya, Oma. Oma jaga kesehatan dan baik-baik di sini. Oma juga jangan lupa telpon Aira. Kalo Oma bikin kerupuk kicimpring lagi, jangan lupa kirim ke Aira, ya." Aira berkata dengan nada manjanya.

Farida tersenyum sambil mengangguk. Rasanya tak rela ditinggal oleh kedua cucu kesayangannya. Tapi mau bagaimana lagi, Aira dan Hara lebih baik diurus oleh Ibunya saja, lagi pula dirinya sudah tua dan tidak bisa mengawasi kedua gadis itu.

"Iya sayang, siap." jawab Farida.

Sania yang sedari tadi melihat Ibu dan anak-anaknya akhirnya buka suara.

"Mah, makasih ya udah biarin kami untuk menetap di sini selama dua tahun dengan kondisi kami yang sedang drop. Sania sangat berhutang sama Mamah. Seharusnya Sania membahagiakan Mamah, tapi selama ini Sania malah menyusahkan Mamah." Sania tak dapat memebendung air matanya saat mengatakan hal itu, termasuk Farida dan Aira serta Hara yang mendengarnya.

"Kalian sama sekali gak menyusahkan Oma, Oma justru bersyukur kalian bisa tinggal sama Oma. Menemani Oma selama dua tahun ini. Kalau bisa, Oma ingin kalian tinggal di sini bareng Oma." Farida menjawab ucapan Sania dengan lembut sembari merangkul dua cucunya.

"Sania, Aira sama Hara juga inginnnya begitu, Mah. Tapi gak enak sama yang lain, dan Sania juga harus turun tangan ke kafe sama toko kue di Jakarta, Mah. Dan kami juga gak ada pilihan lain, selain mencoba berdamai dengan semuanya." ucap Sania.

Farida menghela nafasnya, "Oma tak bisa apa-apa jika itu keputusan kalian. Oma hanya mendoakan agar kalian baik-baik di sana. Dan Aira sama Hara menjadi anak yang sukses dan membanggakan orang tuanya."

Farida kembali mengusap bahu Airadan Hara lembut. Aira dan Hara tersenyum sambil mengangguk mantap. Setiap hal yang dilakukan oleh Farida dan kelembutan, serta kasih sayang yang diberikan oleh Neneknya itu, membuat perasaan kosong di hati Aira sedikit terobati. Termasuk sang adik.

"Aira gak akan kecewain Oma." ucap Aira mantap.

"Hara juga gak akan pernah kecewain Oma kesayangan." timpal Hara dengan senyum cerianya. Membuat ketiga perempuan itu tertawa kecil.

"Kalo gitu, kami berangkat ya Mah." Sania memeluk Farida kembali.

Farida mengangguk sambil tersenyum kecil, membiarkan Anak dan cucu-cucunya pergi kembali ke kota itu untuk menata masa depan mereka kembali.

Bagi Aira, kembali ke kota tempat dirinya kehilangan sang Ayah dan tempat di mana dirinya mendapatkan luka, bukanlah impiannya. Namun, merupakan sebuah nightmare dan seperti kutukan-kutukan di creepypasta.

Jantungnya terasa berhenti berdetak, semua emosinya berkumpul menjadi satu. Ingin sekali Aira menolak, lebih baik dirinya dikirim ke Antartika saja. Tapi, setelah mendengar penjelasan dari sang Ibu, Aira pelan-pelan mengerti. Apalagi saat menyadari, bahwa bukan dirinya saja yang terluka karena kejadian di masa lalu itu. Ibunya juga ikut terluka, bahkan sang adik pun sama. Namun mereka kuat menghadapi semuanya. Kenapa dirinya tidak?

Melihatnya, Aira jadi mengerti, dirinya tidak boleh egois. Semuanya memang omong kosong! Tapi, saat melihat air mata yang keluar dari mata Ibunya. Membuat Aira harus berdamai dengan masa lalu itu, dan bersiap untuk menata masa depannya kembali.

Perjalanan menuju masa depannya memang dimulai dari sekarang. Dan masa lalunya hanyalah sebuah titik pemberhetiannya yang pertama. Masa lalu itu hanyalah sebuah pembuka bagi kehidupan Aira yang masih harus melewati beberapa titik pemberhentian dari hidupnya.

****

Pernahkah kalian berpikir, bahwa semua kebetulan itu merupakan sebuah pertanda dari takdir bahwa hidup kalian bisa dimulai dari kebetulan itu. Itu yang dirasakan oleh seorang Angkasa. Kehidupannya yang sekarang dimulai dari sebuah kebetulan. Kebetulan dan ketidak sengajaan yang membuatnya merasakan sebuah kisah masa lalu yang mau tak mau menjadi titik awal kehidupannya sekarang.

Dulu, Angkasa menerima kebetulan itu dengan senang hati dan bahagia. Sekarang, dirinya merasa bersalah dan menyesal kenapa kebetulan itu harus ada di masa lalunya.

Boleh, dirinya meminta untuk kembali ke masa lalu dan meminta takdir untuk tidak usah memberikannya sebuah kebetulan yang malah membuatnya hidup dengan kisah yang kosong dan menggantung tanpa penjelasan apapun?

"Bangsat! Gua udah gila gara-gara hal itu." gumam Angkasa sambil menatap terangnya kota Jakarta yang penuh dengan lampu di atas balkon apartemennya yang pada tengah malam seperti ini.

Matanya yang coklat jernih seperti sebuah kristal menatap jauh ke depan. Mencari sebuah cahaya untuk kebahagiannya. Jika bisa, Angkasa ingin pergi saja dari pada hidup seperti ini. Hidup dengan perasaan seperti ini. Perasaan kosong karena sebuah mala petaka di masa lalunya.

Ingin berdamai dengan hal itu, apa dirinya bisa? Di saat semua orang malah menghakiminya tanpa tahu yang sebenarnya.

****