Chereads / PRAETERITUM / Chapter 4 - Bab 3

Chapter 4 - Bab 3

'Aku selalalu berharap, kita tidak usah bertemu kembali untuk selamanya.'

[Praeteritum]

Aira hanya fokus melihat setiap sudut bangunan sekolah barunya itu, tanpa memperhatikan jalan dan beberapa orang yang ia temui yang juga menatapnya aneh sekaligus heran. Matanya tak memandang ke depan, melainkan fokus ke arah kanan dan kirinya sesekali melihat ke arah lapangan basket outdoor yang digunakan beberapa siswa di sana untuk bermain bola oranye itu.

Salahkan mata Aira jika akhirnya perilakunya itu membuatnya menabrak seseorang dan membuat keduanya hampir oleng jika tidak bisa menyeimbangkan badan.

Aira mengusap jidatnya yang bertabrakan dengan jidat orang ditabraknya. Rasanya jangan ditanyakan, dirinya bahkan hanya bisa meringis.

"Aduh, ya ampun sorry."

Beruntung bagi Aira, malah orang yang ditabraknya yang mengucapkan kata maaf.

Aira menghentikan ringisannya dan melihat orang yang baru saja bersuara itu. Suara perempuan jika tidak salah. Aih, bukan tidak salah, tapi memang orang itu seorang perempuan. Siswi sekolah seperti dirinya.

"Eh? Seharusnya gue yang minta maaf, bukan elo." Aira berbicara sambil menatap perempuan itu. Ntah bagaimana caranya, saat menatap wajah perempuan itu, Aira teringat akan seseorang. Tapi dirinya lupa siapa orang itu. Sambil memasang wajah kalem, kepalanya terus berusaha mengingat.

"Tapi, perasaan gue yang nabrak lo. Jadi gue yang minta maaf. Lo gak papa 'kan?"

Ha? Aura jadi tak mengerti, padahal dirinya sendiri perasaan yang menabrak karena tak melihat jalan, kenapa malah gadis di hadapannya ini yang minta maaf.

"Gue gak papa kok, gue juga minta maaf. Kalo lo doang yang minta maaf, rasanya aneh. Lagian, gue juga yang salah, jalan gak pake liat." tutur Aira tulus.

Dirinya memang sering bersikap pecicilan dan menyebalkan kadang kekanak-kanakan, tapi Aira juga masih memiliki akal untuk meminta maaf jika dirinya melakukan kesalahan.

"Ouh gitu, ya. Ya udah, gue duluan."

Aira mengangguk membiarkan gadis itu untuk lewat, meskipun kepalanya masih berusaha mengingat wajah itu. Haahh, payah kau Aira, mengingat teman saat SMP pun kau sampai tidak ingat.

"Eh?" Aira mengingatnya sekarang, dengan cepat Aira membalikan badannya. Tepat pula, gadis itu juga menghentikan langkah sambil berbalik menatapnya.

"Aira?!"

"Freya?!"

Suara Aira beradu dengan suara gadis itu. Mereka berdua mengucapkan nama berbeda di waktu yang sama.

"Lo Freya anak 9-7 kan? Yang temenan sama Yerin?" telunjuk Aira mengarah pada gadis itu. Wajah keduanya menunjukan rasa keterkejutan yang sama.

"Iya, dan lo Aira yang anak 9-3 yang selalu bareng sama si Wendy kan?" gadis itu berjalan mendekati Aira.

Aira mengangguk menjawab pertanyaan dari Freya, gadis itu.

"Gue kira lo pindah jauh dan gak bakalan balik lagi, Ra. Si Wendy sampe uring-uringan tiap kali ngomongin elo pas lo pindah tiba-tiba. Dia juga sampe nangis pas farewell karena gak ada elo." Freya langsung berceloteh.

Freya, gadis itu adalah teman SMP Aira. Mereka kurang akrab tapi hubungan mereka baik dan kenal satu sama lain. Aira mengenal Freya karena Freya adalah teman dari sahabat di kelasnya. Jadi jangan heran, jika tadi keduanya sampai loading lama sekali untuk saling mengenali.

Aira tertawa garing mendengar celotehan Freya. Bukan mengejek, tapi dirinya sedang mengejek pada nasibnya. Jika bukan karena kejadian masa lalu itu, mungkin dirinya juga tidak akan pindah secara tiba-tiba. Bahkan dirinya pindah dua hari setelah ujian nasional.

"Haha, emang lebay banget sih si Wendy. Gue udah nyangka dia bakalan nangis." Aira tertawa dipaksakan dengan senatural mungkin. Berharap jika Freya tak memdengar tawa sumbang dan jeritan hatinya.

