'Tak apa jika kamu membenciku, tapi bagaimana jika hatiku masih tetap mencintaimu?'
[Praeteritum]
Aira menghela nafas kecewa, dirinya terluntang-lantung sendirian di lorong sekolah yang tak ada ujungnya. Gedung sekolah ini luasnya yang parah membuat Aira merasa tersesat. Sial, seharusnya Aira menerima tawaran Freya untuk diantar ke wali kelasnya. Penyesalan memang di akhir bukan? Dirinya sendirian tanpa harus tahu ke mana dan tanpa ada orang yang bisa ia tanyai karena semuanya sudah masuk ke kelas masing-masing. Berharap bertemu dengan guru yang lewat, harapannya tak pernah terkabul. Hendak ke pos satpam untuk bertanya, jaraknya terlalu jauh.
Mata Aira langsung berbinar, dari kejauhan terlihat dua orang laki-laki berseragam sama dengannya tapi mereka pakai celana tengah berbincang di sebuah koridor di depannya. Seperti mendapatkan sebuah jackpot Aira langsung berlari ke arah mereka takut kehilangan karena terlihat mereka hendak pergi.
Hendak berteriak tapi Aira urungkan, lebih baik dirinya mendekat. Aira berlari dengan cepat dan matanya hanya fokus ke arah mereka tanpa melihat ke arah pijakannya. Naas bagi Aira, saking bahagianya bertemu orang dia sampai tak menyadari jika ada sebuah kursi panjang di depannya. Saat hampir dekat dengan mereka, kakinya tersandung dengan kaki kursi panjang itu. Dan kalian bisa menebak apa yang terjadi ke depannya. Dirinya tersungkur tepat di kaki salah seorang laki-laki yang tadi ia kejar.
Srekkk
Bughh
"Aduh! Lutut gue!" jerit Aira kesakitan karena lututnya mencium kerasnya lantai keramik yang dingin.
Meskipun sakit tapi dirinya merasa senang juga, karena dua orang itu tak jadi pergi. Aira masih meringis tanpa menyadari jika salah satu dari mereka berjongkok dan menyodorkan tangannya hendak membantu. Aira berhenti meringis, ia perlahan mengangkat kepalanya melihat siapa pemilik tangan itu.
Demi apapun yang ada di dunia ini, Aira merasa waktu seakan berhenti. Jantungnya seakan lupa bagaimana caranya memompa darah dengan benar dan berdetak denan normal. Darahnya seakan mengalir begitu saja dengan deras, kakinya terasa lemas seakan membeku, tangannya sampai bergetar menahan sebuah emosi.
"Aira, kamu–"
Orang itu hendak membantunya bangun, namun dengan cepat Aira menepis tangan itu dan tatapannya berubah menjadi tajam.
"Jangan sentuh gue!" sentak Aira sambil berusaha bangkit meski lututnya sakit dan sepertinya lecet.
Sikap Aira itu malah memancing kemarahan teman orang itu.
"Cewek gak tau diri. Angkasa itu mau ngebantuin lo!"
Angkasa, laki-laki yang hendak menolong Aira adalah Angkasa. Dan orang yang balas membentak Aira adalah Faris.
"Apa lo bilang? Cewek gak tau diri? Yang gak tau diri itu sahabat lo! Dia udah ngancurin kehidupan seseorang, dan tanpa tau malu dia masih hidup sekarang!" Aira balas membentak Faris. Dirinya sampai menunjuk Angkasa dengan wajah penuh kemarahan, dan penuh kesedihan di sana.
Angkasa menatap Aira dengan tatapan sayu, dirinya tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi sampai gadis yang sangat ia tunggu kedatangannya itu sangat marah padanya. Dan apa katanya? Dirinya sudah menghancurkan kehidupan seseorang.
"Heh! Maksud lo apa, hah?! Lo jangan cari masalah di saat lo bahkan gak tau apapun!" Faris begitu terpancing emosi sampai dirinya bisa mengumpat begitu kasar pada Aira yang notaben Aira adalah seorang perempuan.
