Chereads / PRAETERITUM / Chapter 6 - bab 5

Chapter 6 - bab 5

'Aku tau aku selalu menyakitimu, jangan salahkan hatiku yang selalu mencintaimu. Hanya satu kata untukmu. Maafkan aku.'

[Praeteritum]

Takdir bagi Aira memang sangat lucu, kenapa mereka tidak ingin melihat Aira hidup dengan tenang saja. Kenapa mereka selalu terlihat senang kalau Aira hidup naik turun dan menikung seperti roller coaster.

Tidak cukupkah dengan fakta bahwa dirinya satu sekolah kembali dengan Angkasa. Kenapa sekarang dirinya juga harus berada dalam satu kelas dengan laki-laki itu.

Ya Tuhan! Apa yang sebenarnya kau rencanakan dalam hidupku?! Jeritan Aira dalam hati saat mengetahui jika dirinya berada dalam satu kelas yang sama dengan Angkasa.

Tadi, Aira sempat bahagia, saat mengetahui bahwa ternyata Freya di kelas yang sama dengannya, 12 Ipa 2. Tapi, rasa bahagia itu langsung kandas tak bersisa saat Freya bercerita bahwa Angkasa di kelas yang sama dengan mereka juga. Betapa hancurnya hati Aira saat mendengarnya, gadis itu bahkan kehilangan kata-kata setelah mendengar fakta baru itu.

"Lo gak senang sekelas sama Angkasa, Ra? Secara dia kan doi lo dari SMP. Seharusnya lo itu senang Aira, bisa deket-deketan terus sama dia."

Sumpah! Mulut Freya memang minta dicium ikan dugong.

Tak ada pilihan lain bagi Aira, dirinya harus jujur pada Freya. Dirinya harus bisa bercerita pada kawan barunya ini.

"Gue sama dia udah gak ada hubungan apapun lagi, Freya. Jadi, please berhenti buat berbicara tentang dia lagi."

Mata Freya langsung membulat mendengar pernyataan Aira. Seingatnya, hubungan Angkasa dan Aira baik-baik aja. Ia kira Angkasa dan Aira menjalani pacaran jarak jauh. Kenapa? Karena Angkasa tak pernah terlihat dekat dengan perempuan lain.

"Ra, kenapa?" hanya itu yang keluar dari mulut Freya karena saking terkejutnya.

"Karena gue gak ada rasa sama dia. Dan gue juga udah putus sama dia sejak gue pergi dari Jakarta dua tahun lalu."

Berbarengan dengan ucapan Aira yang penuh kebohongan itu keluar, Faris melintas di samping meja mereka. Ya, Faris pun sekelas dengan Aira.

"Ucapan lo itu terlalu berkebalikan dengan fakta. Sayang banget sahabat gue harus jatuh sama cewek munafik kayak lo." sindiran Faris yang begitu pedas membuat Aira menatap tajam Faris, sementara Freya mengernyitkan dahi bingung.

"Maksud kamu apa Far?" tanya Freya.

"Nanti juga kamu tau, babe. Hati-hati, banyak orang munafik di sini." Faris tersenyum manis pada Freya sekilas dan langsung melemparkan senyuman miris pada Aira.

"Wellcome back, Aira. Semoga kita bisa berteman dengan baik." Faris berjalan ke belakang menuju mejanya.

Aira merasa sangat muak dengan Faris, ntah kenapa ucapan Faris terngiang-ngiang di kepalanya.

"Jangan terlalu dipikirin, Ra. Faris kan emang gitu orangnya." ucap Freya mengerti raut wajah Aira.

"Lo sama Faris ada hubungan?" Aira bertanya, lebih baik dirinya mengalihkan pembicaraan.

"Iya, pas farewell dia nembak gue. Ya udah, gue sama dia pacaran." jawab Freya santai tanpa beban. Ah, Aira menjadi iri pada gadis yang mempunyai hati lembut itu. Jika dilihat, hidup Freya itu sangat menyenangkan.

"Frey."

"Iya?"