Doa Aira terkabul, Freya ternyata ikut tertawa sambil melanjutkan ceritanya kembali.

"Bukan nangis aja, dia bahkan sampe nangis kejer. Hampir setengah kotak tissue abis sama dia. Terus, para cowok sampe bela-belain aktraksi gila-gilaan biar si Wendy berhenti nangis."

Aira hanya bisa tertawa dengan air mata dalam hati. Dirinya rindu masa SMP. Dirinya ingin bisa berada di tengah-tengah kebahagiaan itu kembali. Dan bisa merasakan acara perpisahan seperti yang diceritakan oleh Freya.

"Terus nih ya, geng nya si Angkasa–"

Deg

Nama itu, Aira berhenti antusias mendengar cerita Freya. Dirinya hanya diam, dengan perasaan hampa yang kembali terasa dan semakin menggerogoti hatinya.

"––bahkan bela-belain ngumpulin uang di tiap peserta buat beliin coklat yang banyak buat si Wendy. Di sana, kelas lo paling heboh banget, Ra."

Freya masih belum menyadari perubahan ekspresi Aira yang menjadi kosong dan datar. Senyuman yang tadi bertengger tak ada di wajah cantiknya.

"Sayang banget loh, Ra lo gak ada di sana. Padahal kalo lo ada, lo jadi pasangan goals deh sama si Angkasa."

Lagi, Freya mengucapkan nama yang tak ingin Aira dengar. Bahkan, apa katanya? Pasangan goals? Aira bahkan berharap dirinya tidak pernah mengenal dengan nama itu.

"Ra, lo kok jadi murung? Gue salah ngomong? " Freya menatap wajah Aira yang menampilkan wajah murung dan ntah bagaimana menjelaskannya.

Aira menggeleng, dirinya mengembangkan senyuman andalannya pada Freya. Senyuman palsu yang ia pakai untuk menutupi semuanya.

"Gak, gue cuma lagi ngebayangin. Seru kayaknya pas farewell waktu itu."

Freya menghela nafas lega, ia kira Aira murung karena dirinya yang salah bicara.

"Ouh, gitu ya. Terus, Ra, lo sama Ang––"

Suara instrumental fure èlis menghetikan kalimat pertanyaan yang akan keluar dari mulut Freya. Gadis itu menggeram kesal karena bel masuk sekolahnya itu berbunyi tak tau waktu sekali. Saat bel berhenti dan Freya hendak melanjutkan pertanyaanya. Aira langsung mendahului.

"Bel masuk udah bunyi, gue mau nyari wali kelas gue dulu." Aira menyela ucapan Freya.

"Jadi, lo mau sekolah di sini?" pertanyaan konyol Freya meluncur begitu saja membuat Aira menggelengkan kepalanya. Kadang, cewek sekalem dan sebaik Freya bisa oon juga ya.

"Iya Freya, mangkannya gue ada di sini." jawab Aira.

"Ouh oke kalo gitu, mau gue temenin nyari wali kelas lo?" Freya menawarkan bantuan.

"Gak usah lah, lo sebaiknya ke kelas lo aja. Gue bisa sendirian kok." Aira menolak.

"Ya udah, gue duluan, Ra. Nanti kita share cerita."

"Siap."

Aira melangkahkan kakinya mencari ruang guru, setelah berpisah dengan Freya.

Cukup melegakan bagi Aira, bertemu dengan dengan teman SMP nya dulu. Dirinya tidak akan merasa terlalu asing di sekolah barunya itu. Sekarang, Aira hanya perlu berharap hari di sekolahnya akan lancar tanpa ada masalah.

****

Hanya satu kata yang muncul di kepala Angkasa saat melihat pemandangan di depannya saat ini. Mustahil.

Angkasa masih tak percaya dengan apa yang dilihatnya saat ini, semuanya seakan mustahil untuk ia lihat kembali. Ntah bagaimana, senyuman tercetak di wajahnya yang tampan itu, hatinya menumbuhkan rasa hangat yang selama ini sudah tidak dirasakan oleh Angkasa.

Faris mengunci mobilnya dan berjalan mendekati Angkasa. Dirinya menatap heran Angkasa yang tersenyum sambil menatap lurus ke depan. Faris merasa bingung, ada gerangan apa Angkasa tersenyum seperti itu?

Tangannya menepuk bahu Angkasa membuat si empunya menghentikan senyumannya seakan tersadar dan menatap Faris.

"Kenapa?" tanya laki-laki itu.

Faris mengangkat alisnya, seharusnya dirinya yang bertanya bukan?

"Elo yang kenapa, senyam-senyum sendiri. Gila lo?"

Biasanya Angkasa akan menjawab pertanyaan Faris dengan umpatamnya, tapi sekarang

"Iya, kayaknya gua udah gila Far."