"Lo masih tanya apa maksud gue?! Lo sendiri tau apa yang gue maksud. Kalian berdua tau apa yang gue maksud!" Aira menaikan suaranya, dirinya sangat marah saat Faris malah mengumpat padanya.
"Dan lo, lo gak usah pasang wajah tanpa dosa lo! Bahkan lo sendiri yang berdosa di sini!" Aira menunjuk Angkasa sambil menatap tajam pemuda itu.
"Maksud kamu apa, Ra? Apa salah aku sampai kamu nganggap aku yang berdosa di sini? Seharusnya aku yang tanya itu ke kamu. Selama tiga tahun ini kamu kemana? Kenapa kamu pergi tanpa bilang apapun ke aku, dan kamu pergi di saat aku butuh kamu?" Angkasa masih bersikap lembut pada Aira. Dirinya tidak akan mudah marah pada gadis belahan jiwanya ini.
Plakk
"Aira! Lo!" Faris hendak balik menampar Aura tapi Angkasa langsung menahannya. Yap, suara tamparan itu berasal dari Aura yang menampar pipi Angkasa dengan pedas.
"Apa?! Lo mau nampar gue juga? Silahkan! Karena lo sama pengecutnya kayak sahabat pembunuh lo itu!"
Faris merasakan emosinya sudah naik ke ubun-ubun. Seharusnya pagi hari yang cerah dan indah ini ia nikmati dengan tenang sekarang. Bukan malah berhadapan dengan situasi runyam yang hanya dirinya saja yang tahu akar permasalahannya. Bahkan, orang yang sedari tadi marah-marah itu tidak tahu apa yang sebenarnya terjadi.
"Pembunuh?" suara Angkasa terasa mengambang di udara saat diutarakan.
Faris berusaha menurunkan kadar emosinya, sementara Aira tersenyum sinis saat mendengar pertanyaan Angkasa yang menurutnya konyol itu.
"Iya, lo itu pembunuh Angkasa! Dua tahun lalu, kecelakaan dua tahun lalu setelah kita selesai UN. Lo ingat? Gara-gara lo kecelakaan itu terjadi, dan korban atas kecelakaan itu adalah Ayah gue! Dan lo udah ngancurin kehidupan gue Angkasa!" setiap kalimat yang dilontarkan oleh gadis itu penuh dengan emosi.
Dirinya tertawa sumbang melihat Angkasa yang terpaku dengan wajah yang memucat.
"Dan lo nanya apa salah lo tadi? Lawak lo Angkasa."
Angkasa hanya diam mendengar Aira yang terus bersuara. Jadi, Aira yang meninggalkannya karena kejadian dua tahun yang lalu. Angkasa merasa sangat bodoh karena dirinya tidak tahu apapun tentang hal itu. Karena kesalahannya, dirinya menyakiti banyak orang yang ia sayangi. Termasuk Aira, gadis yang ia cintai ternyata kehilangan sosok ayah karena kesalahannya itu.
"Seharusnya gue gak pernah kembali ke sini. Gue menyesal pernah bertemu dan mengenal lo, bahkan sampai jatuh cinta sama lo. Gue benci sama lo!" ujar gadis itu.
Aira memilih pergi dari pada menatap wajah Angkasa yang malah membuatnya semakin sakit. Dirinya tidak akan bisa menatap wajah itu, seakan ada ribuan pisau yang menamcap di hatinya saat melihat wajah itu yang mengingatkannya pada luka itu.
Faris memandang Angkasa yang masih terdiam. Angkasa terlihat masih mencerna apa yang diucapkan oleh Aira barusan.
"Sa–"
"Lo tau semuanya 'kan Far?"
Faris merasa bersalah saat Angkasa bertanya seperti itu. Angkasa menatapnya dengan wajah datarnya. Tak ada ekspresi apapun di sana.
"Gue bisa jelasin, Sa."
"Simpan penjelasan lo nanti." Angkasa beranjak dari posisinya.
"Lo mau ke mana?" tanya Faris.
Angkasa menjawab tanpa menoleh sedikitpun.
"Kemanapun."
