Chereads / PRAETERITUM / Chapter 3 - Bab 2

Chapter 3 - Bab 2

'Aku memang tidak ingin melanjutkan cerita dan luka ini, tapi bisakah aku memulai semuanya dari awal?'

[Praeteritum]

Persetan! Umpatan itu dilontarkan oleh Aira saat melihat kemacetan di depan matanya yang tak kunjung mereda. Melihat banyaknya kendaraan saling berdesakan di sebuah jalan menuju pusat kota membuatnya muak.

Langit yang biru sudah digantikan dengan pekatnya malam. Tak ada bintang yang bisa dilihat oleh Aira, yang ada hanya ribuan cahaya lampu yang bergantung dan berkelap-kelip.

"Mah, kapan sih sampenya? Kita udah hampir satu setengah jam stuck di sini. Cuma maju beberapa meter dari yang tadi." eluh Aira pada Sania yang juga sama lelahnya berkendara di tengah kemacetan seperti ini. Sementara Hara nampak sudah tertidur pulas di kursi belakang. Bahkan dengkurannya sampai terdengar membuat Aira mencebik kesal. Dasar pelor!

"Namanya juga akhir pekan, Ra. Sabar aja, bentar lagi juga kita sampe." Sania menginjak pedal gas saat kendaraan di depannya maju. Dan menginjak pedal rem setelah bergerak sejauh beberapa meter.

"Perasaan dua tahun lalu gak macet kayak gini." Sania bergumam sambil melajukan mobilnya dan berbelok ke arah jalan tujuan yang tak terlalu macet meskipun padat merayap.

"Dua tahun itu lama, Mah. Semuanya bisa berubah. Lagian dua tahun lalu itu cuma masa lalu." Aira menjawab gumaman Sania yang masih dapat didengarnya tadi.

Sania melirik sekilas wajah Aira yang menampilkan ekspresi datar dan matanya menatap lurus ke depan.

"Dan Mamah harap, kamu juga bisa berubah, dan mulai berdamai dengan yang kamu sebut masa lalu itu."

Aira tak menjawab ucapan Sania, dirinya hanya menatap kosong ke arah jalanan. Aira memang hanya diam, tapi pikirannya berkecamuk dengan ucapan, berdamai dengan masa lalu. Apa bisa ia berdamai dengan masa lalunya? Masa lalu yang malah membuatnya semakin sakit jika mengingatnya.

****

"Seharusnya, lo telpon gua. Bukan malah milih sekarat kayak tadi."

Angkasa hanya mendengus kecil di atas kasurnya sambil menatap Faris yang menyiapkan sebuah kompresan dari air dingin untuk mengobati luka lebam di wajahnya.

Faris menghela nafasnya mendengar dengusan Angkasa. Dirinya menatap lelah sang sahabat sambil duduk di tepi kasur menghadap Angkasa.

"Gua sebenarnya udah lelah, Sa. Terus-terusan ngeliat lo yang malah memilih hidup tersiksa kayak gini." Faris mengompres lebam di pipi kanan Angkasa yang terlihat sudah sangat membiru.

"Lo boleh pergi kalo lo lelah. Gua gak pernah minta sama lo buat tinggal." Angkasa menjawab ucapan Faris dengan suara pelan. Dirinya masih lemas karena kejadian yang tadi terjadi padanya.

Faris menekan luka Angkasa sedikit lebih keras, dirinya sangat kesal mendengar ucapan Angkasa barusan. Bukan itu yang di maksudkan oleh Faris.

"Bukan itu maksud gua bego! Kalo gua emang lelah dalam hal yang lo maksudin tadi, gua udah gak mau sahabat sama lo sejak awal." Faris meletakam handuk kecil putih yang tadi ia gunakan ke dalam wadah berisi air es dan beberapa es batu yang mencair.

"Gua cuma lelah liat lo terus nyiksa diri lo sendiri karena kejadian masa lalu yang bukan kesalahan lo sendiri! Gua muak liat mereka yang malah menghakimi lo yang bahkan lo sendiri gak bersalah di sini! Gua pengen lo bahagia lagi, Sa." suara Faris melirih di kalimat terakhirnya.

Angkasa terdiam melihat wajah Faris yang terlihat begitu beremosi, wajah pemuda itu bahkan memerah sekarang.

"Gua udah bahagia. Mereka pantas menghakimi gua, meski semua itu cuma omong kosong." ucap Angkasa enggan menatap wajah Faris dan memilih melihat jendela apartemennya.