"Pas farewell, bisa lo ceritain semuanya? Gue pengen ikut ngerasain walau cuma denger cerita dari lo." Aira berkata dengan nada memohon. Freya tentu saja langsung mengangguk. Meceritakannya pada Aira bukan menjadi hal yang sulit. Terutama kelas mereka sedang tidak ada guru yang mengajar dikarenakan rapat dadakan.

"Tentu aja, jadi...."

****

Matahari bergerak menuju barat, menuju peraduannya yang sebentar lagi akan menghilang menyisakan guratan jingga di atas angkasa. Sepertinya dewi malam akan menguasi langit sebentar lagi, tapi Angkasa masih enggan beranjak dari kursi taman yang sedari tadi ia duduki.

Dirinya termenung mengingat kejadian tadi. Kejadian tadi saat dirinya mencoba untuk meminta maaf pada Aira dan menjelaskan semuanya pada gadis itu. Tapi yang ia dapatkan sama seperti kejadian di pagi hari saat mereka berdua kembali bertemu untuk pertama kali.

Bel pulang mengiringi langkah Angkasa untuk mengejar Aira yang berjalan cepat menuju gerbang sekolah yang sudah terbuka lebar. Angkasa semakin mempercepat langkahnya tak ingin kehilangan kesempatan lagi.

Tangan Angkasa langsung menarik lengan Aira membuat gadis itu berhenti melangkah dan menatap siapa pelakunya. Matanya langsung menajam saat mendapati Angkasa yang malah tersenyum padanya.

"Lepas!" ujar Aira menyuruh Angkasa melepaskan tangannya.

"Aku gak akan ngelepasin tangan kamu, sebelum aku bicara sama kamu." Angkasa malah menggelengkan kepalanya. Karena tangan Angkasa yang mencekal lengan Aira di depan gerbang. Sukses membuat mereka menjadi tontonan banyak orang yang hendak melintas.

"Gak ada yang perlu kita bicarain lagi. Lepasin. Tangan. Gue!" Aira menekankan kata di setiap kalimatnya. Dirinya berusaha melepaskan lengannya tapi tenaga Angkasa jauh lebih kuat dengan dirinya.

"Aira, aku mau menjelaskan kecelakan dua tahun lalu. Aku mohon kamu denger penjelasan aku, Ra." Angkasa memohon pada Aira. Dirinya tidak ingin Aira juga ikut salah paham atas kejadian dua tahun lalu itu. Cukup seluruh keluarganya yang tak percaya, jangan Aira juga.

Aira berdecih, dirinya tersenyum sinis mendengar Angkasa yang memohon itu.

"Penjelasan? Penjelasan apa lagi? Semuanya udah jelas. Penyebab kecelakaan itu adalah lo. Dan lo penyebab Ayah gue meninggal. Jadi gue mohon, lo gak usah memohon agar gue dengerin semua penjelasan lo. Semuanya udah cukup buat gue."

"Aira, semua yang kamu–"

"Gue bilang cukup, cukup Angkasa! Lo ngerti gak sih?! Gue mohon sama lo buat biarin gue hidup dan sekolah di sini dengan tenang. Gue mohon. Dan gue juga mohon sama lo, anggap aja kita gak pernah saling mengenal. Anggap aja, semua yang terjadi di masa kita SMP hanya sebagai khayalan dan mimpi buat kita. Gue mohon." Aira dengan suara yang bergetar memohon pada Angkasa. Matanya siap meluncurkan air yang rasanya asin itu kembali.

Hati Angkasa terasa perih saat mendengar suara Aira yang lirih itu. Perlahan cekalannya mengendur. Dirinya memang tidak ingin Aira membencinya, tapi semua ini terjadi karena kesalahannya. Jikapun Angkasa memaksa menjelaskan, semuanya akan tetap sama. Angkasa tetap bersalah.

"Aku– Aku minta maaf sama kamu. Maaf karena telah menjadi sebuah mimpi yang membawa luka buat kamu. Aku harap, kamu bisa bahagia dengan terus membenci aku. Tapi tetap, Ra. Aku mungkin gak akan menyerah untuk mendapatkan maaf kamu." lirih Angkasa menatap Aira.

