Sayangnya, orang-orang tidak mau peduli tentang hal itu. Mereka hanya melihat Kensuke sebagai remaja yang sempurna, tampan dan pandai. Mereka juga pada akhirnya menuntut Kyosuke untuk menjadi pandai dan baik seperti Kensuke. Namun, Kyosuke punya pilihan hidupnya sendiri dan tidak ingin hidup monoton seperti Kensuke.
"Sudahlah jangan menangis lagi, Kyo! Memangnya pantas seorang preman sekolahan menangis, huh? Aku 'kan sudah minta maaf?" Arka berucap sambil menyodorkan sapu tangan hitam ke arah Kyosuke. Dia masih merasa bersalah karena berpikir jika Kyosuke menangis karena Arka yang mengajak Kyosuke melompat dari ketinggian.
"Maaf sekali lagi deh kalau aku memang punya salah."
Tidak. Arka sama sekali tak terlibat dalam sebab tangisannya Kyosuke kini. Kyosuke saja yang lemah jika merasa selalu di nomor duakan setelah Kensuke. Tergugu hanya karena merasa diabaikan oleh keluarganya sendiri. Bahkan neneknya yang tinggal di Jepang pun lebih memilih mengobrol dengan Kensuke daripada Kyosuke.
Kyosuke tahu jika ia memang tak sepandai saudara kembarnya, tapi ia benar-benar merasa didiskriminasikan. Padahal, kejadian ini sering terjadi, tapi Kyosuke belum bisa menerima semua hal itu. Betapa cengeng dia jika menyangkut masalah keluarga seperti ini.
Kyosuke mengambil sodoran sapu tangan dari Arka, mengelap ingus. Setelah itu mengembalikan sapu tangan pada pemilik asli.
"Udah tenang?" tanya Arka sambil mengernyit pada benda di tangan, tanpa berniat meneliti lebih lanjut ia menjejalkan kembali dalam saku.
Kyosuke tak menjawab, dia malah membalikkan tubuh Arka, memaksa membungkuk lantas meloncat. Lengannya melingkari sekitar leher. Arka yang belum siap hampir tersungkur andai payah menjaga keseimbangan. Syukurnya, ia ahli dalam hal tersebut.
Menjaga berat badan Kyosuke di punggung, Arka mulai menjauhi pekarangan, melangkah melewati persimpangan dengan satu lampu jalan. Ia menuju tanah lapang.
Setidaknya, meski Kyosuke tidak memiliki sosok ayah dari kecil, tapi Kyosuke punya orang-orang yang peduli terhadapnya.
"Bang Ar," bisik Kyosuke. Dia meletakkan dagu pada bahu si pemuda yang menjadi sosok kakak baginya selama ini.
"Hm? Mau turun?"
Arka merasakan Kyosuke menggeleng.
"Terus? Kenapa panggil-panggil? Abang masih di sini kali, Kyo. Enggak usah lebay kalau pengen minta sesuatu. Mau kubeliim jajanan, nggak? Atau dengan lihat wajahku yang tampan ini saja sudah membuatmu kenyang?"
Seketika Kyosuke mengeratkan pelukan, mencekik rekan tawurannya itu.
"Sembarangan! Bukan itu, ih."
"Uhuk! Uhuk! Ya ... terus apaan? Ngomong enggak, nyekik iya. Kejam memang kau sama Abangmu ini, Kyo!"
Kyosuke terdiam kembali. Ia malu sebenarnya, tapi dipikir lagi, siapa yang bakal bersedia membantu kalau bukan Arka? Kyosuke menenggelamkan muka di sela rambut bagian belakang sosok saudara baginya itu.
Menelan ludah kasar—sekaligus gugup yang membuat lidah kelu—Kyosuke kembali berbisik, lebih lirih.
"Bang Ar, bantu ... bantu aku dekati Rini sebelum keduluan Ken, ya?"