Faris menghela nafas kasar, kompresan yang tadi berada di tangannya ia taruh di anak nakas. Faris memilih untuk keluar dari kamar Angkasa untuk menjernihkan pikirannya kembali.

"Gua keluar dulu, kalo lo butuh apa-apa, teriak aja. Gua stay di sini."

Angkasa tak menjawab ucapan Faris. Pemandangan Jakarta lebih menarik dari pada menjawab sahabatnya. Ucapan Faris tadi menohok hatinya. Semua kejadian di masa lalu itu memang bukan kesalahannya. Tapi, mereka semua menyalahkannya dan tak mau mendengar setiap kali Angkasa hendak menjelaskan. Mereka malah menghakiminya. Hendak protes dan melawan, Angkasa tak bisa karena dirinya hidup di ujung kuku mereka. Bukan hanya Faris yang muak dengan semua yang terjadi di kehidupan Angkasa. Angkasa pun sama, dirinya sangat muak dengan kehidupannya.

****

Semuanya jelas berubah di mata Aira. Kehidupannya sudah berubah selama hampir dua tahun ini. Dirinya bukan lagi seorang anak perempuan yang memakai seragam putih biru seperti dua tahun ke belakang. Sekarang dirinya adalah seorang gadis berseragam putih abu. Dulu, hanya ada ponytail dan rambut berponi, sekarang rambut coklat panjang bergelombang di ujungnya.

Aira mematut tampilannya di depan cermin, lagu 2002 milik Anne Merie menjadi awal pagi yang manis bagi Aira. Matanya melihat logo SMA barunya di saku dada kirinya.

SMA Emerald.

Batinnya membaca tulisan kecil di logo berwarna hitam itu. Bukan Aira yang memilih sekolah barunya kali ini, melainkan sang ibu. Aira terlalu malas untuk mencari sekolah baru yang daftarnya ribuan di kota besar ini.

Seragam khas sekolahnya itu melekat sempurna di tubuh ramping dan mungil milik Aira. Hal yang selalu ia lakukan yang menjadi ritualnya adalah, tersenyum pada bayangannya sendiri sambil berbicara sebagaiĀ  harapan.

"Hari baru di sekolah, lo gak boleh bikin malu apalagi bikin ulah. Semuanya harus berjalan dengan lancar dan tanpa ada masalah." ucapnya pada diri sendiri.

Setelah siap, Aira langsung memakai tas sekolah berwarna peach nya. Berjalan keluar dari kamar. Hari pertama sekolah dirinya harus diantar oleh Sania, karena ada beberapa dokumen yang harus diurus bersama wali.

Aira langsung tersenyum mencium aroma pancake sirup mapel buatan Sania saat dirinya berjalan menuju meja makan. Di sana sudah ada Sania, namun dirinya tak menemukan Hara. Mungkin adiknya itu belum bangun. Rumahnya bertingkat dua dengan gaya minimalis modern membuat Aira tak harus capek untuk mengelilingi rumah barunya.

"Baru aja Mamah mau manggil, udah siap ternyata." Sania berucap sambil meletakan sepiring pancake kesukaan Aira di hadapan gadis itu.

"Harum pancake buatan Mamah buat Aira langsung terpanggil buat turun." Aira langsung melahap pancake itu.

Sania tersenyum senang sambil menggelengkam kepalanya. Melihat Aira kembali ceria seperti ini membuatnya merasa bahagia.

"Ra, Mamah kemarin minta yayasan buat ngirim ART ke rumah. Gak papa kan kalo kita pakai jasa ART?" Sania bertanya sambil menatap Aura yang asyik mengunyah.

Aira mengangguk sambil mengunyah.

"Gak papa, asal orangnya baik terus dapat dipercaya sama amanah." Aira mengangguk setuju tanpa pikir panjang dan tanpa memikirkan jika ucapannya barusan memiliki arti yang sama.

"Dapat dipercaya sama amanah itu sama kali." ucap Sania membuat Aira memperlihatkan senyuman pepsodent nya.

"Hehe." cengir Aira.

"Cepet selesain sarapannya, Mamah siap-siap dulu. Mamah ke sini kamu harus udah siap. Terus piringnya jangan lupa dicuci."

"Eh? Si Hara mana, Ma? Sekarang dia juga sekolah, 'kan?" tanya Aira pada akhirnya peduli pada sang adik.

"Dia belom bangun, lagian dia masuknya besok. Ada persyaratan yang kurang."

