Hal pertama yang kulakukan ketika keluar rumah adalah membuang ponselku. Lempar benda yang pernah kugunakan untuk komunikasi ke tempat sampah dengan rasa jijik, meski masih berfungsi dengan sangat baik.
Atas itu, aku harus berterima kasih kepada penerorku. Yang terus-menerus mengirimkan pesan singkat dengan isi yang dapat menyaingi suatu konten bermuatan dewasa. Suatu hal yang cabul, amoral, mesum, asusila, vulgar, dan sama sekali tidak pantas untuk dikirimkan pada gadis baik-baik sepertiku ....
Seketika baik diri juga pemikiranku terhenti. Mulutku tanpa disadari mengeluarkan desah tertahan. Yang muncul bukan karena frustrasi dengan apa yang terjadi, melainkan karena menyadari sebuah kebohongan dari apa yang tengah bergema di kepalaku. Pernyataan mengenai bahwa diriku merupakan gadis baik-baik, itu ... bukanlah kebenaran.
Aku memang berasal dari keluarga dengan latar belakang baik dan patut dengan norma serta agama. Sikapku pun berbanding lurus dengan itu. Tapi adakah seorang gadis baik-baik, merasakan suatu kesenangan yang membungkus rasa panas dalam diri, oleh suatu hal yang melecehkan?
Aku rasa tidak ada.
Dan lebih buruknya, aku yang mengatakan bahwa pesan-pesan yang dikirimkan padaku sangat menjijikkan, tidak bisa mencegah diriku untuk tidak mengintip isi. Membaca kata-kata yang penerorku pilih untuk diriku.
Tanpa bisa dicegah ketika membacanya, tubuhku memanas. Membuat tanganku memberikan sentuhan-sentuhan di sekujur tubuhku untuk menghilangkan rasa gelisah yang tidak nyaman, juga untuk mendatangkan kenikmatan.
Sambil membayangkan bahwa tangan yang kini menyentuh dadaku dan memainkan puncaknya adalah orang yang menerorku. Membayangkan bahwa jari-jari yang tengah memasuki diriku adalah miliknya. Dalam kepalaku, aku dan penerorku melakukan tarian erotis bersama. Begitu intens, seakan hidup kami bergantung pada tindakan itu.
Namun setelahnya aku merasa sangat jijik dengan tindakanku. Menyalahkan penerorku atas segalanya dan membuang ponselku seperti yang kini aku lakukan. Padahal dengan jelas, terlihat, bahwa satu-satunya yang menjijikkan dalam situasi ini adalah diriku sendiri.
___
Sebelum pergi ke tempat kerja, aku menyempatkan diri untuk membeli ponsel baru dan mendaftarkan diri untuk sebuah nomor telepon baru. Ketika aku keluar dari tempat penjualan dengan ponsel yang telah bisa digunakan, dengan segera aku mengirimkan pesan singkat pada Doughall; mengatakan bahwa ponselku hilang dan aku menggantinya dengan yang baru.
Pria yang merupakan tunanganku, yang secara tidak langsung telah kukhianati, dengan cara membayangkan diriku bercinta dengan pria lain-terlebih penerorku sendiri. Aku heran, sampai saat ini tidak ada iblis yang mewujud ke hadapanku, untuk menyeret ke dalam neraka dan mencambukiku karena telah menghianati Doughall.
Dough, pria yang baik dan terhormat. Perhatian, juga tidak pernah sedikit pun membuatku merasa rendah dengan tidak menghormati pilihanku. Seperti misalnya pada saat aku memilih mempertahankan keperawananku, karena ibuku seorang yang sangat religius berpendapat perempuan haruslah tetap perawan sampai hari di mana dia berjalan berdampingan bersama sang Ayah berjalan di sepanjang virgin road[1].