Faris semakin heran, apalagi saat melihat wajah Angkasa yang selalu datar itu menampilkan ekspresi kebahagiaan.

"Parah, lo bukan Angkasa! Di mana Angkasa yang gua kenal?" Faris menatap serius Angkasa. Orang yang ada di hadapannya ini bukan Angkasa.

"Ntahlah, dia mungkin udah pergi. Gua duluan."

Faris mengerutkan kening sambil menatap kepergian Angkasa yang berlari menuju arah lapangan basket outdoor. Larat, lorong dekat lapangan basket outdoor. Meskipun masih keheranan Faris tak urung menyusul Angkasa.

Angkasa berjalan cepat menuju dua orang yang tengah berbincang seru di lorong dekat lapangan basket, dirinya tidak ingin kehilangan moment ini. Momen yang telah lama ditunggunya. Momen di mana ia akan bertemu kembali dengannya.

Angkasa semakin mempercepat langkahnya, dirinya tak ingin kehilangan. Apalagi saat melihat kedua orang itu seakan hendak beranjak pergi.

Brukkk

"Heh! Kalo jalan liat-liat dong!"

Angkasa menghentikan langkahnya saat ia menyadari dirinya menabrak seorang siswi yang membawa setumpukan buku tebal sampai bertebaran ke mana-mana. Angkasa menatap ke bawah, di mana siswi itu tengah merapihkan buku-buku yang bertebaran itu tanpa melihat ke arahnya.

Angkasa bimbang, di satu sisi dirinya ingin berlari kembali menuju tujuannya. Di satu sisi, dirinya tak mungkin kan meninggalkan siswi ini membereskan buku-buku yang bertebaran di jalanan dan jangan lupakan beberapa lembar kertas yang ikut menjadi komplotan.

Menghela nafas Angkasa berjongkok membantu siswi itu, berharap tujuannya tadi tidak akan pergi ke mana-mana.

"Gua minta maaf. Sorry, udah bikin buku-buku lo berantakan."

Angkasa menyerahkan buku yang ia tumpuk ke siswi tadi yang malah menatapnya cengo. Siswi itu kaget, karena orang yang ia bentak adalah seorang siswa terpopuler dan paling disegani di sekolah. Dan lebih parahnya, Angkasa itu seniornya.

"Eng–enggak papa, Kak. Makasih udah bantuin. Lagian, aku juga tadi salah, jalan terus nunduk. Aku juga minta maaf." jawab siswi itu gugup sekaligus takut.

Angkasa malah tersenyum melihat ekspresi gadis itu, senyuman biasa saja apalagi itu hanya senyuman refleks untuk menutupi perasaan yang sebenarnya. Siswi itu semakin gugup dengan hati menahan jeritan saat melihat senyuman Angkasa.

"Gitu? Ya udah, gua duluan, Jilian." Angkasa memilih melangkah untuk pergi.

"Eh? Kakak tau nama aku?" Jilian, siswi itu kaget saat Angkasa memanggil namanya.

"Gua baca name tag lo. Lain kali, jalan jangan sambil nunduk."

Angkasa menjawab sambil tersenyum dan melangkahkan kaki kembali menuju tujuannya.

Sementara Jilian berjalan menuju kelasnya dengan perasaan berbunga di hatinya. Ayolah, dirinya bukan perempuan munafik. Jilian pasti akan sama seperti cewek-cewek lainnya yang pasti akan terbang jika diberi senyuman indah itu dari Angkasa. Apalagi Angkasa bukanlah seorang cowok yang mudah ramah pada setiap perempuan. Beruntung sekali kau Jilian!

Angkasa menghentikan langkahnya, diirinya menghela nafas kecewa saat tujuannya tak ada di tempat dirinya berdiri sekarang. Matanya menjelajah ke setiap sudut sekolah mencari orang itu. Nihil, Angkasa tak menemukan apa-apa. Dirinya terlambat, bukan, kembali terlambat.

Angkasa mengacak rambutnya kesal, dirinya hanya membuang waktu beberapa detik saja tadi, tapi takdir kembali menghilangkan secercah harapannya lagi.

Faris yang berlari berhenti di samping Angkasa sambil mengatur nafasnya perlahan. Tadi dirinya sempat dikerubuni oleh beberapa adik kelas yang menggilainya. Karena itu Faris sempat berlari-lari menghindari mereka yang seakan hendak memakan Faris. Jika mereka melihat Angkasa dan kedua sahabat mereka yang lain, mungkin akan lebih kacau. Akan ada meet and great dadakan. Maklum, mereka itu anak club sepak bola dengan wajah yang tak bisa dikatakan biasa. Pantaslah, jika para adik kelas unyu mengejar-ngejar mereka.

