"Bukannya itu tanggal lahir lo ya Jun?" Lucas menatap Arjun, yang di tatap hanya mengangguk kecil.
"Sesayang itu dia sama lo," lanjut Yuki.
"I know, gue mau mandi. Ada yang mau ikut?"
"Cabul lo," Juwita mendorong bahu Arjun kasar.
"Just kidding babe," Arjun menggerling, "Yang cewek ke lamar pojok. Itu kamar bekas sepupu gue, masih ada bajunya, pake aja,"
"Sepupu lo? Yuki?"
"Gue nggak pernah tinggal di sini ya. Mentok nginep sehari dua hari doang," Yuki memukul kepala Mark kasar.
"Kak Anin, sekarang pindah ke amrik," jawab Arjun, "Buruan sana kalian mandi. Bajunya ambil di lemari, handuknya juga,"
"Lah kan kamar mandinya lo pake Jun," ujar Dino polos.
"Lo tuh nggak usah kampungan deh, kan Arjun kaya. Kamar mandinya tiap kamar pasti ada sendiri-sendiri lah," cibir Sonya, "Malu gue sebagai temen lo,"
"Emang gue temen lo?" Dino balas mencibir.
"Udah-udah, yang cewek ikut gue yuk," ajak Juwita, "Mau mandi dulu apa masak dulu kalian?"
"Mandi dulu lah," jawab Yuki, "Nggak enak banget badan gue,"
"Hooh," Yeri mengangguk membenarkan.
"Juwi nggak mau ikut gue mandi?"
"Heh sembarangan," Juwita melotot kesal, wajahnya seketika berubah merah padam.
"Halah nggak usah malu-malu. Besok lulus SMA juga gue nikahin," goda Arjun semakin menjadi.
"Hahahaha mukanya," Mark tertawa, memukul bahu Lucas yang duduk di sampingnya.
"Receh banget heran," Yeri menggeleng prihatin, "Udah ah ayo,"
"Bye ganteng," Sonya mengedipkan sebelah matanya.
***
Arjun melotot kala mendapati dapur rumahnya yang kacau balau, alat masak berserakan, begitu pula dengan beberapa bahan yang bertebaran di lantai.
"Kalian apain dapur gue?" pekik Arjun kesal, "Bisa diomelin bunda nih gue,"
"Kita lagi masak jun," Sonya menoleh, sebuah helm terpasang di kepalanya.
"Lo mau masak apa balapan sih Son?" kaget Dino.
"Ini tuh menghindari cipratan minyak. Kayak nggak tau aja ikan kalo lagi di goreng pasti kipit-kipit,"
"Bahasa lo apaan banget kipit-kipit," sinis Dino.
"Yuki potong wortelnya jangan tebel tebel. Juwi ih kolnya jangan lembut-lembut motongnya. Astaga Sonya ikannya jangan di balik-balik ntar ancur," Yeri mengacak rambutnya frustasi, "Yang cowok dari pada liat aja mending bantuin,"
"Maaf nih Yer, bukannya kita nggak mau bantu, tapi kan kita mau buka brangkas bokapnya Arjun," sahut Mark, "Ayo buruan,"
"Yoi," balas Lucas, segera mengikuti Arjun yang tengah berjalan menuju ruang kerja sang ayah.
"Awas aja kalian nggak gue kasih makan," ancam Yeri dengan pelototannya.
"Ya maap nyai. Misi negara ini," balas Lucas.
"Kira-kira isi brangkasnya apa?" tanya Mark.
"Duit kali," asal Arjun.
Tiba-tiba saja pemuda itu menghentikan langkah secara mendadak membuat teman-temannya sontak ikut berhenti, "Ngapain berhenti Jun?"
"Udah sampe,"
"Ohh," Lucas menatap Arjun yang kini tengah membuka pintu ruangan sang ayah.
"Gila ruangan bokap lo serem banget Jun," gumam Dino. Matanya sibuk memindai ruangan besar dengan warna dominan hitam itu.
Sumber penerangan hanya berasal dari lampu neon yang cahayanya temaram dan remang-remang.
"Emang," jawab pemuda yang kini sibuk membuka sebuah lemari yang terletak di pojok ruangan itu.
"Itu lemarinya?" tanya Mark.
"Menurut lo aja gimana? Udah jelas-jelas di sini cuma ada satu lemari masih tanya," sinis Dino kesal.
"Yaudah dong nggak usah ngegas,"
"Ya lo minta di gasin,"
"Halah berisik," sahut Lucas, "Bantuin angkat brangkasnya tuh,"
"Tangan gue kan tadi kena samurai. Sakit," Mark memegangi lengannya seraya meringis.