Aira menganggukan kepalanya, membiarkan Sania pergi untuk bersiap.

Aira memandang rumah barunya sambil menikmati sarapan. Rumah barunya ini bukan rumah yang dulu ia tempati bersama sang ayah saat berada di Jakarta. Dirinya sempat berharap bahwa ibunya akan menempati rumah itu. Tapi ternyata, Sania memilih untuk menjualnya karena mereka tidak akan bisa tinggal di tempat itu lagi. Banyak kenangan di sana, yang mana jika terlalu diingat akan membuat sakit.

"Kok, belum selesai sih? Mamah usah siap Aira. Cepet, nanti kamu telat."

Aira tersadar dari lamunannya saat Sania menegurnya. Ibunya itu sudah siap dengan pakaian setengah casual setengah formalnya.

"Emang gak sama Hara?" Aira bingung karena sang adik tak nampak.

"Nanti siang aja dia Mama urusin. Sekarang cepetan kita berangkat."

"Iya, Aira cuci dulu piringnya." Aira bangkit dari kursinya membawa piring kotor menuju tempat mencuci piring.

"Eh, gak usah! Simpen aja, kita berangkat sekarang. Mamah ada meeting sama client yang mau sewa kafe."

Aira langsung mengangguk patuh dan berjalan menyusul Sania yang sudah berjalan keluar rumah.

Kehidupan Aira kembali dimulai di kota ini, kota yang dulu pernah memberikannya luka yang bahkan luka itu sampai sekarang belum kering.

****

Aira tak berhenti takjub menatap bangunan sekolah barunya yang tak bisa dikatakan biasa saja. Lihatlah bangunan mewah ini. Sekolah ini seperti gedung-gedung sekolah yang selalu ia lihat di drama Korea kesukaannya. Bahkan Aira mengira dirinya hanya bermimpi bisa sekolah di tempat seperti ini. Ibunya memang terbaik di seluruh alam semesta ini.

"Mamah udah telpon wali kelas kamu, kamu tinggal pergi ke ruang guru. Cari guru yang namanya Bu Raiza. Nanti dia yang bakalan ngurus kamu selama kamu beradaptasi di sekolah ini." Sania menjelaskan apa yang harus dilakukan oleh Aira sekarang. Dirinya tidak bisa mengantar Aira untuk bertemu gurunya itu karena meeting dengan client nya dijadwalkam satu jam kemudian.

Aira mengangguk, meskipun yang dia ingat hanya mencari guru bernama Bu Raiza. Dirinya masih takjub melihat bangunan sekolah barunya itu.

"Bukan cuma ngangguk sama melongo gitu. Cepat sana masuk! Nikmati sekolah impian kamu."

Aira langsung melepas seatbelt dan mencium punggung tangan Sania dengan semangat.

"Oke, Mamah ter the best. Bye!"

Aira langsung turun dari mobil dan memasuki sekolah barunya itu. Gerbang tinggi menjulang menyapa Aira menapakan kakinya di bangunan itu.

Banyak murid-murid yang berlalu-lalang turun dari kendaraan masing-masing dan yang berjalan dari arah halte bus dengan wajah biasa saja berbanding terbalik dengan Aira. Gadis itu masih berjalan dengan rasa takjub melihat pemandangan di depannya ini. Dirinya bukannya norak, tapi ini adalah impiannya dari dulu.

Tiinnn!

Aira langsung menyingkir dari tengah jalanan bersama murid yang lainnya saat sebuah mobil bmw putih hendak lewat.

Aira memperhatikan mobil itu, memperhatikan orang-orang yang berada di dalamnnya mereka semua sama murid di sekolah terlihat dari seragamnya. Mata Aira seketika membulat tak percaya saat melihat seseorang yang ia kenali berada dalam mobil itu. Lututnya terasa lemas dengan jantung yang seakan berhenti berdetak saat melihat orang itu yang nampak tertawa.

Tangan Aira masih bergetar meskipun mobil itu sudah berlalu dari pandangannya. Perasaanya masih campur aduk mengingat hal yang ia lihat barusan. Aira masih tidak percaya dengan apa yang dilihatnya.

"Gak! Itu gak mungkin dia! Mungkin, gue cuma salah liat. Dia hanya ada di masa lalu gue." gumam Aira menghalau pikirannya sambil menghela nafasnya.

Aira akhirnya memutuskan untuk kembali melangkah. Ia tidak ingin berlarut dalam pikirannya sendiri yang malah akan membuat semuanya menjadi hancur.

****