Dough menghargai keputusan itu dan sama sekali tidak mentertawakan atau mengejek pemikiran yang terlewat kaku itu. Tapi apa balasan yang kuberikan padanya? Dengan membayangkan diriku disetubuhi secara kasar dengan pria yang tidak kukenal, hanya karena pesan-pesan cabul yang kuterima.
Sepertinya cambukan tidak pernah cukup untuk aku, perempuan yang tidak tahu diuntung ini. Seharusnya, kaki dan tanganku diikat di masing-masing kaki empat ekor kerbau dan kemudian ditarik hingga tubuhku terpisah.
Tubuhku bergidik ngeri hanya dengan membayangkan itu. Langsung saya kugeleng-gelengkan kepalaku untuk menghilangkan citra mengerikan yang begitu sempurna di kepalaku. Bersamaan dengan itu sebuah pesan masuk.
Pesan tersebut datangnya dari Dough yang mengkhawatirkan aku.
Pengirim : Doughall
Kamu tidak apa-apa, B? Apa ada hal yang bisa kulakukan untuk menolongmu?
Aku menghela napas berat saat membaca pesan itu dan membuatku kembali berpikir bahwa ditarik hingga terurai oleh empat ekor kerbau belumlah cukup untuk mengimbangi dosaku karena telah mengkhianati Dough.
Penerima : Doughall
Aku baik-baik saja, D. Tidak ada yang hilang selain ponselku, dan masalah itu pun sudah beres. Maaf membuatmu khawatir.
Pengirim : Doughall
Syukurlah jika seperti itu. Jaga dirimu baik-baik.
Penerima: Doughall
Kamu juga, dan selamat bekerja.
Setelah mengirimkan pesan tersebut lagi-lagi aku menghela napas dengan berat. Tapi kemurunganku segera kusingkirkan dengan segera saat aku tiba di depan pintu kantorku. Karena aku tidak ingin memulai pekerjaan hari ini dengan murung.
Saat membuka pintu, aku dikejutkan dengan kehadiran seseorang yang ada di dalam kantor yang seharusnya kosong. Penyusup tersebut kini tengah duduk di kursiku sambil menatap layar komputer yang menyalah entah melakukan apa.
"Alan!?" seru memanggil si Penyusup, tidak suka dengan kehadirannya yang tidak diundang itu.
Alan, memutar kursi ke arahku dengan santai, seakan tidak melakukan hal kurang ajar. Dengan datang tidak diundang dan memakai suatu hal milikku; mulai dari kursi yang sedang dia duduki ataupun komputer yang tengah menyala.
"Hai, Bianca," sapa Alan membalas seruan tidak senangku, dengan nada mengoda layak cokelat leleh.
Aku tidak mengabaikan godaan tersirat yang dilancarkan Alan. Selain karena suasana hatiku sedang kacau, rayuan dari pria bermata dan berambut cokelat tersebut sudah sering kuterima, mulai dari aku bekerja di kantor ini. Padahal pria itu tahu bahwa aku adalah perempuan yang merupakan tunangan pemilik usaha tempat pria itu bekerja.
Tapi Alan, seakan memiliki DNA badak bercula-yang kudengar memiliki kulit yang tebal, dia masih saja menggangguku dengan melemparkan rayuan halus ataupun terang-terangan yang diupayakan untuk menggodaku.
"Sedang apa kamu di sini?" tanyaku menyelidik sambil menatap pria itu dengan pandangan bahwa keberadaannya menggangguku.
"Aku sedang membenahi komputermu. Isabell mengatakan bahwa sistem operasinya sering terhenti dan me-restart sendiri.
Aku diam mencerna penjelasan Alan, karena memang seingatku, aku baru-baru ini mengeluhkan proses kerja kotak berteknologi tinggi tersebut pada sekretarisku. Hal itu membuatku sedikit-banyak merasa tidak enak karena telah bersikap sinis pada Alan.