"Aduh gue kok tiba-tiba lemes ya,"
Lucas melotot kesal, pemuda itu berdecak, namun tetap beralih membantu Arjun mengeluarkan brangkas dari dalam lemari.
"Senterin dong, nggak keliatan nih," pinta Arjun.
Dino mengerti, segera meraih ponselnya dan menghidupkan senter dari benda itu. Menyorot tepat pada brangkas yang diletakkan temannya di atas meja.
"Berani banget lo ke sini sendirian Jun,"
"Ya terpaksa itu aja," Arjun menatap Lucas, "Gue kirain bokap di sini lagi ngerjain apa gitu sampe berminggu-minggu nggak keluar, yaudah gue cek, eh malah nemu note book,"
"Ohh,"
"Buruan buka," suruh Mark yang diangguki oleh temannya.
Ceklek
Pintu brangkas terbuka dengan mudahnya, tidak banyak benda di dalamnya, hanya sebuah kunci dan sebuah amplop berwarna coklat muda.
"Fiks ini mah isinya duit," ujar Arjun.
"Dih udah nyempetin ke sini masa isinya cuma duit," Lucas berdecak kesal, "Imposible,"
"Poor people can't relate," balas Dino, "Dasar orang kaya,"
"Bodo amat ya,"
"Isinya surat," semuanya menoleh menatap kertas yang di bawa Arjun.
"Bacain Jun,"
Pemuda itu mengangguk singkat, "Mereka membentuk sebuah kelompok, entahlah apa tujuannya. Namun kini saya tau, mereka ingin mengurangi jumlah penduduk dengan virus ini. Dan yang lebih gilanya lagi, mereka akan melakukan kudeta dalam waktu dekat,"
"Kudeta? Segila itu?" Mark memekik keras, "Oh shit,"
"Di belakangnya ada tulisan lagi," Dino berujar.
"Oh iya, mereka sangat berpengaruh, mereka bukan pion, bukan benteng, bukan pula menteri, raja, maupun ratu. Mereka yang terus berbeda pendapat, yang sangat gila. Jalan mereka berbeda, dan tidak dapat di prediksi,"
"Bentar," Mark tampak berpikir sebentar, "Pion? Benteng? Catur?"
Arjun berdehem, "Ntar kita diskusi sama yang laen dulu, ini gue selesain dulu bacanya. Di dalam berangkas ini terdapat kunci sebuah ruangan. Lantai 2 ujung timur dekat perpustakaan, yang bahkan tidak seorangpun selain saya pernah masuk ke sana. Semoga. Datanglah ke sana, saya yakin itu akan membantu anda. Dan saya yakin siapapun yang membaca surat ini adalah bukan orang-orang yang salah,"
"Mau ke sana sekarang?" tanya Lucas.
"Besok aja, sama cewek-cewek biar nggak kebanyakan tanya mereka," jawab Dino hendak meninggalkan ruangan, "Sekalian besok kita ke sini lagi,"
"Mau apa?"
"Ya siapa tau ada petunjuk lain," bukan Dino, melainkan Mark yang menjawab pertanyaan Lucas, "Sekarang mending kita makan dulu laper,"
"AAAA,"
"Yuki?" pekik Lucas dan Arjun bersamaan. Sontak kedua pemuda itu segera berlari keluar ruangan menuju dapur.
"Yuki kenapa?" tanya Lucas panik.
"Santai aja dong masnya. Cuma kena pisau ini," jawab Yeri yang tengah mengobati jari temannya yang tergores.
"Astaga kok bisa sih?" Lucas mendekat, memeriksa luka Yuki sebentar lalu beralih menatap wajah tunangannya itu, "Lain kali hati-hati lo tuh-"
"Iya Cas astaga cuma kena pisau juga,"
"Nah bener. Dasar bucin," sahut Arjun, "Juwi sayang hati-hati ya jangan sampe kena pisau kayak Yuki,"
"Ngaca lo Arjuna," sinis Mark, "Udah selesai belum masaknya?"
"Bentar," jawab Sonya, "Baru mau di hidangin,"
"Oh oke,"
"Sini gue bantuin," Yuki hendak beranjak namun lengannya terlebih dahulu dicekal oleh Lucas.
"Lo duduk aja istirahat,"
"Astaga Cas, jangan lebay deh,"
"Udah pokoknya duduk aja diem. Pisaunya nggak karatan kan?"
"Enggak Cas santai aja," jawab Yeri.
"Bucin teros ampe mampus," sindir Dino, "Dasar manusia,"
"Halah sirik aja lu Din," balas Lucas, "Pengen kan lo. Sonya tuh free,"
"Gue diem loh,"
"Diem lo juga salah Son,"