"Bangsul! Lo kenapa elah, Sa?! Capek gue anjing ngejar lo! Apalagi, tuh! Sekumpupan adik kelas unyu ngejar gue kayak mau nelanjangin gue anjir! Kan gak ada sejarahnya cowok diperkosa cewek!" Faris mengumpat, bertanya sekaligus dengan nada terengah-engah.

Angkasa tak menghiraukan pertanyaan Faris, dirinya masih sibuk mencari seseorang. Seseorang yang telah lama ditunggunya. Dan seseorang yang ia harap bisa meneruskan kembali kisahnya yang menggantung selama dua tahun ini.

Faris memandang Angkasa heran, sahabatnya ini kenapa? Tadi, Angkasa terlihat bahagia, kenapa sekarang terlihat sangat putus asa?

"Lo kenapa sih, Sa? Nyari apaan sih? Nyari siapa? Gue capek kalo maen tebak-tebakan, gue gak jago nebak. Ngomong kek kampret!"

Angkasa menghela nafas kasar, dirinya gagal mencari jejak orang itu. Yang ia lihat hanya lorong kelas yang semakin kosong karena bel masuk sudah berbunyi.

"Gue liat dia, Far. Dia ada di sini."

Faris menatap Angkasa dengan mata tak percaya. Faris tahu siapa betul yang dimaksudkan dia oleh Angkasa. Dia yang dimaksudkan oleh Angkasa adalah perempuan yang menjadi cinta pertama dan mungkin cinta terakhir Angkasa selama ini.

"Gak mungkin dia ada di sini, Sa. Lo cuma salah liat. Dia udah pergi." Faris berkata dengan suara antara tak percaya dan sedikit marah di akhir kalimatnya.

Tapi Angkasa berbeda, dirinya kekeh dengan apa yang dilihatnya tadi. Perempuan itu ada di tempat mereka berdua sekarang tadi.

"Gue gak mungkin salah liat, Far. Gue beneran liat dia. Gue yakin, Tuhan pasti yang ngerencanain ini, Far."

Faris memandang Angkasa dengan tatapan yang berubah menjadi sendu. Dirinya tahu apa yang dirasakan oleh Angkasa selama dua tahun setelah kejadian itu. Bahkan Faris tahu, Angkasa pernah mengalami depresi hingga beberapa kali sahabatnya itu harus menemui psikolog. Karena hal itu, Faris takut jika Angkasa sekarang mengalami gejala itu lagi.

"Sa, dia udah pergi. Bahkan dia udah pergi sangat jauh dari kita. Kita bahkan gak tau dia pergi ke mana. Dia gak bakalan pernah kembali ke sini." Faris berucap dengan nada serius, meskipun dirinya harus berhati-hati berbicara.

"Dia emang udah pergi, tapi dia udah kembali. Gue mau nyari dia, dia mungkin gak jauh dari sini." Angkasa hendak pergi, tapi Faris menahan bahunya.

"Gak! Kita ke kelas, Angkasa. Lo mungkin tadi salah liat, sekarang kita ke kelas. Si Tian juga ngabarin ada test MTK pagi ini."

"Far, lo ini sahabat gue, lo pasti percaya sama gue kan?" Angkasa menatap Faris.

Faris memandang mata elang Angkasa, mata yang selalu tajam ini berubah menjadi sayu.

"Gue percaya sama lo, tapi mungkin tadi lo salah liat, Sa."

Angkasa menghela nafasnya kembali, Faris terlihat tak mempercayai apa yang dilihatnya tadi.

"Kita ke kelas." putus Faris final.

Saat keduanya hendak berbalik dan berjalan menuju kelas mereka, dari arah belakang seorang gadis berlari tanpa melihat pijakannya dan malah terjatuh karena tersandung sebuah kursi panjang dan berakhir jatuh menyungkur lantai dekat dengan posisi Angkasa.

Srekkk

Bughh

"Aduh! Lutut gue!" jerit gadis itu membuat Angkasa dan Faris menghentikan niatannya dan berbalik menatap apa yang terjadi.

Angkasa berjongkok untuk melihat gadis itu dan hendak membantunya.

Tapi, demi Nobita yang gak pernah lulus SD dan Upin Ipin yang gak pernah masuk SD, Angkasa merasa waktu seakan berhenti sekarang saat matanya beradu dengan gadis itu.

Gadis itu, gadis yang telah lama ia tunggu. Dan benar dirinya tadi bukan berkhayal dan bukan berimajinasi apalagi berhalusinasi. Semuanya yang  ia lihat tadi dan yang terjadi sekarang memang nyata terjadi.

****