Meski berpenampilan seperti perayu, otak Alan tidaklah sedangkal yang dicitrakan penampilannya. Dari luar Alan memang terlihat seperti seorang pria tampan yang hanya tahu mematahkan hati perempuan menjadi, tapi di balik semua itu terdapat seorang penggila teknologi yang menempatkan dia sebagai teknisi teknologi informasi.
Jadi pastilah kehadiran Alan di sini sebagai usahanya memperbaiki kotak jelek yang katanya berguna itu. Tapi bukan berarti dengan kenyataan itu, aku langsung beramah-tamah pada pria berpenampilan menggoda layak cokelat itu.
"Terima kasih, jika seperti itu. Tapi bisakah kamu meninggalkanku? Aku ingin memulai pekerjaanku."
Alan pria yang tahu kapan harus mundur. Karenanya saat mendengar perkataanku itu, dia langsung berdiri dan memberikan kursi yang semula dia duduki padaku. Untuk kemudian meninggalkanku dengan sebuah pertanyaan yang tidak sempat terjawab. "Ponselmu baru, ya!?"
___
Setelah melewati malam sebelumnya dengan penuh ketakutan, dan hari ini dengan penuh kekhawatiran serta pekerjaan yang tidak henti-hentinya, aku merasa heran bahwa diriku sanggup pulang ke rumah dengan keadaan tegak berdiri. Alih-alih menyeret tubuhku dengan kedua tangan untuk tiba di kamarku.
Atas itu aku memberi penghargaan diri dengan menyiapkan bak penuh busa untuk berendam dan segelas sampanye. Aku terkikik kecil saat menuang minuman berbuih itu, seolah melakukan kenakalan, dan memang benar. Dough sering mengingatkanku untuk tidak melakukan kebiasaanku itu. Meminum alkohol ketika berendam, karena katanya itu akan membuat kepalaku pusing.
Ketika baru saja selesai menuang sampanye dan ingin membawanya masuk ke dalam kamar mandi, teleponku berdering. Aku terkikik sekali lagi, memikirkan bahwa mungkin itu pesan singkat dari Dough yang sepertinya memiliki indera keenam, yang mengingatkanku untuk tidak meminum sampanye saat berendam.
Tapi senyumanku langsung menghilang, dan gelas tinggi yang semula kupegang, meluncur turun membentur lantai-menyiptakan bunyi berisik akibat pecahnya gelas dan mengotori lantai dengan cairan berbuih, saat melihat apa yang masuk ke kotak pesanku.
Itu bukan pesan singkat, melainkan pesan multimedia yang memuat sebuah gambar seorang perempuan yang tengah setengah telanjang dan menyentuh bagian intimnya dengan ekspresi seakan dilandai kenikmatan yang amat sangat.
Seketika kakiku goyah dan menempatkan aku terduduk dalam lantai.
Perempuan yang ada di dalam foto itu aku. Buruknya, itu bukanlah foto rekayasa yang diciptakan oleh teknologi canggih, melainkan asli. Original. Otentik. Sejati. Dan segala kata yang memiliki arti bahwa hal itu bukan buatan atau rekayasa.
Itu asli. Dan aku sendirilah yang memotretnya. Diawali dengan satu siang yang membosankan, aku menantang diriku untuk mencapai kepuasan dalam kantorku yang sepi ketika waktu makan siang. Itu merupakan koleksi pribadi dan seharusnya tidak ada seorang pun tahu. Tapi kenapa penerorku bisa memilikinya dan mengirimkannya padaku?
Sebelum pertanyaan itu terjawab, ponselku kembali berdering. Kali ini bukanlah nada singkat yang memberitahukan datangnya pesan, tapi nada panggilan masuk. Dengan lemas aku melirik layar ponselku, dan di sana tidak terlihat identitas pemanggil. Hanya empat angka, yang dengan nomor yang menerorku sebelumnya.
Virgin road: Lorong yang harus dilalui mempelai wanita sebelum berdampingan dengan mempelai pria.