"Maafkan aku, Ra." Lanjutnya.

Itu keputusan Angkasa, dirinya tidak mau Aira semakin terluka jika dirinya terus memaksa. Biar, dirinya yang menanggung semuanya. Semua rasa bersalah yang bahkan bisa membunuhnya.

Angkasa menatap Aira sebentar, melengkungkan senyuman pada gadis yang ia cintai itu. Aira menatap mata Angkasa, iris coklat yang jernih yang dari dulu selalu ia sukai dan ia rindukan tapi dibencinya sekaligus itu terasa perih di hatinya saat menatapnya.

Angkasa menatap mata Aira yang terlihat berair dan terlihat siap menumpahkan air mata. Angkasa masih tersenyum saat melepaskan cekalannya dan berbalik berjalan meninggalkan Aira. Dulu, Aira yang meninggalkannya dan menorehkan luka yang sakitnya tak pernah bisa diobati. Sekarang dirinyalah yang meninggalkan Aira, dan luka itu malah bertambah dan membuat rasa sakitnya menjadi dua kali lipat ia rasakan.

Aira menatap nanar punggung Angkasa yang semakin menjauh. Meskipun hatinya merasa sakit, tapi rasa bencinya mengalahkan semua itu. Apa keputusannya benar? Jika benar, kenapa rasanya sesakit ini?

Tak jauh dari apa yang dirasakan oleh Aira, Angkasa juga merasakan sangat hancur. Hatinya perih, jiwanya terasa kosong. Angkasa meluruhkan tubuhnya, bersandar pada dinding koridor yang sudah sangat sepi. Kepalanya menengadah menahan air mata yang siap keluar. Angkasa tak tahu apa yang akan ia lakukan sekarang. Semua pertanyaanya sudah terjawab, meskipun menorehkan luka dan rasa sakit yang sangat mendalam dibandingkan dengan dua tahun yang lalu.

Angkasa menarik rambutnya, berusaha menerima semuanya dengan lapang dada seperti biasanya. Helaan nafas lelah keluar dari bibirnya yang terlihat pucat. Matanya merah dengan kantung mata yang terlihat. Dan jangan lupakan matanya yang terlihat sembab karena tadi dirinya sempat menangis.

Dengan gontai, Angkasa memaksakan tungkainya untuk berjalan. Berjalan menyusuri trotoar menuju apartemennya. Angkasa tak membawa kendaraan, uang pun dirinya tak ada. Dompet yang berada dalam tas ia tinggalkan di dalam mobil Faris dan menyuruh sahabatnya itu untuk pulang lebih dulu tanpa dirinya. Angkasa masih ingat, umpatan yang dilontarkan Faris padanya.

"Si bocah tengik! Lo mau ngapain nyuruh gua balik duluan? Lo mau ngapain balik sendiri tanpa bawa dompet atau uang sepeserpun? Lo mau lontang lantung kayak gembel? Sadar! Jangan cuma karena cinta lo malah kayak gini."

Angkasa ingin tertawa mendengar ucapan Faris saat itu. Mengingat wajah kalem sahabatnya yang bisa sangat marah malah membuatnya selalu tertawa. Semua yang dikatakan oleh Faris tidak benar. Dirinya hanya ingin menikmati senja dan sejuknya kota di sore hari. Berharap bisa menghilangkan stres yang malah membuat Angkasa menjadi kalut. Dan Angkasa juga sering mengulur waktu, dirinya tidak ingin lama merasakan sendirian di apartemennya. Jika dia melakukan hal ini, sudah dipastikan Faris dan kedua sahabatnya yang lain sudah berada di apartemennya itu.

****

Aira, gadis itu masih menumpahkan air matanya di atas bantal sampai bantal itu basah oleh air matanya. Kejadian saat pulang sekolah membuatnya seakan gila. Rasa sakit di hatinya terasa sangat sakit saat mengingat semua yang terjadi.