****
Aira merasa hidupnya ini seperti sebuah wahan roller coaster yang selalu memainkan perasaanya. Baru saja dirinya bisa tersenyum bahagia saat bertemu dengan Freya, dan beberapa waktu kemudian dirinya malah bertemu dengan orang yang membawa luka.
Tangannya menghapus jejak air mata yang tadi sempat mengalir deras saat dirinya mengingat kenangan dua tahun lalu. Kenangan yang pada akhirnya membuatnya merasa sangat tersakiti dari pada diselingkuhi.
Meskipun dengan mata yang masih terlihat sembab, serta bibir yang memerah dan pipinya yang masih bersemu. Aira langkahkan kakinya keliar dari toilet. Dirinya harus bisa menghadapi semuanya kali ini. Cukup dengan Aira yang selalu menangis, merengek dan selalu menyalahkan orang lain. Cukup dengan semua itu. Dirinya harus memulainya kembali dari awal. Dirinya harus kuat, demi ibu dan adiknya.
Aira berusaha tersenyum saat Bu Raiza guru yang menjadi wali kelasnya itu bertanya kabar dan kenapa baru sampai. Ya, dirinya sudah sampai di ruang guru sekarang. Berhadapan dengan guru berambut coklat yang di ikat menjadi satu.
"Kenapa kamu telat Aira? Padahal orang tua kamu mengabari Ibu, kalo kamu udah sampai dari 45 menit yang lalu." Bu Raiza bertanya pada Aira. Dirinya merasa khawatir jika Aira malah bolos di hari pertamanya sekolah.
"Saya tadi kesasar Bu. Muter-muter gedung nyari ruang guru. Dan tadi, saya keliling-keliling dulu liat sekolah." jawab Aira sepenuhnya tidak bohong.
Bu Raiza masih menatap Aira curiga, apalagi saat melihat mata gadis itu yang sembab.
"Dan itu, mata kamu kenapa? Kenapa sembab gitu?" tanya guru itu.
"Ah, saya tadi kelilipan sampai nangis. Jadi sembab kayak gini, Bu."
"Ya udah, ayo Ibu anterin kamu ke kelas baru kamu. Sekalian Ibu memperkenalkan kamu." Bu Raiza bangkit dari kursi yang ia duduki.
"Baik, Bu." jawab Aira patuh dan juga ikut bangkit menguikuti Bu Raiza.
Aira sesekali menjawab pertanyaan Bi Raiza dan sesekali hanya mengangguk saat Bu Raiza menjelaskan peraturan sekolah barunya ini. Baiklah, Aira harus bisa menerima semua yang terjadi padanya dan mengikuti alur takdir yang selalu menjungkir balikan hidupnya.
****
Angkasa hanya duduk termenung memandangi pemandangan kota dari atas rooftop gedung sekolahnya yang berada di atas lantai lima. Angkasa menatap nanar pemandangan itu ditemani oleh hembusan angin yang terus menerbangkan rambut kecoklatannya hingga menari-nari.
Hidupnya lucu dan sangat tragis. Harapan yang selama dua tahun ia simpan memang menjadi kenyataan. Tapi kenapa malah menyakitkan. Bertemu kembali dengan Aira memang keinginannya dirinya ingin penjelasan kenapa Aira meninggalkannya. Dirinya ingin penjelasan kenapa Aira pergi tanpa sebuah kata perpisahan.
Hari ini, harapannya memang terkabul. Tapi, kenapa rasanya sesakit ini. Kenapa saat semua pertanyaanya terjawab hatinya terasa sakit. Apalagi saat mengingat bahwa alasan kepergian Aira karena kesalahan Angkasa sendiri.
Bukan ini yang Angkasa inginkan. Dirinya ingin Aira kembali padanya bukan malah menbencinya. Dirinya ingin Aira kembali padanya sebagai penguat bukan seseorang yang malah membencinya.
Semuanya tidak akan terjadi jika saja dulu Angkasa menghentikan itu semua dan lebih baik dalam memilih keputusan.
Angkasa, benar kata mereka. Kamu dilahirkan hanya sebagai seseorang yang kelahirannya tidak diinginkan oleh semua orang.
****