"Ken-chan, turunlah! Obaa-san mau berbicara padamu sekarang!"
Derap langkah tergesa menuruni tangga terdengar jelas di telinga sensitif Kyosuke. Dia saat ini meringkuk di dalam selimut, berusaha mengabaikan pekikan girang Kensuke ketika suara nenek mereka bertanya kabar.
Lampu kamar Kyosuke sudah mati, memberi sugesti pada orang luar bahwa bisa jadi dia tertidur lelap. Niat awal memang demikian jika semenit lalu dia tak acuh dengan dering telepon rumah—panggilan dari sang nenek di luar negeri.
Dari tadi, Kyosuke memang menyimak, dan mendapati Kensuke adalah yang ibu mereka panggil pertama membuat Kyosuke seketika tersedak ludah sendiri. Dia ingin tidur saja, tapi sekarang, mata Kyosuke justru menolak terpejam dan tangannya terkepal aktif memukul dada.
Sakit. Sakit sekali di dalam hatinya. Menjadi nomor dua ternyata tak enak sama sekali, batin Kyosuke.
Sakit. Sakit sekali di dalam sana. Menjadi nomor dua ternyata tak enak sama sekali.
Kyosuke bersiap menggigit sarung bantal guna menahan teriakan yang batal seketika. Jendela kamarnya diketuk seseorang. Dia mendengkus sebal. Gagal sudah acara sebagai korban, terganti jengkel di puncak ubun-ubun.
Entah orang gila mana yang nekat memanjat malam-malam begini. Kyosuke menyibak selimut, mengentak mendekati jendela lalu membukanya kasar. Muka jail Arka menjadi hal pertama yang muncul di pandangan si bungsu keluarga ini, Kyosuke.
"Kukira setan kau, Kak!! Buat apa masih keluyuran, huh? Ganggu orang tidur aja! mau jadi penguntit, eum? Padahal sepertinya Kyo belum terkenal-kenal amat lho sebagai influenzer. Kenapa sudah ada yang menguntit, ya?" Kyosuke menggerutu, heboh. Sekalian bernarsis ria karena ia memang ingin menjadi influenzer terkenal dan banyak job endorse.
Arka menyengir, tak ambil pusing akan celoteh remaja yang sudah ia anggap sebagai adik itu. Arka lalu menarik tangan Kyosuke, memaksa remaja yang sudah mengenakan baju tidur biru itu untuk melewati kusen.
"Main yuk, Kyo!" ajaknya sambil mengedip.
"Gila apa?! Ini sudah malam lho, Kak! Enggak mau ah! Lepasin tanganku, woy!" Kyosuke menabok lengan Arka. Sungguh, meski dia yakin Arka telah menurunkan kekuatan, cengkeramannya masih saja terasa sakit. Andai saja Arka mau bergabung di gengnya Kyosuke, pasti mereka akan selalu menang jika tawuran dengan pelajar lain.
"Ck! Lagak kamu sudah kayak mau kuculik aja, Kyo. Ayolah ... aku enggak bakal ajak ke tempat haram, kok. Yuk, temenin ...."
"Justru kalimat Kakak itu yang membuatku tambah curiga! Udah ah, lepas! Lagian aku enggak mau pergi malam-malam seperti ini. Malas ah, nanti malah diajak ngepet!" Kyosuke yang sejak kecil tinggal di Indonesia itu menyahut dengan candaan.
Arka geregetan menjewer telinga Kyosuke. "Aku ini bukan babi, ya! Mana mungkin aku mengajakmu menjadi babi ngepet, Kyo?! Jangan aneh-aneh!!"
"Aku hanya waspada, Kak."
Telanjur gemas, Arka menyentak tubuh Kyosuke ke depan, menabrak dirinya. Ia peluk erat punggung Kyosuke kemudian meloncat turun dari dahan kokoh yang memang kebetulan berada tepat samping jendela kamar. Setelah menapak tanah, ia mengguncang bahu remaja di hadapan—menyadarkan.
"Kakak sudah gila?!" Kyosuke tak bisa menahan diri menampar Arka. Jemarinya melayang ke pipi, memberi cap merah. "Niat sekali ya mau menjahiliku?! Kalau tadi salah lompat bagaimana, hah? Kota berdua bisa jatuh dari pohon dan berakhir cedera dong."
"Ssshh ... tamparanmu panas juga ya, Kyo?" Arka mendesis nyeri. Ia mengusap pipi yang bisa jadi lebam segera. Menatap Kyosuke, ia terkejut melihat air mata menepati sudut mata remaja tampan itu.
Baru kali ini, Arka melihat tetangga tertegar itu menahan tangis. Tidak mungkin hanya gara-gara takut melompat dari pohon tadi, bukan? batin Arka, yang mulai merasa bersalah.
Pasalnya, Arka tidak pernah melihat Kyosuke menangis bahkan ketika dikerjai satu kompleks sekalipun, saat Kyosuke baru pindah ke Indonesia ketika berusia 7 tahun waktu itu.
Namun, saat ini baru pertama kalinya Arka melihat Kyosuke menangis. Ternyata, preman sekolahan seperti Kyosuke juga bisa menangis? batin Arka.