"Ayah, kenapa rasanya sakit? Kenapa kayak gini? Bukan ini yang Aira ingin—–hiks." Aira bermonolog sambil terus menangis. Dirinya tidak pernah seperti ini, bahkan saat dirinya tahu penyebab kecelakaan yang menewaskan ayahnya adalah orang yang dicinta, Aira tak manangis sehebat ini.

Dirinya tak menangis, tapi ada jiwanya yang seakan menghilang dan meninggalkan kekosongan. Kekosongan itu yang pada akhirnya menimbulkan rasa benci. Tapi kenapa, sekarang dirinya bisa menangis seperti ini. Apa ini karena dirinya yang belum bisa melepaskan Angkasa? Atau karena rasa bencinya semakin besar?

"Aira, pulang sekolah itu langsung bersih-bersih, Nak—" ucapan Sania terpotong dengan wajah terkejut. "—Aira! Kamu kenapa sayang?"

Sania yang tadinya hendak mengomel langsung panik saat melihat Aira yang menangis hebat seperti ini. Wanita yang masih cantik di umurnya itu langsung menarik Aira dalam pelukannya. Mengusap lembut punggung anak gadisnya itu.

"Cup, kamu kenapa sayang? Cerita sama Mamah. Jangan bikin hati kamu menderita." Sania berusaha menenangkan dan mencari tahu kenapa anak gadisnya itu menangis.

"M-mah, Aira ketemu lagi dengan dia."

Sania berhenti mengusap punggung Aira, dirinya terkejut saat Aira mengucapkan kata dia. Sania sangat tahu siapa yang dimaksudkan oleh Aira. Dia yang dimaksud oleh Sania adalah Angkasa. Cinta pertama anak gadisnya yang malah memberikan seribu luka dan duka pada keluarganya.

"Kenapa rasanya sakit Mah? Kenapa harus kayak gini? Aira minta dia buat gak usah saling kenal sama Aira, dan Aira nyuruh dia buat ngelupain semuanya. Aira juga sampai bentak dia, nampar dia, bahkan Aira bilang benci sama dia. Saat dia nurutin semua yang Aira minta, dia minta maaf sama Aira, dan dia yang seakan pergi ninggalin Aira. Seharusnya Aira senang kan Mah? Karena semua ini salahnya. Tapi, kenapa hati Aira malah sangat sakit seperti Mah?"

Sania mendengarkan semua yang dikatakan oleh Aira. Dirinya merasa bersalah karena memilih untuk membawa Aira pindah ke Bandung dulu. Tak pernah sedetikpun Sania melupakan kejadian dua tahun lalu yang merenggut nyawa suaminya. Tapi, tak pernah pula dirinya menyalahkan siapapun atas kejadian itu. Dirinya hanya berserah karena mungkin ini yang terbaik untuk kehidupannya. Meskipun, Sania tahu bahwa Angkasa, orang yang putrinya cintai itu yang menjadi penyebab kejadian itu.

Tak pernah sekalipun terbesit di hati Sania untuk membenci Angkasa. Sania membawa Aira dan Hara untuk pindah ke Bandung untuk menenangkan Aira. Mencoba untuk memulai hidup baru dan mencoba untuk menyembuhkan luka anaknya itu. Tapi ternyata keputusannya salah. Seharusnya Sania membiarkan Aira untuk belajar menerima semuanya, bukan malah membawanya lari seperti dua tahun lalu. Lihatlah, anaknya terluka dengan luka yang bahkan tak bisa disembuhkan dengan obat penyembuh luka manapun.

"Maafin Mamah, sayang. Maafin Mamah."

Hanya itu yang bisa Sania katakan sambil memeluk Aira erat. Berusaha menenangkan anaknya dengan kehangatannya. Berharap Aira lebih tenang meskipun rasa sakit di hati anaknya itu tak mungkin menghilang.

Benar, setiap masa lalu akan menjadi titik pertama kita menuju masa depan.

****

[A/N]

Up setelah mangkir dari jadwal biasnya.

Seperti biasa. Makasih untuk yang sudah mau berpartisipasi dalam cerita ini.

P.s yang di italic itu flashback

Signed

Zeewhyn